“Kamu bagaimana? Repot ndak mengajar di Ibtidaiyah?” tanya Ummah Aini kepada Ashilla.
Ashilla tampak menghembuskan napas lelah. “Capek Ummah. Repooot, soalnya mereka kan masih kecil-kecil,” keluhnya.
Setelah makan malam bersama, keluarga Abah Yai Zaki beserta Ayana duduk di ruang tamu. Meski awalnya Ayana hendak pamit untuk pulang, namun kedua orang tua itu melarang, dengan alasan mereka berdua masih sangat merindukannya. Ayana terharu, ia benar-benar di perlakukan selayaknya anak mereka sendiri.
Abah Yai Zaki sontak terkekeh pelan, mendengar keluhan sang anak. Akhir-akhir ini anak bungsunya itu memang sering mengeluh betapa lelahnya mengajar di kelas Ibtidaiyah. Ini bermula saat ustadzah Arini guru bahasa arab di Ibtidaiyah mengambil cuti melahirkan selama tiga bulan. Ashilla jadi mengajar dua kelas, kelas Ibtidaiyah, dan kelas Tsanawiyah.
“Ummah, apa ndak ada yang bisa menjadi guru sementara di sana?” gadis itu merengek manja kepada sang ibu.
Ummah Aini mengelus pucuk kepala sang putri. “Belum ada sayang.”“Ndak boleh banyak mengeluh,” seloroh Gus Zidan dengan wajah datarnya.
Ashilla mendelik kesal. “Iish! Mas itu ndak tahu bagaimana rasanya—“
“Wes. Ndak usah berantem. Ndak malu sama Mbak Ayana?” lerai Abah Yai Zaki.
Ashilla menyengir lebar, sedangkan Gus Zidan hanya memasang wajah datar.
"Ah, begini saja. Kebetulan Mbak Ayana kan sebelumnya bilang akan menetap di jogja. Bagaimana jika Mbak Ayana mengajar disini saja, menggantikan Ustadzah Arini yang tengah cuti?"
Abah Yai Zaki mengangguk, setuju dengan saran sang istri. Namun tetap mereka tidak bisa semena-mena, mereka harus mendengarkan jawaban dari Ayana dulu.
'Menetap disini? Apa maksudnya?' Perkataan yang di sampaikan oleh Ummahnya barusan itu tentu mengusik hatinya.
'Kenapa? Kenapa jalannya semakin sulit untuk Saya? Ya Allah, saya ingin melupakannya, tapi mengapa engkau semakin mendekatkannya padaku?'
Gus Zidan tentulah semakin resah. Perjuangannya melupakan Ayana selama enam tahun sudah hampir goyah. Tidak! Gus Zidan berharap Ayana tidak akan menyetujui keinginan Ummah nya untuk mengajar disini.
Tidak boleh pokoknya.
"SETUJU!!"
Di tengah suasana yang tampak hening Ashilla menyahut dengan nyaring, Gus Zidan sampai terkejut karena teriakannya, sedangkan si bungsu keluarganya itu malah tertawa melihatnya yang tengah kesal.
Abah Yai Zaki menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya yang selalu saja membuat terkejut. "Lho, main setuju-setuju saja. Lha wong yang di tanya itu Mbak Ayana, kok kamu yang nyahut dek,"
"Hehehe" yang di tegur hanya tertawa.
Ayana tersenyum melihat wajah penuh harap Ashilla, lalu mengalihkan tatapannya kepada Ummah Aini. "Apa ndak apa-apa Ummah?" tanyanya.
"Ndak apa-apa Mbak."
'Saya yang kenapa-napa Ayana. Saya takut ndak bisa mengendalikan perasaan saya,' Gus Zidan berucap dalam hati.
Namun melihat wajah keluarganya yang tampak berharap kesediaan Ayana untuk mengajar dirinya tidak bisa memaksa. Jika kamu bersedia, itu artinya saya yang harus menghindar dari kamu.
"Plis harus mau Mbak,"
"Ashilla .... " Ummah Aini kembali menegur.
Ayana akhirnya mengangguk. "Inggih Umnah, Abah, saya bersedia," jawabnya.
Gus Zidan mengepalkan kedua tangannya, dadanya seolah tertimpa batu besar. Keputusan Ayana barusan membuat dirinya semakin sulit, tembok kokoh yang ia bangun selama ini hancur begitu saja. 'Demi apa pun Zidan. Ayana adalah istri orang lain! Sadarlah!' Sebagian hatinya berteriak meminta dirinya yang hampir goyah itu untuk sadar dan tidak memaksakan keinginan di hatinya.
"Zidan pamit izin ke kamar Ummah, Abah," ia tiba-tiba bangkit dari sofa dan berjalan ke kamarnya tanpa menunggu jawaban dari kedua orang tuanya.
Ashilla lagi-lagi menyadari ada keanehan dari sikap sang kakak. 'Mas Zidan kenapa ya?' pertanyaan itu hanya bisa ia ucapkan di dalam hati. Selanjutnya ia kembali fokus kepada Ayana dan kedua orang tuanya yang turut membahas perihal jadwal mengajar, dan yang lainnya.
***
Sementara Gus Zidan tengah gusar di dalam kamarnya. Ia menatap wajahnya di depan cermin yang menunjukkan wajahnya yang nampak frustrasi.
Ayana Khaifiya Hanifah ...
Nama itu masih saja bersemayam di hatinya. Wanita cantik asal jogja yang pertama kali ia temui di kampus sang adik beberapa tahun silam, Ayana merupakan kakak tingkat Ashilla dari fakultas sastra arab.
Siapa sangka wanita yang saat itu mengenakan kemeja biru muda yang di padukan rok berwarna hitam dan jilbab berwarna serupa dengan kemejanya, bisa membuat hati Gus Zidan berdesir, merasakan hal yang berbeda.
Dari sana, Ashilla sering sekali mengajak Ayana main ke ndalem dan terus berpapasan, berkenalan, berbincang dan bercanda dengannya. Ia bahkan datang ke acara wisuda Ayana.
Sejak itulah akhirnya ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta kepada Ayana. Ia meminta Ayana melalui jalur langit, namun ketika tekadnya sudah siap untuk mengatakan kepada Ummah dan Abah untuk melamar Ayana, sosok itu datang ke rumah dengan membawa sebuah surat undangan pernikahan.
Hatinya hancur, namun ia tidak bisa apa-apa, selain memasang senyum manis seraya menerima satu surat undangan miliknya. "Wah selamat nggih mbak Ayana, semoga di perlancar segalanya,"
"Amiin, Gus di tunggu kehadirannya bersama yang lain,"
Ayana tidak tahu saja seberapa hancurnya perasaan dan hatinya. Rasanya sakit dan perih, seolah Ayana telah menaburkan setumpuk bara api ke hatinya.
Cinta yang selama ini ia panjatkan kepada Allah tidak terkabul. Do'anya tak di jawab sesuai dengan ekspektasinya.
Hari itu, dimana seharusnya ia datang bersama keluarganya ke pernikahan Ayana, ia justru pergi ke luar kota menggantikan acara Abahnya sebagai penceramah, ia memilih menginap di hotel selama beberapa hari untuk sekedar meredakan rasa sakitnya.
Ia hanya mendengar jika beberapa hari setelah menikah, Ayana kehilangan kedua orang tua nya yang meninggal kecelakaan saat di perjalanan menuju jogja. Lalu ia mendengar Ayana dan suaminya tinggal di jakarta, di rumah yang di tinggalkan oleh mendiang orang tuanya.
Enam tahun, tentulah bukan waktu yang sebentar, tidak mudah baginya untuk melupakan sang cinta pertamanya. Tentu dengan perjuangan yang begitu keras ia hampir berhasil, namun sekarang Ayana kembali datang, menetap kembali di kota kelahirannya, mengajar dan akan tinggal di asrama pomdok khusus guru perempuan.
Jika begini keadaannya, sudah pasti ia akan goyah. Ia akan kalah, dan kembalinterombang-ambing seperti sebelumnya.
Gus Zidan beranjak duduk di atas ranjang dan mengusap wajahnya kasar, menghembuskan napas beberapa kali, sebelum akhirnya ia menatap langit-langit kamarnya dengan sendu.
"Ya Allah, tolong lapangkan hatiku. Hilangkan perasaan yang salah ini, jangan biarkan hamba terjebak semakin dalam," lirihnya.
"Ya Allah yang maha segalanya. Hamba mohon, kuatkan hati hamba sekali lagi." imbuhnya, lalu pria 28 tahun tahun itu diam-diam menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓
RomanceAyana Kaifiya Hanifah bercerai dengan suaminya di usia pernikahnnya yang ke-6 tahun, hanya karena belum kunjung di beri momongan. Azka suaminya berselingkuh dan menghamili wanita lain dengan dalih ingin bisa memiliki keturunan, dan parahnya lagi hal...