Chapter 45

651 51 9
                                    

Siapa yang nungguin aku update, hayo???

Umm, berhubung part kemarin belum ada sepuluh vote, hari ini kayaknya aku upload dua part dulu deh ya, ga jadi tiga.

Capek banget mikir skenario kalau banyak yang sider :(

Aku makasih banyak banyak buat yang selalu ninggalin jejak, kalian alasan aku buat ga males kelarin cerita ini walau di otakku pengen banget nulis cerita baru >_<

Soo, see u next part...

Aku bakal upload part selanjutnya agak maleman ya.

Love y'all <3


ANNA




Selesai berbelanja, kami pulang ke rumah dalam keheningan. Satu-satunya suara di dalam mobil hanyalah Jace yang menyanyikan lagu "Old MacDonald" sembari dengan gembira mengunyah kue kue coklat nya seperti dia telah berhasil memenangkannya.

Aku belum bertanya kepada Silas tentang Vivian. Juga tidak akan melakukanya. Aku sadar aku tidak punya hak atas masa lalunya atau kehidupannya saat ini yang berhubungan dengan apa pun selain anak-anak. Apa yang dia lakukan dan dengan siapa pun dia melakukannya bukanlah urusanku.

Tapi, Ya tuhan, sekuat apapun diriku menahannya, hatiku rasanya sesak saat melihatnya. Vivian. Perempuan itu cantik dengan rambut hitam apik seperti iklan shampo, kulit zaitunnya, dan sosok tinggi langsing yang hanya dimiliki oleh para model. Dan ketika Silas meletakkan tangannya di pergelangan tangannya dan mengajaknya pergi menjauh, aku tidak tahan lagi. Aku berbalik dan mengantar Jace menuju lorong lain untuk mengambil kue dan cokelat. Aku tidak tahu mengapa aku selama ini berasumsi jika Silas masih lajang.

Mungkin karena, selama beberapa bulan terakhir, saat dia tidak bekerja, aku tidak pernah melihatnya membawa wanita.

Aku pikir Silas tidak memiliki hubungan dengan orang lain selain beberapa teman kerja dan saudara-saudaranya.

Sebagian besar hidupnya terlihat santai, dan rutin.
Tapi melihat dirinya, aku seharusnya tahu lebih baik. Silas adalah pria tampan, dengan postur tubuh tinggi dan segala fisiknya yang mampu membuat wanita manapun merasa panas dingin. Setiap wanita lajang yang waras di sekitar sini tidak mungkin jika tidak tertarik, aku yakin itu.

Silas tidak berhutang penjelasan padaku, dan aku juga tidak akan bertanya. Aku yakin kami akan kembali mengabaikan hal ini. Jadi, aku sama sekali tidak menyangka dia akan menutup lemari es setelah kami mengosongkan bahan makanan dan menyudutkanku. Tangannya terasa berat di atas baja anti karat saat dia menjulang tinggi di atasku.

Punggungku menempel di lemari es. Dia begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma mint di bibirnya, dan dadanya hanya berjarak beberapa inci dari wajahku.

Aku mencoba sekuat tenaga untuk terpengaruh.

“Vivian is someone I used to have fun with. But that's it. It wasn’t anything serious, and now it’s over.”

Aku menekankan tangan ke dadanya untuk menghentikannya berbicara lebih jauh. “Silas, kau tidak perlu menjelaskannya padaku.”

Detak jantungnya bertambah cepat di bawah telapak tanganku, dan panas dari tubuhnya memancar dari dirinya dalam bentuk gelombang.

"I know." dia menahan tatapanku, lalu tatapannya beralih ke bibirku. “But this is me. I just feel not telling you bothered me all the way here.”

Suddenly I'm a NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang