ANNA
Setelah insiden di malam senin dengan Silas yang hampir menjadi bencana, kami berusaha sebisa mungkin bersikap normal keesokan harinya.
Silas sudah meminta maaf atas reaksinya malam sebelumnya dan meski ada sedikit rasa kecewa, aku tetap menghargai nya. Jika berpikir rasional, aku justru bersyukur dia menjadi yang pertama yang mengonfrontasi, karena jika tidak, aku sendiri tidak yakin akan bisa mengendalikan diri. Jadi, aku rasa keputusan kami sudah tepat.
Dua hari, tiga hari hubungan kami benar-benar hanya sekedar sapa. Atau bertukar senyum formalitas saat melihatku bermain bersama Jace. Sama sekali tidak ada percakapan basa-basi.
Aku rasa dia telah kembali ke sifat pendiamnya, kebanyakan menghindariku, selain dari pesan-pesannya yang tak terhitung jumlahnya untuk menanyakan kegiatan Jace ketika dia harus bekerja siang malam.
Hari selanjutnya aku mencoba mengenyahkan segala dinamika hubunganku dengan Silas. Lebih memfokuskan diri pada Jace dan rutinitas rutinitas pekerjaan yang sudah ku hafal di luar kepala.
Sekarang aku semakin sering berpergian sendiri karena sudah mengenal jalanan di sekitar kota. Aku pandai mengingat nama dan wajah, jadi menyenangkan bisa mengucapkan sapa ketika berpapasan dengan seseorang di jalan atau berbelanja di toko di pusat kota. Aku juga beberapa kali singgah ke restoran tempat Maggie bekerja ketika Jace meminta Ice cream coklat kesukaannya.
Pada Minggu pagi, aku bersiap seperti biasanya. Pukul lima lebih tiga puluh menit. Senyumku mengembang ketika melihat betapa mudahnya sekarang bagiku bangun sepagi ini.
Kakiku berjalan di hamparan rumput, menuju ke pintu belakang. Aku menutup pintu dan berniat menyeduh kopi untukku tapi-
"Anna!"
Langkahku terhenti. Seketika terkesiap saat melihat Jace dan Silas sudah duduk di meja makan seberang dapur.
"Anna, anna!" Jace berseru bangkit lalu berjalan menghampiriku.
Aku hanya berkedip-kedip saat tubuh kecilnya membawaku ke meja makan.
"Hey,"
Aku menoleh dan mata Silas bertemu denganku.
"H-hi!" aku memasang senyum ramah sambil berusaha menahan jantungku yang selalu bereaksi berlebihan setiap ada didekatnya.
Sambil menyesap kopi dari mulut cangkir, Silas berkata, "Aku dan Jace baru saja-"
"Anna, kau tahu, aku tadi bertemu kucing lucu sekali. Sayang sekali Dad tidak mengizinkanku membawanya pulang. Padahal aku ingin dia berteman dengan Molin." Jace memotongnya cepat membuat ayahnya hanya bergeleng. Dia bercerita begitu cepat sampai aku kesulitan menangkapnya.
Silas berdecak. "Kau tidak bisa membawa pulang setiap kucing yang kau temui, Jace."
"Kenapa tidak?" lalu kepala kecilnya menoleh kerahku. "Menurutku itu ide bagus kalau Molin punya teman. Bukankah begitu, Anna?"
"Uhmm.." aku tersenyum bingung, hampir bertanya apa maksudnya ketika suara di sebelahku menjawab,
"We just had jog. Normally it was just me but Jace insisted to come."
"Oh.." aku melirik pakaian mereka, lalu mengangguk, baru menyadari dari sepatu olahraga yang masih melekat di keduanya.
"Maaf, Anna. Sebenarnya aku ingin mengajakmu tapi Dad melarangku." dengan nada lesu Jace kembali duduk di kursi. Dia tidak lagi mengungkit soal kucing yang di temuinya. Aku mengikutinya. Duduk di samping Jace, bersebrangan dengan Silas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomanceKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...