Chapter 43

712 55 6
                                    

Hii! Aku liat vote kemarin udah sampai targetnya jadi aku update in pagi-pagi deh.. just for y'all <3

Hari ini bisa double update kalau kalian banyak-banyak tinggalin jejak nya

Soooo, see u next chapter!!


ANNA

Kami menghabiskan setiap detik sepanjang hari menjelajahi Disneyland—Jace menyeret kami dari satu wahana ke wahana berikutnya hingga matahari terbenam. Silas sampai harus menggendongnya ketika semuanya sudah selesai. Jika memungkinkan, aku berani menebak Jace akan dengan senang hati tinggal sampai malam penutupan.

Jace tertidur di taksi dalam perjalanan menuju ke bandara. Hingga pesawat kami mulai lepas landa, dia masih tertidur pulas di kursi yang memisahkan antara aku dan Silas.

Terus terang, kami sepertinya masih belum bisa menemukan cara untuk memecah kesunyian yang mencekam. Kami hanya mengobrol hal seperlunya sejak percakapan canggung siang tadi, dan meski matahari sudah terbenam, aku bisa melihat wajahnya dari langit di luar jika aku melirik ke arahnya. Akan terasa canggung terjebak disini selama enam jam kedepan jika hal ini terus berlanjut.

Suara pramugari terdengar mengintruksi bahwa pesawat telah meninggalkan wilayah California dan bergerak terbang menuju Indiana. Setelahnya aku tidak lagi mendengarkan karena pikiranku masih berkecamuk.

Aku mencoba memejamkan mata, mengikuti Jace ke alam mimpi namun rasanya itu hanya usaha sia-sia. Terlebih saat dingin ruangan mencekam kulitku.

Dengan usaha terakhirku, aku membuka tas wol ku, tanganku mencari satu-satunyaa jaket milikku. Keningku berkerut saat aku tidak menemukannya. Tidak mungkin, aku ingat betul sudah memasukkan nya untuk berjaga-jaga. Dimana aku menaruhnya?

Sesuatu jatuh di pangkuanku dan aku berhenti untuk mendapati coat milik Silas di sana. Kepalaku menoleh dan Silas mengedikkan dagunya.

"Pakai saja. Aku tidak membutuhkannya."

"Oh, tidak perlu. Aku membawa jaket milikku." aku kembali mengobrak-abrik tasku. "Pasti ada disini karena-"

Silas berdecak dan aku tahu itu pertanda jika dia tidak menerima penolakan "Anna. Just take the damn coat, would you?"

Bibirku menipis, ingin lagi berkata tidak perlu tapi mata Silas yang menajam benar-benar membungkamku kembali. Pada akhirnya aku tetap memakainya. "Okay. I'll take it. Thank you."

Mantel jaket Silas menyelubungi tubuhku hingga hampir tenggelam, hal yang wajar ketika menyadari perbedaan tinggi kami.

Mengatur kembali posisiku, aku merapatkan mantel itu di badanku, dan tanpa bisa kucegah aku menghindu aroma khas Silas yang tertinggal disana. Seolah-olah dia sedang memelukku, menghangatkanku.

Pipiku seolah terbakar dan aku menggeleng. Tidak lebih baik saat menyadari Silas masih mengamatiku dari ujung matanya.

Kami masih membentang keheningan. Aku tidak tahu berapa lama kami tetap seperti itu sebelum aku sadar. Tapi saat aku mendengarkan ketukan jarinya pada lengan kursi untuk keempat kalinya, aku tidak tahan lagi. “Menurutku, bisa dibilang hari ini berjalan dengan baik,” kataku lalu melirik Jace. “Dia mungkin akan mencoba mengenakan jubah sihir itu ke sekolah nanti.”

Silas mengangguk pelan. “It was worth the shit show I’m going to come back to at work.”

“Super dad,” kataku, mengulangi pernyataanku beberapa hari kemarin.

Aku hanya bisa melihat senyumannya yang nyaris tak terlihat. "Yeah."

“Aku yakin dia bahkan tidak bergeming saat kau menggendongnya ke tempat tidur nanti.”

Suddenly I'm a NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang