CDD-26 [POSITIF]

18.9K 890 16
                                    

Setelah mendapatkan izin dari sang suami, Ayana segera memanggil Ashilla dan mengajaknya pergi bersama ke apotek, dengan syarat Ashilla tidak boleh memberitahu siapa pun perihal dirinya yang akan membeli alat tes kehamilan.

Tentu saja respons adik iparnya itu sangat heboh sekali, bahkan ia lebih antusias darinya.

“Berikan kami testpack yang paling akurat.” ucapnya saat kini mereka sudah berada di apotek.

“Mbak pokoknya aku yang bayar ini. Mbak perlu berapa? Tiga? Empat?” tanyanya kepada Ayana.

Benar, kan Ashilla ini sangat antusias sekali.

Ayana menggeleng. “Minta dua ya mbak,” pintanya kepada pekerja apotek.

“Tapi ingat lho dek, mbak membeli ini bukan karena sedang hamil. Tapi untuk memastikan saja, dan tolong kamu jangan beritahu siapa pun dulu nggih? Mbak takut mengecewakan harapan banyak orang,” paparnya.

Ashilla mengangguk, “Siap Mbak! Pokoknya rahasia Mbak aman!”

Kini dua buah testpack itu sudah berada di tangannya, Ashilla yang membayar dua alat itu untuknya. Ia menatap dua benda itu dengan gamang, cemas, dan takut.

Bismillah. Apa pun hasilnya saya harus terima.

Ashilla dan Ayana berjalan pulang, sampai di rumah keduanya bergegas masuk ke dalam kamar Ayana dan menguncinya.

"Dek, Mbak takut. Gimana kalau hasilnya nanti negatif?"

Ia sudah mencoba untuk menguatkan dirinya beberapa kali, tapi tetap saja ia merasa takut. Apalagi Ashilla tahu soal ini, ia takut mengecewakan Ashilladan dirinya sendiri.

"Gak perlu takut. Setidaknya Mbak sudah mencoba,"

Ashilla benar. Tapi dirinya masih saja tidak tenang, "Kamu ndak akan kecewa jika nanti Mbak belum hamil?"

Ashilla menggeleng, ia menggenggam tangan kakak iparnya dengan erat. "Mbak, ndak apa-apa. Shilla ndak akan kecewa, justru yang Shilla khawatirkan itu Mbak. Kalau Mbak takut kecewa akan hasilnya nanti, Mbak ndak perlu melakukannya. Shilla ndak mau nanti Mbak sedih,"

Ayana menghela napas beberapa kali, kemudian menatap Ashilla dengan yakin. "Dek. Insyaallah Mbak siap dengan apa pun hasilnya nanti,"

Ashilla tersenyum dan mengangguk. "Alhamdulillah. Ayo, sekarang Mbak coba dulu ya,"

Ayana mengangguk, lalu ia masuk ke dalam kamar mandi, sedang Ashilla duduk di sisi ranjang menunggu sang kakak ipar dengan cemas.

Ayana gugup begitu ia mencoba alat itu, ia gegas memandanginya menunggu hasil yang akan di tunjukkan oleh benda yang tampak bergetar di tangannya.

Ya Allah, saya benar-benar gugup, dan takut.

“Mbak, sudah belum?”

Suara teriakan Ashilla yang di iring suara ketukan pintu terdengar. Memang ia meminta Ashilla untuk ikut ke kamar dan menemaninya selama ia melakukan tes kehamilan.

Ya Allah, semoga hasilnya positif

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya alat yang berada di genggamannya mulai menunjukkan hasil tesnya. Kedua matanya memanas saat dua garis merah terpampang jelas si kedua alat yang ia coba.

Air matanya langsung tumpah, ia tentu tahu dua garis merah adalah tanda jika dirinya positif hamil.

Akhirnya, hal yang sangat ia tunggu hadir juga. Pantas saja akhir-akhir ini ia begitu sangat sensitif.

Ayana terisak seraya mengucap syukur di dalam hati. Ia benar-benar sangat bersyukur sekali.

"Mbak? Hasilnya sudah keluar?" suara Ashilla kembali terdengar.

Ayana segera menghapus air mata dengan punggung tangannya, seraya menggenggam dua testpack ia membuka pintu kamar mandi dan langsung menerjang Ashilla, memeluknya seraya menangis.

Mendapatkan pelukan tiba-tiba, dan Ayana yang menangis membuat perasaan Ashilla sangat was-was. Apa hasilnya negatif?

“Mbak, kenapa Mbak?” Ashilla menjadi panik, apalagi Ayana sampai menangis sesenggukan di pelukannya.

Ia mengusap punggung sang kakak ipar, “Mbak. Ndak apa-apa kok jika Mbak belum hamil, toh Mas Zidan ndak menuntut Mbak—“

“Hasilnya positif dek!” ucapnya seraya melepaskan pelukannya dari Ashilla. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata, lalu menunjukkan kedua alat tes kehamilan yang sama-sama menunjukkan hasil positif.

“Alhamdulillah Mbak. Ya Allah, selamat ya mbak.” Ashilla turut menangis haru dan memeluk sang kakak ipar.

"Sekali lagi, selamat nggih Mbak Ayana. Asyiik sebentar lagi Shilla jadi Aunty!!" Serunya di tengah-tengah isakan tangis bahagia mereka berdua.

Tidak ada permintaan yang sia-sia, jika kita percaya dan terus melibatkan Allah dalam setiap waktu.

Karena, jika Allah mengatakan "Jadi!" maka "Jadilah!!".

****

"Assalamualaikum Ummah,"

"Waalaikumsallam Mas. Lho? Kenapa wajahmu panik Mas?" tanya Ummah Aini begitu putranya masuk ke dalam rumah dengan tergesa, dan wajah yang panik.

Gus Zidan menyalami punggung tangan sang ibu. "Ayana mana Ummah?" tanyanya.

Ummah Aini mengerutkan kening, "Tadi masuk ke kamar dengan Shilla. Ada apa toh Mas?" ia jadi ikut panik melihat putranya yang panik.

Gus Zidan menghela napas, mengusap wajahnya pelan. "Ummah, Ayana tadi sempat mengeluh sakit kepala dan meminta izin ke saya untuk pergi ke apotek dengan Shilla," ucapnya dengan masih panik.

"Apakah sakitnya sudah membaik atau belum? Soalnya Ayana tidak ada menghubungi saya lagi,"

Mendengar itu, terkejutlah Ummah Aini. "Apa Mas? Mbak Ayana sakit? Ummah ndak tahu, tadi mereka memang pamit keluar sebentar ke Ummah," ia merasa sangat bersalah karena tidak memperhatikan menantunya, padahal mereka tinggal satu atap.

"Ya Allah mas. Cepat susul ke kamar nggih, sudah setengah jam lalu mereka berdua ndak ada keluar kamar. Mas, Ummah takut Mbak Ayana kenapa-napa,"

Gus Zidan mengangguk, serta meletakkan makanan pesanan sang istri di atas meja makan. "Inggih Ummah,"

"Kalau ada apa-apa panggil Ummah nggih Mas,"

"Inggih Ummah. Mas pamit ke kamar dulu,"

"Iya Mas,"

Gus Zidan bergegas berjalan menuju ke kamarnya, dirinya masih sangat was-was memikirkan keadaan istrinya, apalagi Ummah barusan bilang jika Shilla dan Ayana sudah setengah jam belum keluar dari kamar, perasaannya menjadi semakin tidak karuan.

"Ya Allah Ayana, saya khawatir. Semoga kamu baik-baik saja," gumamnya.

Sesampainya di depan pintu kamar, tanpa permisi lagi ia langsung membuka pintu itu dengan wajah yang sangat panik. Ketika pintu itu terbuka, alangkah terkejutnya ia saat istri dan adiknya tengah menangis bersama sambil berpelukan. Melihat itu, Gus Zidan bertambah panik. “Sayang. Apa yang sakit, hm?”

Ashilla melepaskan pelukan Ayana kini wajah cantik yang basah itu tengah di hapus oleh tangan Gus Zidan dengan penuh kehati-hatian seolah akan pecah jika ia menekannya sedikit keras. “Apa yang sakit sayang? Bilang sama Mas,”

Semakin di tanya tangisnya semakin terdengar keras, Gus Zidan langsung menarik Ayana ke dalam pelukannya mengira jika sang istri tidak tahan dengan rasa sakit yang di rasanya. “Sayang, jangan menangis. Ayo bilang sama Mas—“

“Mohon maaf ya saudara-saudaraku. Bisakah tidak mengumbar kemesraan di depan orang lajang seperti saya?” seru Ashilla sarkas.

Gus Zidan mendelik, “Pergi sana. Tidak sopan menonton kemesraan pasutri,”

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang