ANNA
Festival tidak pernah gagal membuatku bernostalgia pada masa-masa kecilku. Hari ini tak terkecuali. Aku menjelajahi seluruh wahana dan berbagai macam toko souvenir bersama Silas yang masih setia berjalan di sampingku. Rasanya aku seperti kembali ke umur dua belas tahun. Terkikik dan bertingkah konyol tanpa peduli dunia sekitarku. Semua kekhawatiran akan masalalu ku seolah lenyap dan pikiran soal Ben seolah tergantikan begitu saja.
Ketika senja mulai menyapa, mataku semakin intens beralih pada Silas, mengamatinya dalam rangkaian lampu pesta yang menghiasi lapangan.
Ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda hari ini. Sesuatu tentangnya yang memiliki kepercayaan diri.
Pikiranku masih bergelut tentangnya ketika tiba-tiba Silas berkata "There he is," katanya saat menemukan Jace dan Stephen baru saja selesai menaiki wahana karnaval berbentuk sebuah kapal besar yang berayun.
“Aku ingin naik bianglala!” Jace berseru saat dia dan Stephen bergegas mengantri sebelum ada yang bisa menghentikan mereka.
Senyumku terus mengembang ketika melihat Jace berbincang dengan temannya. Dia terlihat begitu antusias. Beberapa kali mengangkat jemari kecilnya ke udara, menunjuk-nunjuk lampu warna warni yang terlekat di setiap pintu biang lala. Di naungi langit yang mulai membiru wahana itu terlihat semakin menyala dalam kegelapan. Aku sudah lupa kapan terakhir menaikinya tapi aku masih ingat benar diantara semua hal, biang lala adalah wahana kesukaanku ketika aku masih kanak-kanak.
Memori masa kecil mengundang keinginanku untuk berlari dan bergabung dengan Jace, tapi saat si penjaga wahana berkata kapasitas hanya boleh dinaiki dua orang, aku terpaksa mengubur niatku.
Sejenak ada pertimbangan untuk meminta Silas menemaniku tapi aku rasa itu bukan ide bagus. Dia mungkin sudah bersikap normal denganku tapi aku tidak mau mengambil resiko membuatnya salah paham akan permintaanku. Kami perlu jarak dan berduaan di ruangan sempit adalah hal teratas yang harus kami hindari.
Silas terkekeh pelan dan aku menoleh. Dia menyandarkan sikunya pada gerbang pengaman logam yang mengelilingi wahana. Kemudian membungkuk, berhenti sejenak, dan berdiri tegak. Memiringkan kepalanya saat dia menoleh ke arahku, dia memasang ekspresi aneh di wajahnya.
"Kau ingin naik." katanya seperti bergumam.
Aku gelagapan. "Uh? Ah, tidak. Maksudku, tidak perlu. Lagi pula hari sudah petang, aku harus-"
Silas menggeleng. "Aku tidak sedang bertanya, Anna."
"What?"
Silas membungkuk, menghapus jarak kami. Mungkin berusaha agar suaranya terdengar dalam keramaian tapi tetap saja aku tidak bisa menahan jantungku berdetak normal di dadaku.
"Ride with me?" dia berbisik di telingaku. Dan aku menemukan diriku menarik napas berat saat suara berat dan nafasnya menyapa kulitku.
Sebuah permintaan yang sederhana, namun sangat berarti untukku. Dan terus terang aku tidak menduga ajakan itu keluar dari Silas.
Karena bibirku seolah tidak mampu berkata tidak, aku berakhir memberikan anggukan sebagai tanda setuju. “Sure,” kataku gagal menahan senyum dan jantungku semakin berdetak kencang.
Silas hanya mengangguk dan segera memimpin jalan sementara aku mengekori tubuh besarnya. Saat kami berjalan ke barisan paling belakang untuk menunggu giliran, aku merasakan keinginan untuk mengulurkan tangan dan menggandeng tangan Silas.
Tidak. Tidak, Anna. Aku menggeleng keras, menahan diri untuk tidak meraihnya. Pekerjaanku benar-benar ditaruhkan disini. Aku tidak bisa membiarkan jarak semakin terkikis di antara kami jika pada akhirnya aku terancam kehilangan perlindunganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomantizmKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...