SILAS
Rumah sunyi ketika aku melangkah melewati pintu. Lampu ruang tamu padam dan waktu tidur Jace sudah lewat, jadi asumsi pertamaku adalah hanya aku yang bangun.
Work is hell, just as expected.
Memiliki dua proyek besar di satu waktu jauh dari kata mudah. Aku hanya bisa bersyukur karena masih bisa membagi waktu meski jam tidurku terganggu. Projek gedung bersama beberapa kontraktor lain cukup berjalan lancar. Namun tidak dengan projek toko bunga milik Mrs. Dersha. Kemarin malam Derek mengabari bahwa dia jatuh sakit, jadi hari ini hanya ada aku dan Charlie, berusaha sebisa mungkin memastikan pekerjaan kami tidak tertinggal begitu jauh.
Meloloskan kausku dan melemparnya asal ke sofa, aku menyisir rambutku. Setelah kegiatan camping kami lima hari yang lalu, perasaan bersalah menghampiriku karena hampir setiap hari aku lembur. Aku seharusnya berada di rumah untuk makan malam, dan sekarang waktu tidur Jace sudah lewat.
Aku berjalan letih menuju dapur. Mungkin bir bisa membantu menenangkan pikiranku.
Tapi berakhir mengejutkan ketika aku disambut dengan cahaya lembut yang bersinar di atas oven—Anna bersandar di wastafel dengan sendok di tangan saat dia makan langsung dari karton es krim. Sendoknya yang bertengger di ujung lidahnya saat dia menjilat sisa makanan manisnya.
Dia tersenyum di sekitar sendoknya. "Hey, you're home.” dia bertanya.
Mendekatinya, aku hanya tersenyum lelah. Anna meletakkan sendoknya di wastafel, menyimpan sisa ice cream kembali ke dalam freezer sementara aku memutari konter untuk menemuinya.
"Apa kau lapar?” tanyanya. “Ada sisa makan malam.”
Aku tidak menjawab. Aku meraihnya, melingkarkan lenganku di pinggangnya, dan membenamkan wajahku di lehernya.
Dia ragu-ragu selama setengah detik, lalu melingkarkan tangannya di bahuku. Jari-jarinya menelusuri rambutku saat dia dengan lembut memijat bagian belakang kepalaku.
“Apa kau yakin kau baik-baik saja?” dia berbisik ragu ke telingaku.
Aku menghindunya dan membiarkannya aromanya menenangkan pikiranku yang salah. “Hanya malam yang sangat melelahkan.”
"Oh?" Dia menjauh, tersenyum ke arahku dengan malu-malu saat jari-jarinya menelusuri jalur di tulang dadaku. “Anything I can do to help with that?”
Aku meraih wajahnya dengan tanganku, ibu jariku menyentuh pipinya. “What did you have in mind?”
“Yah, aku tahu pasti bahwa kau tahu metode apa yang ku maksud.” senyumnya penuh arti.
Aku menyeringai di mulutnya saat dia mendorong jari kakinya untuk menemuiku. Membayangkan dia berteriak di dibawahku langsung meredakan ketegangan di bahuku. “Aku akan dengan senang hati menurutinya jika kau bersedia naik ke konter,” gumamku di mulutnya.
“Oh no,” katanya dengan manis, sambil menciumku lagi dengan lembut. “I was thinking I could return the favor.”
“What do you—”
Aku menarik napas saat Anna perlahan berlutut, menarik pinggulku hingga aku menempel di meja, dan aku menguatkan diriku dengan tangan di belakang punggung.
“Anna, kau tidak—”
Dia sudah melepaskan ikat pinggangku. “You don’t think this will make you feel better?”
"Fuck," desisku, menegang ketika tangannya menyelinap di antara kain untuk membukakan celana boxerku. “Jesus, Anna.”
Kepalaku menoleh kembali ke ruang tamu kosong di belakang meja dapur tempat aku bersandar, mengamati tangga yang gelap. “Jace. . .”
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomansKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...