SILAS
Dua puluh menit kemudian, aku memutuskan untuk turun. Berjalan ke lantai bawah pagi itu dan menghadapi Anna saat sarapan terasa canggung setengah mati. Tidak seperti ketika aku hampir gila melihatnya bangun tidur di pelukanku, kini dia sudah tampak segar, memakai rok hitam selutut dan kaus ketat biru mudanya. Aku bersyukur setidaknya kali ini tidak tembus pandang. Satu satunya hal terakhir yang aku inginkan adalah kembali tegang di saat sarapan pagi bersama Jace. Dan Sean.
Aku menarik kursi dan Anna berhenti makan sejenak untuk memberiku secangkir kopi dan sepiring Bagel and lox. Menerimanya dan menggumam terimakasih, aku mengabaikan cibiran dan cengiran kurang ajar dari Sean. Dia bersikap seolah-olah dia tahu ada sesuatu yang terjadi, padahal sebenarnya tidak.
Aku bahkan hampir tidak bisa menatap wajah Anna, mengingat apa yang terjadi pagi ini. Saat aku menyesap kopi pagiku, Sean memiringkan kepalanya. “You’re late this morning. You’re never late.”
Tentu saja, dia tidak akan membiarkan ini lewat begitu saja.
“Ayah mungkin harus buang air besar lebih dulu,” kata Jace sambil melahap serealnya sambil menganalisis marshmallow. “Terkadang, buang air besarnya memakan waktu lama.”
Tatapanku beralih ke sekeliling meja—ke arah Sean yang tertawa terbahak-bahak hingga dia tersedak kopinya, dan kopi itu keluar dari hidungnya, lalu ke arah Anna, yang terlihat sedang melawan tawanya sementara tatapannya terfokus pada piringnya.
“Berhenti berbicara tentang buang air besar di meja makan, Jace.” kataku menghela nafas. Tidak mungkin ada hari yang bisa lebih memalukan lagi dari hari ini.
"Makan makananmu. Berhentilah bicara sampai makananmu habis.” aku memperingatkannya.
Dia terkikik. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Ayah.”
Aku mulai mengunyah gigitan ke tiga hanya untuk berhenti. “Jace, cukup. Jika kau tidak menyelesaikan sarapanmu, kau akan terlambat ke sekolah.” wajahku menghangat, dan aku tidak berani melihat ke arah Anna, tidak ingin rasa malu ini bertambah parah.
"Silas," seru Sean, memaksaku untuk memandangnya. Jika dia melontarkan komentar bodoh lagi, aku bersumpah akan memukulnya. “Jangan lupa, soal minggu depan. Luangkan waktumu.” dia berdiri dari tempat duduknya, meletakkan piring dan cangkir di wastafel.
Acara kejutan ulang tahun untuk Gemma. Selain berkunjung untuk memberi hadiah ulang tahun Jace dan membicarakan tentang permintaan temannya yang untuk dibuatkan jendela kaca, Sean juga mengundangku ke acara itu minggu depan. Dia bahkan mengundang Anna.
“Kau juga, Anna. Gemma berpesan padaku, dia berharap kau ikut datang. “ dia menatap Anna.
“Uh, yeah. Aku akan datang jika ada waktu luang.” katanya sambil menatapku ragu.
Ekspresinya mengundang reaksi Sean. "Oh, apa Silas sebegitu kerasnya padamu hingga tidak memberimu waktu untuk bersenang-senang? Ayolah, bro. Biarkan dia setidaknya melepas penat."
Anna gelagapan. "Tidak. Bukan seperti itu-"
"Fine. We're going." putusku, karena sungguh, aku sudah lelah berdebat dengannya.
Aku melirik Anna yang hanya diam menatap ku. Dia sepertinya tidak menduga aku bersedia.
"Great, then. Gemma will definitely be happy to hear that." Sean tersenyum puas. He's a good brother. But sometimes he always getting on my last nerve.
Menghabiskan satu suapan terakhir, mataku terayun kembali ke Anna. “Aku akan mengantar Jace ke sekolah hari ini.”
Anna menatapku sejenak sebelum kemudian mengangguk. "Yeah, sure."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomansaKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...