Gus Zidan berdeham, keduanya tampak sangat canggung. Gus Zidan pamit untuk ke kamar mandi membasuh wajahnya lalu menatap pantulan dirinya di cermin yang berada di kamar mandi, menghela napas beberapa kali untuk meredakan hasratnya.
"Astagfirullah," ia beristigfar saat wajah cantik Ayana tanpa hijab menari-nari di pikirannya. Setelah beberapa saat menenangkan diri ia memutuskan untuk keluar dari kamar mandi, menghampiri tas ransel miliknya yang berada di samping lemari pakaian milik Ayana, ia mengambil dompet berbahan kulit dari dalam tasnya, dan ikut duduk di samping Ayana yang kini tengah duduk di sisi ranjang dengan mukena yang sudah terlepas dari tubuhnya.
Ayana tanpa hijab, dan mengenakan daster bunga motif kecil berwarna sage benar-benar terlihat sangat cantik, rambut yang semula terikat rapi, kini tergerai sebatas pinggang yang begitu sangat indah.
"Sini dulu, duduknya deketan sama Mas," ucapnya.
Ayana mengangguk, lalu menggeser duduknya di samping sang suami dengan jarak yang hanya sedikit.
"Deketan lagi sayang," Gus Zidan kembali memerintah.
"Ini udah deket banget lho Mas," cicitnya.
"Ah, duduk di pangkuan Mas aja ya. Mau ndak?" godanya lagi.
"Mas, kalau kamu masih mau bercanda saya tinggal nih!" seru Ayana yang sudah sangat meleleh dengan perlakuan sang suami.
Guz Zidan terkekeh, tidak lagi berniat menggoda Ayana yang sangat cantik luar biasa di hadapannya. Ia membuka dompet, dan mengeluarkan sebuah kartu kredit ke hadapan Ayana.
"Hm, kenapa di kasih ke saya?" tanya Ayana, tanpa berniat mengambil kartu yang di sodorkan oleh Gus Zidan.
Gus Zidan menarik lembut tangan Ayana, meletakkan karti kredit itu di atas telapak tangan Ayana yang terbuka.
"Ini nafkah untuk kamu. Doakan agar rezeki saya lancar, dan bisa memberikan nafkah yang lebih untuk kamu,"
Ayana mengangguk, "Pasti Mas. Tanpa di minta pun, saya pasti mendoakan. Bukan hanya tentang rezeki, tapi kesehatan dan kebahagiaan juga untuk Mas,"
Gus Zidan tersenyum, mengecup kening Ayana lama, kecupan itu membawa rasa hangat pada hati dan juga kedua mata Ayana yang tanpa terasa meneteskan air mata. Gus Zidan bukan hanya memuliakannya, pria ini juga sangat menghormati dan memperlakukannya dengan sangat baik.
Gus Zidan menjauhkan wajahnya dari Ayana, menangkup wajah cantik sang istri yang terlihat menangis di hadapannya. "Hei, jangan menangis. Kenapa? Apa saya menyakiti kamu?"
Ayana menggeleng, membiarkan sang suami menghapus air matanya. "Mas, kenapa Mas begitu sangat baik kepada saya? Sedangkan saya belum bisa memberikan apa--"
"Ssst... Sayang, kamu ndak perlu memberikan Mas apa pun. Kamu hanya perlu berada di sisi Mas, berjalan bergandengan tangan menunu kebahagiaan kita di masa depan. Sudah nggih jangan menangis lagi,"
Ayana malah semakin terisak. Tutur kata yang lembut dari Gus Zidan benar-benar membuat hatinya mudah tersentuh dan terharu. Ia semakin yakin bahwa pria ini adalah pria yang baik, pria yang akan menjadi pendampingnya meniti kehidupan di masa depan bersamanya.
"Sudah nggih sayang. Kata-kata Mas ada menyakiti kamu?" Gus Zidan begitu sangat khawatir karena sang istri masih saja menangis.
Ayana menggelengkan kepalanya. "Mas..."
"Inggih sayangku. Ada apa?"
"Mas, malu ah jangan panggil sayang terus," gumamnya.
Gus Zidan tertawa, sepertinya sekarang ia memiliki hobi baru, yaitu menggoda istrinya, setidaknya Ayana sudah tidak lagi menangis.
Ah, hatinya seketika menghangat. Istri? Padahal dulu rasanya mustahil bisa bersanding dengan Ayana.
“Sini sayang!” Gus Zidan menarik pinggang sang istri dan mendudukkannya di pangkuannya.
Ayana terkejut, “Mas! Ya Allah!” serunya.
Lagi-lagi Gus Zidan tertawa seraya mengeratkan pelukannya pada pinggang Ayana. “Saya masih merasa seperti mimpi bisa seperti ini sama kamu,”
Ayana terdiam kaku di pelukan Gus Zidan, ia bisa melihat wajah tampan Gus Zidan dengan sangat jelas, hidung mancungnya, rahangnya yang tegas, kumis dan janggut yang telah di cukur rapi. Ah, rasanya ia ingin mengusap rahang tegas milik sang suami yang selalu berturur kata sangat manis dan lembut kepadanya.
"Kenapa hm? Mas tampan ya?" candanya.
Ayana berdeham, lalu mengangguk pelan. Gus Zidan memberikan kecupan pada pipi Ayana. Ia benar-benar gemas dengan istrinya ini, "Sayang, tolong bimbing saya menjadi suami yang baik. Imam yang baik sesuai syari'at islam nggih?" Gus Zidan berucap seraya menatap lekat wajah cantik Ayana yang bersemu merah.
Ayana tersenyum tipis. "Inggih Mas. Bimbing saya juga menjadi istri yang baik untuk Mas,"
Gus Zidan mengangguk, mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Ayana yang duduk di pangkuannya. Tatapannya sama sekali tidak pernah lepas dari si cantik yang sudah lama bersemayam di hatinya ini. "Iya sayang, kita sama-sama saling mengingatkan ya?"
"Iya Mas,"
"Terima kasih sudah menerima saya. Mari sama-sama memperbaiki diri dan membangun keluarga yang SAMAWA bersama saya,"
Ayana mengangguk, kini kedua tangannya mengalung pada leher sang suami. "Terima kasih juga karena memilih saya Mas. Bimbing saya juga ya Mas, jangan sungkan memberi saya teguran jika saya salah,"
"Inggih sayangku,"
Ayana dan Gus Zidan saling berpandangan dan menangis haru, entah siapa yang memulai kini bibir mereka saling berpagut mesra. Pagutan itu terlepas, karena Gus Zidan yang mengakhiri. "Sudah nggih, ayo istirahat. Mas takut khilaf," ucapnya seraya hendak menurunkan Ayana dari pangkuannya, namun Ayana menahannya dengan malah memeluk erat leher Gus Zidan, sedang wajahnya ia benamkan pada ceruk leher sang suami.
Ia mengerti apa maksud sang suami, bagaimana pun ini adalah malam pertama mereka, dan ia sudah sepatutnya siap untuk Gus Zidan dan menyerahkan diri dan seluruh hidupnya kepada sang suami.
"Sayang .... " Gus Zidan mengerang, apalagi merasakan embusan napas Ayana yang berembus pada kulit lehernya yang sensitif. "Mas ndak mau menyakiti kamu lho. Apalagi kamu juga pasti lelah kan. Ayo turun nggih,"
Ayana mengangkat wajahnya dari leher Gus Zidan, dengan wajah yang memerah Ayana menatap wajah Gus Zidan, tatapan mata suaminya itu tampak berkabut. "Mas, ayo shalat sunnah zifaf,"
Kedua mata Gus Zidan melebar, ia tidak mungkin tidak paham dengan maksud sang istri. "Kita istirahat saja nggih?" Sungguh ia takut membuat Ayana kelelahan bukan karena ia tidak menginginkannya.
Wajah Ayana terlihat murung, ia bahkan dengan sukarela turun dari pangkuan sang suami. Gus Zidan meraup wajahnya kasar, lalu menyusul sang istri yang masuk ke dalam kamar mandi.
"Ayo sayang. Kita shalat sunnah Zifaf, setelah itu Mas ndak akan melepaskan kamu sampai subuh. Karena ini subuh pertama kita,"
Wajah Ayana memerah padam, suaminya ini kenapa sangat frontal sekali.
"Awas ya kamu, Mas ndak akan lepaskan kamu!" sahut Gus Zidan yang kini mulai mengambil wudhu, sementara Ayana merasa merinding sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓
RomanceAyana Kaifiya Hanifah bercerai dengan suaminya di usia pernikahnnya yang ke-6 tahun, hanya karena belum kunjung di beri momongan. Azka suaminya berselingkuh dan menghamili wanita lain dengan dalih ingin bisa memiliki keturunan, dan parahnya lagi hal...