CDD-24 [IBU-IBU JULID]

14.8K 766 8
                                    

Sudah tiga bulan pernikahan, namun Ayana belum ada tanda-tanda akan hamil. Setiap malam, ia selalu bangun saat Gus Zidan sudah sudah terlelap nyenyak, setiap malam pikirannya selalu berkelana kemana-mana. Meski suaminya berkali-kali mengatakan tidak mengapa jika mereka tidak di karuniai anak, yang penting mereka bisa sama-sama sampai tua, dan maut memisahkan.

Tapi tetap saja, ia tidak bisa tenang. Bagaimana pun, ia di tinggalkan karena tidak bisa memberikan keturunan. Ayana jadi takut hal itu akan kembali terjadi kepadanya.

Keluarga Gus Zidan juga pasti sangat menjaga perasaannya, tidak satu pun dari mereka yang menyinggung perihal kehamilan kepadanya. Padahal Gus Zidan adalah anak pertama mereka, tentu mungkin di dalam hatinya mereka sangat menantikan cucu untuk menjadi penerus keluarga ini.

"Ning Ayana, apa ndak belanja ke pasar hari ini?" tanya salah satu ibu-ibu yang juga tengah berbelanja di tukang sayur keliling bersamanya.

Ayana tersenyum tipis. "Ke pasar Buk. Tapi saya sedang ingin masak orek tempe, yang tempenya di jual sama tukang sayur keliling," jawabnya.

Tiba-tiba saja ia menginginkan jenis masakan itu saat melihat tukang sayur  ini. Padahal ia tengah memesan bakso kepada suaminya. Ia menghampiri tukang sayur dan mulai memilih apa yang ia inginkan bersama empat orang ibu-ibu yang tinggal di dekat pondok pesantren.

"Apa Ning Ayana sedang mengidam ya?" Tanya ibu berkerudung hitam, yang ia kenal sebagai ibu Munawaroh.

Deg!

Ayana yang akhir-akhir ini sensitif perihal kehamilan, merasakan hatinya seperti di hantam benda keras. Mengidam? Saya tidak hamil Buk!

Ayan menggelengkan kepalanya, dan menyembunyikan perasaannya yang terluka dengan senyuman lebar. "Belum hamil Buk. Doakan ya, agar segera isi," jawabnya.

"Sudah tiga bulan ya Ning? Anak saya dua minggu menikah sudah langsung isi lho," Ibu Sakinah, wanita yang mengenakan kerudung maroon menimpali.

Sontak saja mendapatkan senggolan pelan dari ibu Munawaroh. "Shhht. Nanti Ning Ayana tersinggung," bisiknya. Namun masih dapat di dengar oleh Ayana.

Sakit, rasanya. Sakit sekali.

Mengapa oranglain di berikan kepercayaan untuk hamil dengan sangat mudah?

Apa ada yang salah dengan dirinya? Tidak, setiap malam ia terus berdoa dan meminta agar di segerakan mengandung, namun sepertinya doa yang ia panjatkan tidak pernah di dengar tuhan, sampai sekarang.

"Ning, maafkan ibu Sakinah ya. Kami yakin, jika maksudnya tidak ada menyinggung kepada Ning Ayana," Ibu Yeni menatapnya dengan raut wajah yang sendu.

Ayana sekali lagi berpura-pura kuat. "Tidak apa-apa Buk. Wajar, namanya juga manusia."

"Ning, dengar-dengar Ning juga dulu di tinggalkan suami karena tidak bisa memberi keturunan ya? Ya Allah, kasihan sekali keluarga Abah Yai Muzaki, tidak akan memiliki cucu dan pewaris pondok pesantren ini,"

"Ibu sakinah!!" ketiga ibu-ibu yang berbelanja itu kompak menegur Ibu sakinah yang lagi-lagi berkoar-koar menyudutkan Ayana.

"Lho kenapa? Itu fakta, kan?"

Keinginannya untuk membeli tempe yang semula menggebu-gebu perlahan surut. Ia sudah tidak selera dengan bahan makanan yang ia pegang, moodnya menjadi sangat berantakan.

