Chapter 22

1.1K 57 2
                                    

Yuk, banyakin vote nya, masih banyak bagian seru lain di cerita ini...

Aku janji bakal rutin update kalau kalian rajin vote or komen juga..

__


ANNA



Mengkhawatirkan situasi canggung ku dengan Silas beberapa hari terakhir ini terbukti sia-sia, mengingat setelah malam dia mengenalkanku pada Sean-saudara Silas yang memiliki sifat berbanding terbalik dengan sang kakak, aku jarang bertemu dengannya. Dia mengantar Jace ke sekolah setiap pagi pada hari-hari berikutnya, menghabiskan seluruh sisa waktu luangnya di bengkel dan ruang gym ketika Jace bersamaku.

Jika aku tidak tahu apa-apa, menurutku dia menghindariku, yang membuatku semakin cemas dengan semua ini. Aku khawatir akan kemungkinan membuat keadaan menjadi canggung di antara kami, takut aku akan merusak ritme santai yang sudah mulai kami jalani.

Pada hari Sabtu berikutnya, aku berjalan ke dapur pagi itu lebih awal dari biasanya, berharap bisa menghabiskan waktu sendirian dengan teko kopi sebelum Jace bangun. Kurasa aku punya waktu sebelum Silas bangun dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang bisa membuatnya menghindari berbicara denganku. 

Aku sudah memutuskan pada titik ini bahwa aku tidak akan membiarkan hal ini menggangguku, bahwa jika ada yang aneh antara aku dan Silas, itu salahnya, bukan salahku. Maksudku demi Tuhan. Pria itu pernah melihat belahan dadaku sebelumnya. Bukan berarti aku tidak biasa menunjukkan lekuk tubuhku lewat foto di sosial media. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku begitu gelisah karenanya. It's not like the end of the world.

Aku melakukan peregangan saat kopi diseduh, kimonoku sedikit turun dari bahuku hingga saat aku bersandar di meja dapur. Ketika kopinya sudah matang, aku menambahkan lebih banyak gula ke dalam cangkir. Memejamkan mata saat seteguk pertama surga yang panas menyentuh lidahku, bersenandung puas saat aku membiarkannya cairan hitam manis membangunkanku.

Aku masih berdiri di sana dengan rasa aman yang salah kaprah karena berpikir aku punya banyak waktu sendirian, masih bersandar santai di meja dengan kimono miring dan tanganku sibuk dengan cangkir ketika aku akhirnya menyadari kehadiran tubuh besar yang turun dari tangga yang menuju ke dapur.

Silas menguap, rambutnya acak-acakan karena tertidur dan lengannya terangkat tinggi sehingga membuat kaus abu-abunya naik cukup tinggi sehingga garis-garis kencang di perutnya terlihat di atas celana piyama flanelnya yang tersampir rendah. Mataku tertuju pada otot yang terasah dengan baik. Tercengang di konter, aku seharusnya tidak meliriknya, aku tahu itu, tapi lihatlah dia. . . Aku tidak bisa menahannya.

Dan saat itulah dia memperhatikanku.

"Anna?" aku sadar aku hanya berdiri di sana sambil melongo.

"Oh, hei. Kau bangun lebih awal."

"Yeah." jari-jarinya mengacak-acak rambutnya tanpa sadar, masih berkedip-kedip karena mengantuk. "Aku harus mengejar target." dia masih belum beranjak dari kaki tangga, sepertinya dia takut untuk mendekatiku. Itu hanya menambah kecurigaanku bahwa ada yang aneh di antara kami.

"I made coffee," aku menawarkan. "If you want some."

"That would be great," katanya. matanya beralih dari wajahku ke kaus boneka bayi merah jambu yang terlihat dari balik dalam kimonoku, mengingatkanku bahwa kaus itu sama dengan yang kupakai pada pertemuan terakhir kita yang penuh bencana. Dari sorot matanya, aku tahu Silas masih mengingatnya. Aku buru-buru membetulkan kimonoku setelah meletakkan cangkir kopiku di atas meja— meluruskannya dan menyampirkannya di depan untuk menyembunyikan bajuku. Hal terakhir yang kubutuhkan adalah Silas memikirkan dadaku saat dia mencoba berbicara denganku.

Suddenly I'm a NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang