ANNA
Pagi berikutnya kami menyibukkan diri dengan memindahkan semua barang-barangku ke rumah selain perabotan yang ada di kabin. Meski tidak banyak, Jace dan Silas tetap bersikeras ikut membantu. Mereka begitu konsisten hingga aku tidak punya pilihan selain membiarkannya.
Lima belas menit kemudian kami selesai dan sekarang aku dan Jace berada di dapur untuk membuat hidangan kue mangkuk dengan banyak coklat kesukaannya.
Silas duduk di kursi konter dengan kopi hitamnya. Karena harus menemani Sean mengantarkan pesanan jendela kaca pada teman nya yang sebenarnya sudah selesai satu minggu yang lalu, dia baru bisa bergabung disaat adonan kami hampir selesai
Aku sedang berdiskusi dengan Jace soal takaran coklat dan bersiap menyiapkan piring untuk kue kami ketika aku menangkapnya tengah memandangiku dengan senyum penuh arti.
Aku tidak bisa menahan untuk tidak membalas senyumnya. Dari kami berdua, aku memiliki pengendalian diri yang lebih besar daripada Silas. Seringkali saat aku sibuk memasak dan ketika Jace tidak melihat —sesuai keinginan Jace yang berkata ciuman itu menjijikan— dia terus mencuri ciuman singkat di bibirku, membuatku seperti remaja bodoh yang sedang kasmaran dan tidak bisa berkata-kata setidaknya selama lima belas detik.
“Anna, can you pass me the powdered sugar for the frosting?"
Aku mengedipkan mata padanya lalu menatap Jace yang sedang sibuk mencampur adonan kue dengan coklat batang yang sudah meleleh. Mengulum senyumku sementara pipiku terasa semakin hangat.
"Here." Jariku menyentuh jari Silas.
Saat senyuman seksinya melebar, aku suka saat berpikir itu terjadi karenaku.
“Mana kue keringnya?” Sean berjalan masuk dari arah ruang TV, menghampiri Jace dan mencelupkan jarinya ke dalam adonan.
"Hei!" keluh Jace sambil menepis tangannya. “Ini belum jadi. Dan kami membuat kue mangkuk, bukan kue kering.”
“Well, let me help you.”
Ketika Sean memasukkan kelingkingnya lagi ke dalam adonan, Jace merengek dan membalasnya dengan mengangkat sendok pengaduk dan menempelkannya ke kemeja Sean.
“No cheat eating!” cibirannya begitu menggemaskan.
“Hey! I like this shirt.” Sean menatap adonan putih kecoklatan yang dioleskan pada kaus polo biru lautnya.
Sebagai tanggapan, Jace hanya menjulurkan lidahnya dan memasukkan kembali sendoknya ke dalam mangkuk sebelum mulai mengaduknya lagi.
“Itu salahmu karena mengganggunya,” kata Silas sambil mendengus geli.
Seperti seorang pemberontak, Sean bertingkah lagi, mencelupkan jari telunjuknya ke dalam baskom pengaduk dan menjilat jarinya hingga bersih.
Mata Jace terbelalak, mulutnya terbuka sedikit membentuk huruf O, dan sebagai pembalasan, Jace mencelupkan tiga jari ke dalam mangkuk dan menggosokkannya lebih banyak ke kemeja Sean.
"You guys,” tegurku.
Tapi itu semua sia-sia karena saat Jace tetap beraksi dan mencelupkan tangannya ke dalam adonan, Sean lebih cepat dan mengoleskan adonan putih ke pipi keponakannya.
“You two, stop!” Silas memerintahkan.
Tidak ada ronde kedua karena, dengan kata-katanya, mereka semua terdiam, dengan mata terbelalak dan jari-jari penuh adonan—termasuk Sean.
“Jace… ganti bajumu.” Dia menunjuk ke anak tangga. “Sean, what are you, five? you should know better..”
“Hei, dia yang memulainya.” katanya sambil menunjuk Jace, berpura-pura manis, tapi Silas mengarahkan dagunya ke pintu. “Bantulah mengganti pakaiannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
DragosteKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...