"Tidak apa-apa Buk. Ibu sakinah berhak mengatakan apa yang ingin di katakannya. Soal apakah menyinggung saya atau tidak, itu adalah urusannya dengan Allah,"

Ketiga ibu-ibu menatap istri dari Gus Zidan itu dengan tertunduk. Mereka merasa malu dengan ucapan teman mereka yang merendahkan Ning Ayana. Mereka tahu, hatinya Ning Ayana pasti terluka mendengar ucapan-ucapan dari Ibu Sakinah.

"Lho Mbak? Shilla cari-cari Mbak lho dari tadi, ternyata lagi beli sayur di depan pondok," sosok Ashilla datang, kemudian keningnya mengerut melihat suasana yang tampak sangat berbeda. Kenapa semuanya tampak terdiam?

"Lho? Kenapa ini, kok suasananya seperti ini? Saya ganggu ya?" Tanyanya, namun tidak mendapatkan jawaban apa pun.

"Mbak, kenapa sih?" tanya Ashilla kepada Ayana.

Ayan menggeleng, "Ndak kenapa-napa kok dek," balasnya. "Pak, maaf ya saya ndak jadi ambil tempenya," ucapnya tidak enak kepada si penjual sayur.

"Ndak apa-apa Ning. Saya mengerti," jawabnya.

Ayana mengangguk. "Dek, kamu masih mau disini? Mbak mau pulang, rasanya kepala Mbak pusing," ucapnya.

"Iya, Mbak kalau sakit pulang saja. Shilla di suruh Ummah beli cabai merah dan tomat," ucap Ashilla.

Ayana mengangguk, lalu pamit kepada semua orang, dan berjalan masuk ke area pondok pesantren.

Ashilla tahu ada sesuatu yang di sembunyikan oleh Ayana, ia menatap ke empat ibu-ibu yang kembali memilah sayuran. "Pak, mau cabai merah sepuluh ribu, sama tomatnya juga sepuluh ribu," ucapnya, ia memang benar di minta Ummah Aini untuk berbelanja, ia mencari Ayana karena ingin minta di temani.

"Enak banget ya, abis pegang-pegang tempe, tapi ujungnya gak jadi beli," lagi-lagi ibu Sakinah kembali berucap.

Ashilla menatap sosok ibu-ibu yang barusan berbicara itu. "Maaf ibu, kenapa ya sepertinya ibu tidak suka dengan Mbak Ayana? Apa jangan-jangan ibu sempat mengatakan hal buruk kepada Mbak Ayana?"

Ibu sakinah mengangkat bahu acuh. "Hal buruk apa? Saya hanya bilang sudah menikah tiga bulan masa belum hamil, anak saya saja yang baru menikah dua minggu langsung hamil," ibu Sakinah berkata tanpa beban, seolah ucapannya memang bukanlah apa-apa. "Saya juga bilang kasian sekali keluarga Abah Yai Muzaki tidak bisa mendapatkan penerus dari Ning Ayana dan Gus Zidan, karena Ning Ayana itu mandul,"

Mendengar itu, wajah Ashilla memerah padam. Bagaimana bisa ada orang yang berbicara setega itu kepada kakak iparnya? Ah, ia mengerti situasi yang sempat canggung, dan sepi tadi. Jadi, ibu ini biang keladinya?

"Buk. Mau Mbak Ayana memiliki keturunan atau tidak, itu bukan urusan ibu. Ibu juga perempuan kan? Bagaimana jika anak ibu ada di posisi Mbak Ayana sekarang, apa Ibu tidak sakit hati?"

Tidak ada yang menjawab, bahkan Ibu Sakinah yang sedari tadi berbicara julid itu diam.

"Buk, dari pada mengurusi kehidupan orang lain. Lebih baik urusi kehidupan Ibu sendiri saja, maaf kalau saya tidak sopan berbicara begini. Ibu-ibu harus tahu, selama Mbak Ayana masih bagian dari keluarga ndalem, saya dan keluarga tidak akan tinggal diam jika ada yang menindas Mbak Ayana,"

Ashilla menghela napas, mengucap istigfar untuk meredakan rasa marahnya. "Pak, ini uangnya. Saya permisi ya semuanya, Assalamualaikum!"

"Waalaikumsallam,"

Ashilla bergegas pergi, tujuannya sekarang adalah menemui kakak iparnya yang saat ini pasti sedang sangat terluka hatinya.

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang