CDD-27 [ABI & AMIH]

16.6K 806 9
                                    

Sesampainya di depan pintu kamar, tanpa permisi lagi ia langsung membuka pintu itu dengan wajah yang sangat panik. Ketika pintu itu terbuka, alangkah terkejutnya ia saat istri dan adiknya tengah menangis bersama sambil berpelukan. Melihat itu, Gus Zidan bertambah panik. "Sayang. Apa yang sakit, hm?"

Ashilla melepaskan pelukan Ayana kini wajah cantik yang basah itu tengah di hapus oleh tangan Gus Zidan dengan penuh kehati-hatian seolah akan pecah jika ia menekannya sedikit keras. "Apa yang sakit sayang? Bilang sama Mas,"

Semakin di tanya tangisnya semakin terdengar keras, Gus Zidan langsung menarik Ayana ke dalam pelukannya mengira jika sang istri tidak tahan dengan rasa sakit yang di rasanya. "Sayang, jangan menangis. Ayo bilang sama Mas-"

"Mohon maaf ya saudara-saudaraku. Bisakah tidak mengumbar kemesraan di depan orang lajang seperti saya?" seru Ashilla sarkas.

Gus Zidan mendelik, "Pergi sana. Tidak sopan menonton kemesraan pasutri,"

Ashilla berpura-pura kesal, lalu keluar dari kamar membiarkan pasutri itu berduaan di dalam.

"Mas, jika seandainya saya belum hamil bagaimana?"

Gus Zidan mengerutkan keningnya. Ia berpikir apa mungkin istrinya sedang dangat sensitif setelah mengetahui kabar kehamilan Ning Khilma. Gus Zidan mengecup kening sang istri, "Sayang, Mas kan sudah bilang, tidak masalah sayangku. Sing penting--"

"Saya sehat terus, dan bisa menemani Mas seumur hidup," sela Ayana.

Gus Zidan mengangguk, mengecup hidung Ayana dengan lembut. "Pintar. Lalu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu hm?" kini ia menangkup wajah cantik Ayana dengan kedua tangannya.

"Sini dulu," ajak Gus Zidan seraya menggandeng tangan Ayana dan mengajaknya duduk bersama di sisi ranjang.

"Apa kepala kamu masih sakit sayang?"

Ayana menggeleng, toh memang benar. Ia bahkan sama sekali tidak sakit kepala.

Terdengar helaan nafas darii Gus Zidan. Ia lega mendengar jika istrinya baik-baik saja. "Sayang, Mas kahawatir. Kamu di rumah dan sakit sendirian tanpa Mas disisi kamu, pasti rasanya berat,"

Ayana lagi-lagi merasa sangat bersalah karena sudah membohongi suaminya. "Mas, saya sudah ndak apa-apa. Mas jangan khawatir lagi ya?"

Gus Zidan mengangguk.

"Jus mangga pesanan saya mana?" Ayana sengaja mengalihkan pembicaraan ke arah lain, karena tidak mau melihat Gus Zidan merasa bersalah padanya.

Gus Zidan terkekeh pelan, mencubit gemas pipi Ayana yang entah perasaannya saja atau bagaimana, pipi Ayana terlihat sedikit chubby. "Ada di bawah sayang. Maaf ya, Mas langsung kesini karena panik," sesalnya.

Ayana tersenyum, "Ndak apa-apa Mas. Oh iya, Mas saya punya sesuatu untuk Mas,"

Gus Zidan mengerutkan keningnya. "Apa itu sayang?"

Ayana hanya tersenyum saja. "Mas tutup mata dulu tapi," pintanya.

"Hm? Memangnya apa sih sayang? Kenapa Mas harus tutup mata?"

"Ya namanya juga kejutan Mas. Ayo ceapt tutut mata!"

Gus Zidan menggelengkan kepala, sebelum akhirnya pasrah saja dengan menuruti keingin sang istri untuk menutup kedua matanya. "Oke. Oke. Sekarang mana hadiahnya hm? Mas sudah tutup mata lho?"

Ayana terkekeh pelan. Gus Zidan merasakan Ayana membuka telapak tangannya, dan meletakkan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu.

"Sekarang buka mata Mas," perintah Ayana.

Gus Zidan lagi-lagi menurut. Ia membuka kedua matanya, dan menatap dua benda yang kini berada di tangannya. "Sayang?"

Ayana mengangguk. "Iya Mas. Selamat menjadi calon Abi," Ayana berbisik dengan kedua mata yang menyipit karena tersenyum melihat Gus Zidan yang tampak masih syok.

Gus Zidan kembali menatap dua alat di telapak tangannya. Dua garis merah, yang berarti istrinya tengah positif hamil. "Sayang," Gus Zidan berucap lirih.

"Dalem Mas," Ayana menjawab dengan sama lirihnya, dengan perasaan campur aduk yang juga di rasakan oleh Gus Zidan saat ini.

Gus Zidan menggenggam dua alat tes kehamilan itu dengan erat sebelum mengecup seluruh wajah istrinya, sebagai ungkapan kebahagiaan karena Allah bersedia mengabulkan doa yang mereka panjatkan.

"Saya hamil Mas. Saya tidak mandul .... " lirih Ayana, mengingat kembali rasa sakit dari ucapan yang di lontarkan mantan mertuanya dulu.

Gus Zidan mengangguk, dan menangkup wajah sang istri. "Nggih sayang. Sekarang kamu sudah menjadi ibu, tolong tetap sehat dan jangan sungkan jika memang perlu bantuan dari Mas. Iya sayang?"

Ayana mengangguk. "Mas juga harus tetap sehat nggih? Kita harus sama-sama sehat sampai adik bayi lahir, dan menikah,"

"Iya sayangku," kemudian Gus Zidan menunduk menatap perut datar istrinya yang kini ada sebuah janin yang tumbuh disana. Ia lantas mengusapnya, "Adik Bayi, sehat-sehat Nggih di dalam sana. Jangan terlalu menyusahkan Amih Nggih?"

Ayana tanpa sadar kembali meneteskan air mata, entah untuk ke sekian juta kalinya ia bersyukur menjadi istri dari Gus Zidan ini.

"Kok Amih?" Ayana protes di dalam pelukan haru sang suami.

Gus Zidan melepaskan pelukannya. "Kenapa hm? Sayang tidak suka?"

"Suka. Tapi kok Amih? Kenapa ndak umi saja?"

Gus Zidan terkekeh, mengecup singkat bibir sang istri. "Mas suka saja. Unik, lucu juga kan. Bayangkan nanti adik bayi memanggil kita Amih dan Abi, nagus lho sayang,"

Ayana tampak berpikir beberapa saat sebelum senyum lebar terbit di wajahnya. "I love you Abi," ucapnya seraya mengecup pipi Gus Zidan.

Gus Zidan terkekeh, tidak ingin kalah ia membalas Ayana dengan mengecup seluruh wajah Ayana, sampai sang istri terkikik geli. "I love you too Amih,"

"Sayang, Ummah tahu soal ini?"

Ayana menggeleng, menyandarkan kepalanya pada bahu sang suami yang merangkul bahunya. "Ndak Mas. Saya minta Shilla tutup mulut dulu hehe,"

Gus Zidan terkekeh gemas, "Kita ke dokter dulu ya sayang, setelah itu baru beritahu Ummah dan Abah,"

"Siap Abi!"

Ayana dan Gus Zidan terkekeh, sampai kemudian Ayana berdiri dan menarik tangan sang suami. "Ayo ke bawah Mas. Kita makan bakso, adik bayi sudah lapar sepertinya hehe,"

"Adik bayi, atau Amihnya yang sudah lapar, hm?"

Ayana hanya terkekeh, Gus Zidan lantas bangun dan berjalan bergandengan tangan bersama Ayana menuju ruang makan. Disana sudah ada Ashilla dan Ummah yang tengah menghidangkan bakso ke dalam mangkok. Kening Ayana mengerut, saat melihat jus mangga pesanannya hanya tinggal setengah.

"Sini Mbak, Mas. Kita makan sama-sama!" serunya.

"Shilla, kamu yang minum jus Mangga itu?"

Shilla mengangguk, kembali menyedot jus Mangga itu di hadapan Gus Zidan dan Ayana.

"Dek! Itu jus mangga nya Mbak Ayana!" ujar Gus Zidan saat melihat mimik wajah sang istri yang terlihat akan menangis.

Ashilla tampak terkejut. Ia lantas meletakkan jus mangga itu di atas meja, "Mbak maaf, Shilla nggak tahu kalau ini punya Mbak,"

Ayana tiba-tiba saja menangis, dan itu membuat Ummah, Ashilla, dan Gus Zidan menjadi panik. Tak lama Ashilla meringis, ia tahu penyebab Mbak Ayana menangis karena mungkin Mbak Ayana tengah mengidam minum jus mangga, namun Ashilla yang malah meminumnya.

"Mas, sabar ya. Sembilan bulan itu lama lho," bisik Ashilla di telinga Gus Zidan yang mendadak lemot, tidak mengerti maksud dari sang adik.

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang