Chapter 15

1.6K 64 4
                                    

Vote dan Comment nya jangan lupa ya...

---

ANNA


Aku tidak tahu apa yang salah pada Silas tadi malam. Dia mengejutkanku dengan bersikap begitu baik dan membuatkan makanan untuk kami, hanya untuk berubah sikap menjadi lebih dingin di detik setelahnya. Keluar dari rumah terburu-buru dan berkata sesuatu tentang apapun yang tertinggal di bengkelnya. Dia berkata hanya pergi sebentar tapi hingga Jace sudah terlelap di tempat tidurnya dia belum juga kembali. Aku memutuskan untuk pergi ke kabinku tanpa menunggu dia lagi setelah itu.

Aku benar-benar tidak bisa memahami Silas. Meski aku ingin kami setidaknya berteman, sepertinya dia ingin tetap menjaga jarak denganku. Terkadang di satu momen tertentu, aku merasakan matanya tertuju padaku, mengamatiku dan aku bertanya-tanya pada apa yang sedang dia pikirkan.

"Apa kau melihat tabletku?" Jace bertanya, menyela pikiranku.

Memotong beberapa potong daging kalkun yang sedang kumasak, aku menggelengkan kepala sambil menyipitkan mata, kembali mengingat apa aku tahu di mana letaknya. "Tidak, kurasa aku tidak melihatnya."

Jace duduk di meja dengan gusar dan bergumam, seolah pertanyaannya tidak masuk akal. "Tentu saja kau tidak tahu, kan tabletku sedang hilang." dia ber-huff sambil menyangga pipinya dengan tangan mungilnya. "Temanku, Stephen, dia bilang ada game baru yang akan dirilis hari ini dan aku ingin memainkannya di tabletku."

"Maaf," jawabku sambil menghidangkan kalkun. "Aku tidak melihatnya."

Suara derit dari pintu belakang yang terbuka memberi tanda bahwa Silas sedang ada di rumah. Ketika dia melangkah ke dapur, Jace bergegas ke sisi ayahnya dan berseru, "Ayah! Hei, apa kau melihat tabletku? Aku sudah mencarinya kemana-mana."

Aku menaruh sedikit saus dan kentang tumbuk di piring bersama dengan seporsi kacang polong. Memutuskan untuk menaruh fokusku pada makanan dan tidak melihat ke arah Silas. 

Sejak sikap aneh nya di meja makan tadi malam, kami belum bertatap muka lagi. Dan mendadak aku tidak nyaman melihatnya sekarang. Aku takut akan membuatnya kesal atau marah meski aku tidak mengerti kenapa aku harus merasa seperti itu. Seingatku aku bahkan tidak membuat kesalahan.

Jadi karena tidak tahu harus bersikap bagaimana, aku melakukan apa yang dia lakukan. 

"No, I have not seen your tablet," kata Silas sembari duduk di meja. "But knowing you, I seriously doubt you've looked hard enough." dia bergerak mundur ketika aku meletakkan piring di depannya, lalu menjauhkan kursinya dariku, memberi lebih banyak jarak di antara kami.

"Could I use your phone, Dad?" Jace memohon sementara aku meletakkan piringnya.

Sambil menggelengkan kepalanya, Silas mengulurkan tangan besarnya untuk mengambil garpu. "No. I need my phone for work," jawabnya. "You know that. It would be bad if someone tried to get in touch with me and couldn't."

Begitu aku duduk, aku merasakan mata Jace mengarah ke arahku. Sambil menyatukan kedua tangannya dengan sikap memohon yang menggemaskan, dia bertanya, "Anna, can I please use your phone? You can watch me while I'm using it. I promise I'll be so good."

Aku melirik Jace, lalu ke Silas yang sepertinya sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan ini.

Memakai ponselku? Aku hanya bisa meringis kaku mendengar pertanyaan Jace. Ponsel adalah satu-satunya benda yang kuyakini akan digunakan Ben untuk melacak keberadaanku, jadi aku sudah membuang benda itu sejak lama sebelum aku datang ke New Harmony. Jika Jace meminjam ponselku, dia harus kembali ke Chicago dan menggalinya di sepanjang Danau Michigan.

Suddenly I'm a NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang