SILAS
Jack fucking Ingram. This our first met and I already hate him.
And I hate my self.
Aku ingin menarik kembali perkataanku, melemparkan Anna ke bahuku dan menyeretnya ke rumah.
Tapi aku dengan bodoh malah mendorongnya untuk memilih pria lain karena aku meragukan diriku sendiri.
Masih memperhatikan mereka dari balik jendela, mataku mengikuti Anna yang malam ini tampak luar biasa cantik dengan.. God that dress is killing me.
Dengan tangan terkepal, aku sekuat tenaga menahan diri untuk tidak berlari dan menyingkirkan tangan sialan yang terus menempel di badan Anna.
“Somethings wrong, brother?” Sean berkata.
Melihatnya sedang berdiri tak jauh dariku dengan Jace di sisinya, ucapanya terasa seperti seseorang baru saja menyuntik pembuluh darahku dengan kaca cair. Aku bahkan tidak bisa menjawab pertanyaannya, marah karena dia menertawakan hal yang jelas sudah dia tahu. Mendekat ke arahku, dia mengintip ke luar jendela.
“Dude, that looks could kill,” Sean meringis. “Kenapa kau tidak mencegahnya saat dia bertanya padamu tadi sore?”
Sekarang aku semakin ingin mengutuk diri. Harusnya aku tidak menceritakan hal ini padanya.
"I don't like him. Why Anna go out with him, Dad?" Jace menautkan alisnya, menatap kesal ke arah luar.
Aku menghela napas. Yeah me to, buddy. "Don't worry, she's gonna be okay."
Jace mendengus, dengan bahu meluruh dia dengan malas menghempaskan diri ke sofa dan menyetel saluran TV. Aku dan Sean hanya bertukar tatap dan dia mengedikkan bahu sambil tersenyum aneh.
Saat pandanganku kembali ke luar, aku mendapati tangan Jack turun di punggung Anna, bergerak sangat rendah ketika menuntunya masuk ke dalam mobil. Aku menahan untuk tidak menggeram.
“Kau benar-benar bodoh, tahu?” Sean menggeleng saat dia dengan cepat kembali ke topik pembicaraan.
Aku mengejek. “Is this the opening line of another old-man joke?
“Not unless getting older means sending away one of the best things that’s ever happened to you with another man who isn’t too dumb to see it.”
Anna. One of the best things.
Aku merasakan sesak di dadaku. Aku tidak tahu apakah rasa sakit itu menjelaskan bahwa aku sedang marah, sedih, atau hanya merasa semua kata yang ingin kuucapkan terjebak dan tidak bisa ku keluarkan.
“Got something to say, Sean?” aku meliriknya tajam.
Kepalanya dimiringkan, mata birunya menunjukkan ekspresi yang sedikit kejam. “Satu-satunya hal yang ingin ku katakan adalah kau telah menghabiskan tiga puluh tahun terakhir untuk memastikan semua orang bahagia. Kau sudah menjadi ayah yang baik. Dapat diandalkan. Bertanggung jawab. Tapi kau sama sekali tidak melihat dirimu sendiri. Kau juga berhak bahagia, Silas.”
Bertanggung jawab. Kata itu mengikutiku kemana-mana seperti wabah. Itu menghantui mimpiku di malam hari.
“Kau bersikap konyol, Silas. Serius, tidakkah kau menyadarinya?” dia mengomentariku.
I know and I'm so fucking tired of this. “Just shut up, Sean! Aku tidak ingin menjadi seseorang yang egois hanya untuk merusak kencan nya.”
“Ya, benar, jadi kau lebih memilih ingin duduk di sini dan melihatnya berkencan dengan pria lain sementara kau mendengus seperti manusia gua yang cemburu sepanjang malam.”
"Aku tidak cemburu," kataku panas.
"Oh tidak?" Sean tertawa mencemooh. “Jadi jika pria itu mengajaknya jalan-jalan setelahnya, kau tidak keberatan? Tidak menutup kemungkinan dia akan membawa Anna pulang kembali ke tempatnya?”
"Fine by me," aku berbohong, meski di sisi lain keinginan untuk membalikkan meja begitu kuat menjalar ke sarafku. “It’s her night off. She’s free to do as she pleases.”
"Jesus Christ. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini. Aku akan pergi sekarang. Jace, come on kiddos. Kita akan mampir beli es krim di perjalanan nanti." serunya.
Jace turun dari kursi dan melesat ke Sean. Dia berpamitan padaku dan kami berpelukan singkat. Aku memberi pesan padanya untuk tidak berulah sebelum dia berlari lebih dulu ke mobil Sean.
Aku mengantar mereka ke depan teras. Sean membuka pintu mobilnya tapi sebelum masuk, dia berhenti sejenak untuk berbalik padaku. "Silas, don't waste your fucking time. You deserve to be happy, man. Remember that."
Kata-kata itu terngiang hingga aku masuk ke dalam rumah. Sendirian. Tidak ada tawa. Tidak ada film. Tidak ada Anna dan Jace yang menari dan bernyanyi di dapur saat kue dipanggang di oven.
Semua tenang. Dan aku kesepian. Sangat kesepian.
Dan dengan bodoh aku menyuruhnya pergi. Pergi bersenang-senang dengan pria lain.
Memilih untuk menyibukkan diri di bengkel, aku menjelajahi pekerjaan apapun yang tersisa. Melampiaskan kekesalanku untuk mengusir rasa cemburu yang menghanguskanku dari dalam. Yang mengamuk di seluruh pembuluh darahku, membakar setiap ujung saraf.
Hal yang sangat memakan waktu. Saat tanganku sakit, aku berhenti dan mandi.
Setelah selesai, aku berjalan-jalan di sekitar rumah, memilih untuk merokok dan duduk di teras depan. Aku tahu mengapa aku pergi ke sana, tetapi aku menolak mengakuinya. Kukatakan pada diriku sendiri pemandangannya bagus dari sini, tapi saat aku duduk di anak tangga paling atas dan melirik ke samping, aku melihat coretan-coretan kecil tergambar di tiang tembok. Matahari dan bintang. Wajah bahagia dan XOXO.
Dan hati.
Anna menggambar hati di teras depan rumahku, dan sekarang aku terjebak duduk di sini, tenggelam dalam pemikiran bahwa alasan sebenarnya aku berada di sini adalah untuk menunggu dia pulang.
Tapi rasanya aku sudah terlalu muak dengan rasa cemburu yang terus menyiksa.
Meraih ponselku, aku berniat mengecek jam, namun alih-alih, mataku tertuju pada satu aplikasi pelacak device yang selalu kugunakan ketika lupa dimana aku meletakkan ponsel cadangan.
Lalu satu pertanyaan melayang di kepalaku. Do I really deserve her?
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomanceKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...