SILAS
Satu bulan semenjak kedatangannya, aku benci harus mengakui bahwa Anna adalah pengasuh yang lebih baik daripada yang ku kira. Perilaku Jace yang lebih mudah diatur dari biasanya membuat keraguanku tak lagi beralasan terhadapnya.
Meskipun anak itu masih sering meminta waktu tambahan untuk bermain, Anna tidak akan pernah mengiyakannya begitu saja sebelum memastikan jika tugas sekolah Jace beres. Dia, entah bagaimana berhasil mengajarinya untuk bertanggung jawab dengan cara yang berbeda dariku.
Hasilnya, tidak ada lagi PR yang terbengkalai karena lupa waktu, tidak ada lagi mainan berceceran di lantai atau rengekan memohon untuk mengajakku menemaninya bermain.
Setiap aku bekerja dan berakhir pulang untuk makan malam bersama, mereka selalu penuh antusias saat bercerita tentang hal-hal menyenangkan yang mereka lakukan hari itu—yoga di depan kabin, balap lari di halaman belakang, bermain kelereng dan mobil remort control di jalan masuk, atau bahkan seperti kebiasaan yang mereka lakukan selama dua minggu ini, maraton film.
Pada hari minggu keempat bersama kami, hujan turun, dan meskipun secara teknis hari itu dia hanya bekerja setengah hari, Anna tetap mengajak Jace bermain. Sore harinya, anak itu berlari dari rumah menuju garasi bengkel sambil berteriak,
"Look at my tattoos, Dad!" aku mendongak dari meja yang sedang aku kerjakan untuk melihat kulit Jace di liputi tinta hitam seakan akan berlengan penuh.
"Itu tidak permanen! Hanya sementara!" Anna berteriak sambil berlari di belakang Jace. Dia bertelanjang kaki, mengenakan rok dan atasan berbunga-bunga, yang diikatkan di belakang leher dan punggung serta memperlihatkan sebagian perutnya ketika bergerak dengan cara yang benar. Rambutnya terangkat, tetapi anak-anak rambut basahnya jatuh membentuk ikal lembut di sekitar wajah mungilnya.
"I hope so," kataku sambil meletakkan gergajiku untuk memeriksa lengan kanan Jace yang kurus. "You've got more ink than Uncle Sean."
"Lihat, ini seperti milikmu, Ayah." Jace mendorong sikunya ke wajahku dan menunjuk ke arah otot deltoidnya. "Ini beruang."
"I see that," kataku, meskipun hewan yang tersenyum di lengannya lebih mirip Winnie the Pooh daripada grizzly di bahuku.
"Do I look like a rock star?" Jace bertanya sambil memainkan gitar udara mengikuti musik di speakerku.
"Totally." aku tersenyum kepadanya sebelum menatap Anna, yang tampak lega karena aku tidak marah. "Got any tattoes?"
Pipinya menjadi sedikit merah muda. "Uh, none that are visible."
Can i see it? No you fucking bastard!
Kami berpandangan, situasi menjadi canggung selama beberapa detik sebelum akhirnya Jace kembali berceloteh,
"Bukankah ini keren, Ayah? aku tidak mengira Anna bisa melukis." Jace beralih dari tangannya kepadaku. "Kau harus mencobanya, Ayah. Aku yakin Anna pasti akan dengan senang hati melakukannya."
Ada rasa sedikit terhibur ketika aku mendapati wajah Anna semakin memerah, berusaha menghindari tatapanku. Aku mendadak ingin tahu apa yang ada di pikirannya sekarang.
"Anna kau mau kan menggambar di tubuh Ayahku?" Jace menyerang lagi, tidak memperbaiki keadaan. Anna melotot. Dan jika aku sedang memegang gergaji, mungkin aku berakhir mengiris jariku tanpa sengaja.
Anna gelagapan. Bola mata indahnya hampir mencuat. "Um, aku, aku tidak, ya, maksudku-"
"Tidak perlu." potongku cepat sebelum keadaan semakin canggung. Selain fakta aku baru saja menyelamatkannya, hal terakhir yang aku inginkan adalah tangan Anna menginvasi tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomanceKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...