Chapter 36

928 47 4
                                    


Part ini agak sedikit ya, karena ini kebanyakan narasi Silas yang lagi perang batin sama dia yang lagi... ya baca sendiri deh pokoknya WKWK

Kalau mau aku upload satu part lagi, jangan lupa komen and vote yaa !!

SILAS




I’m so fucked. I’m super fucked. I’m so super-mega fucked.

Lima belas menit setelah Anna pergi meninggalkanku, aku seolah tertampar dan kembali dunia nyata. Seberapa besar aku sudah mengacau?

Kupikir obrolan kami akan berjalan cukup baik, tapi fuck, aku tidak mengira aku hilang kendali hanya karena saus bodoh yang ada di bibir nya yang.. God damn it, Silas.

Bukan pertama kali aku bereaksi seperti ini pada Anna, jadi aku rasa kali ini harus diluruskan. Aku tidak ingin dia menganggapku seperti bajingan mesum yang mempermainkannya.

Walaupun setelah aku memutuskan untuk menyusulnya ke kabin dan menjelaskan bagaimana rumitnya semua ini, aku merasa kami telah memperbaiki keadaan, atau setidaknya begitulah menurutku.

Aku tak bisa berhenti memikirkan raut wajahnya saat dia melesat pergi seperti tadi, tidak membiarkanku menjawab—sesuatu seperti keterkejutan dan kepanikan, dan tak peduli berapa kali pun aku memikirkannya, aku tak bisa memahaminya.

Masih ada kenangan tentang cara dia menatapku seperti caraku menatapnya dan tentu saja, aku sangat sadar bahwa aku tidak seharusnya mengakuinya, bahwa aku seharusnya secara aktif mengabaikannya.

Rasanya aku sangat marah pada diri sendiri.
Dan dengan Anna. Aku tahu ini egois, tapi jika dia tidak terlihat begitu cantik sepanjang waktu, mungkin aku bisa sedikit mengendalikan hormon sialan ini!

Kenapa dia begitu menggoda tanpa harus berusaha? Dan begitu menggemaskan? Atau punya kaki yang indah? Dan apakah akan membunuhnya jika dia sekali saja tidak begitu wangi? Setiap kali kami berpapasan—walaupun percayalah, aku sudah pernah berusaha menghindarinya sepanjang minggu—aku mencium aroma parfum atau samponya atau apa pun itu, dan hal itu hampir membuatku berlutut. Baunya seperti  kue cupcake.

Belum lagi pertunjukan kecil yang dia lakukan di jendela. Beraninya dia melepas atasannya seperti itu! Aku bahkan tidak bisa bernapas melihatnya. Kenangan akan kulit mulus nya yang setengah telanjang dan setiap lekuk tubuhnya begitu menghantuiku, bersamaan dengan sensasi bibirnya yang masih terasa di ibu jariku.

Mungkin hal itu yang membuatku ngeri, hal-hal yang aku tidak bisa berhenti memikirkan tentangnya meski berulang kali kupaksa. Sekeras apapun usahaku menguburnya dalam-dalam, ketertarikanku pada Anna semakin berkembang dan tanpa kusadari aku sudah terperangkap di dalamnya.

Aku menempelkan kepalaku ke dinding shower, memejamkan mata saat air menetes ke rambutku. Ini bukan sesuatu yang kulakukan dengan sengaja, karena aku tidak seharusnya berpikir tentang bibirnya yang lembut, atau tentang wajahnya yang memerah ketika dia salah tingkah dan yang terpenting aku tidak seharusnya mengingat bentuk putingnya yang kecil dan kencang, menekan bajunya setiap kali aku memejamkan mata.

Ingatannya saja sudah cukup untuk membuatku menjadi kaku dan menegang.

Aku mendesis di sela-sela gigiku sambil menekan telapak tanganku ke dinding, merasa sedih karena terpaksa melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa tidak ada banyak cara lain untuk mengeluarkan hormon ini sekarang.

Mataku bergetar dan gigiku menekan bibir bawahku ketika aku meraih bagian bawah tubuhku dan membungkus jari-jariku di sekitar panas milikku, nafas gemetar keluar dari diriku ketika aku mulai mengepalkan tinjuku ke atas dan ke bawah.

Aku bisa merasakan butiran cairan licin di ujung yang melapisi bagian dalam kepalan tanganku untuk meluncur kembali ke bawah. Di kepalaku, aku mencoba membayangkan wanita tak berwajah, berusaha mengilusikan jari-jarinya menggoda di antara kedua kakiku.

Menaikkan tempo lebih cepat, aku menggertakkan gigi saat dadaku terasa sesak dan denyut nadiku berdebar kencang sementara darahku mengalir deras seiring dengan meningkatnya kenikmatan yang menggenang di setiap urutan tanganku.

Kepalaku beberapa kali jatuh ke belakang saat bibirku terbuka, mengeluarkan geraman napas cepat pendek-pendek. Aku bisa merasakannya, seperti tekanan panas yang menumpuk dan memuncak dan semakin memuncak.

Aku mencoba untuk fokus pada bayangan itu, berpegang teguh pada wanita tak berwajah dengan lekuk tubuh lembut dan tubuh sempurna serta payudara cantik yang terkadang masih kuimpikan, tapi pikiranku melayang ke tempat lain di luar kendaliku.

Aku tidak bermaksud memikirkannya, sebenarnya tidak, tapi tanpa persetujuanku, otakku mulai membayangkan seorang wanita dengan senyum manis dan mata cerah serta tubuh yang sama menggoda.

Tanpa persetujuanku, pikiranku mengkhianatiku dan beralih ke Anna. Nafasku tertahan di paru-paru, punggungku menekuk saat aku menggerakkan milikku lebih cepat sementara tekanan yang sama meningkat menuju titik kenikmatan.

Anna. Anna. Anna. Kenapa sekarang aku semakin sulit bernapas karena wajah Anna muncul di pikiranku? Mengapa aku merasa jauh lebih tegang sekarang ketika aku memikirkannya?

Dan begitu pelepasan panas itu tumpah, ingatanku hanya menyisakan wajah Anna saat aku mencapai puncak di tanganku sendiri.

Aku berusaha mengatur nafasku setelahnya, mataku terbuka dan terpaku pada langit-langit namun pandanganku kosong, mencoba untuk turun dari ketinggian ketika rasa bersalah atas apa yang telah kulakukan perlahan mulai merayap masuk.

Ini benar-benar penyiksaan.

Bukankah pengalamanku yang terakhir bersama wanita mengajarkanku sesuatu? Seberapa besar kekecewaan yang ku alami ketika membiarkan kesepian mendorongku untuk mengambil keputusan yang buruk hanya untuk mendapatkan kenyataan yang merusak segalanya.

Aku memejamkan mata meski dadaku masih naik turun, lalu mengumpat pelan.

Di sinilah aku, beberapa tahun kemudian, terpikat dengan wanita lain yang benar-benar di luar jangkauanku dan mungkin di luar kemampuanku.

Apa sih yang diinginkan Anna dari seorang ayah tunggal yang gila kerja yang bahkan nyaris tidak mampu mengurus pekerjaannya pada hari-hari biasa?

Sungguh konyol, bahkan untuk mempertimbangkannya karena berbagai alasan.

Aku harus meyakinkan diri sendiri bahwa Anna tidak merasakan tepat seperti yang aku rasakan. Itulah kebenarannya. Aku yakin dia hanya peduli denganku karena menganggapku sebagai seorang ayah tunggal yang berjuang untuk lebih terhubung dengan putranya. Tidak lebih.

Dengan rasa malu, aku mencuci tanganku sambil mengerutkan kening saat air dingin membuatku kembali jernih.

Setelah selesai, aku mengeringkan tanganku di atas handuk yang tergantung di samping wastafel, melihat wajahku yang masih memerah di cermin dan menggelengkan kepala melihat bayanganku sendiri.

"You dumb prick," gumamku.

Berpakaian dengan cepat, aku terjatuh kembali ke tempat tidurku, masih mengutuk diriku sendiri karena menjadi bajingan yang mengalami delusi, tapi setidaknya keteganganku berkurang. Bahkan sekarang, setelah semakin yakin segalanya terasa salah—aku masih memikirkannya.

Aku menghela nafas, mendorong lenganku ke bawah bantal dan membenamkannya ke dalam saat aku mencoba menyingkirkan wajah Anna dari pikiranku. Kami sudah sepakat untuk menepis perasaan ini jauh jauh dan dia bersedia, meski aku harus menyetujui ajakan nya berteman. Fuck, aku tidak yakin dia masih mau berteman denganku jika tau apa yang baru saja kulakukan.

Meski begitu, kukatakan pada diriku sendiri bahwa besok aku akan berusaha mengubur perasaan bodoh ini jauh-jauh. Bahwa saat aku bangun besok, aku akan sarapan bersama Anna dan Jace dan bertingkah seolah-olah aku tidak hanya menyiksa diriku sendiri dengan memikirkan Anna, karena memikirkannya saja sudah membuatku merasa seperti bajingan.

Hell. Maybe I am

To be continue...

Suddenly I'm a NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang