Chapter 09

1.6K 60 4
                                    

SILAS



It's been a long day working on my projects in the workshop.

Sambil melakukan peregangan leher, ku amati hasil pekerjaan di depanku. Dua rumah kaca sudah berhasil kuselesaikan dan siap untuk di kirim. Aku hendak memulai kaca ketiga ketika suara ketukan pintu terdengar.

Begitu membukanya, Anna dengan rambut kusut ekor kudanya menyambutku dengan senyum. Kesibukan membuatku hampir lupa bahwa dia masih ada disini.

"Sudah selesai?" tanyaku dan Anna menganggukan kepala, ekspresi bangga tergambar di wajahnya.

"Sepertinya aku lebih cocok untuk membersihkan rumah dari pada menjinakkan para ayam." katanya sambil tersenyum.

Aku hanya menaikkan alis, tak ingin berkomentar lebih. Sulit membayangkan apa yang lebih buruk daripada caranya memperlakukan ayam-ayam itu.

Mengeluarkan ponsel dari saku, aku melihat jam dan mengumpat lirih. "Sialan, aku terlambat!" sambil berbalik, kuraih asal jaket yang tergeletak di atas kursi kantor.

"Terlambat?" Anna bertanya, melangkah ke bengkel dan mengikutiku. "Terlambat untuk apa?"

"Don't worry about it," jawabku sambil mengarahkannya ke pintu. Sambil tergesa-gesa menyingkir, Anna berjalan melewati ambang pintu dan kembali ke halaman, mengamatiku mengunci toko.

"Do you want something else to eat?" Anna bertanya. "Aku belum membuat apa pun, tapi aku bisa memasak sesuatu jika kau mau."

Aku melirik sekilas ke arahnya. "Tidak perlu. Kau sudah selesai untuk hari ini. Pergi dan lakukan apa pun yang kau inginkan." menyadari kemungkinan dia lapar, aku menambahkan, "Kau boleh memasak makanan jika lapar. Aku harus menjemput Jace sekarang."

Bergegas mengitari sisi halaman menuju mobil, aku melompat ke kursi pengemudi tanpa lebih dulu masuk ke dalam rumah. Tidak ada waktu. Aku memutar setir mobil dan memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. 

God damn it! How can i just forget about my son. 

Oh, man, aku benci harus mengecewakannya seperti ini. Keinginan terakhirku adalah menjadi sosok ayah yang gagal. Jace sudah kehilangan salah satu orang terpenting dalam hidupnya, ibunya. Tidak perlu ada yang kedua kali.

Aku mengertakkan gigi dan mengepalkan tangan pada setir. Bayangan Kelly kembali memenuhi pikiranku. Meski rasa kesal selalu hadir ketika mengingatnya, aku tidak bisa mengelak sejenak harapan —bahwa dia ada di sini, bersama ku dan Jace— yang selalu muncul tanpa bisa ku cegah.

I hate her but sometimes i wish she were here.

But, seriously, What kind of woman runs off and leaves her child?

Aku masih marah padanya, tapi lebih marah pada diriku sendiri. Pria macam apa yang memilih wanita seperti itu untuk dijadikan istri lalu memiliki anak bersamanya? Apa aku begitu dibutakan oleh kecantikan parasnya hingga tidak bisa melihat bagaimana sifat aslinya?

Aku menghela nafas kasar ketika mencoba memikirkan hal yang sama untuk keseribu kali. Satu yang pasti, tak akan kubiarkan hal itu terjadi lagi. Mulai sekarang, hanya ada aku dan Jace. Tidak ada orang lain. Hanya kami.

*****

Ketika sampai di rumah ibuku, Jace sedang duduk di ayunan teras depan. Dengan ransel yang tergeletak di sisinya, dia melihat kearah mobilku. 

Aku menurunkan kaca jendela dan berteriak. "Apa kau siap untuk pulang?"

Rasa jengkel terlihat jelas dalam bahasa tubuh Jace saat dia berdiri dan meraih ranselnya. Man, i screw up! 

Suddenly I'm a NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang