ANNA
Aku mematikan keran wastafel setelah memastikan semua piring dan gelas kotor sudah terbilas bersih. Mataku melirik seisi rumah, mengingat jika saja ada hal yang terlewat untuk ku bereskan.
Lantai sudah wangi sehabis ku pel.
Cucian piring sudah beres.
Mainan Jace yang berceceran sudah kembali pada tempatnya
Jemuran sudah tertata rapi dan tersetrika.
Makan malam sudah siap.
Tidak ada. Yup, aku pikir pekerjaanku hari ini sudah selesai.
Suara derit pintu menarik perhatianku. Bibirku tertarik keatas tanpa alasan dan Silas adalah hal pertama yang muncul di kepalaku. Tapi begitu bulu putih kucing yang melesak masuk lewat celah pintu menampakkan diri tanpa izin, senyum ku luruh begitu saja. Dan saat itu, aku berakhir menyadari sesuatu.
Aku sedang menunggu Silas pulang dan bersikap konyol dengan menyambutnya seperti seorang kekasih?
Sadar, Anna! dia Bossmu!
Sudah terhitung dua hari sejak kami pergi bersama -ketika kami mencari sarapan- dan aku belum bicara lagi dengan Silas sampai hari ini. Aku tidak tahu dia menghindariku atau terlalu sibuk saja dengan pekerjaannya sampai-sampai aku jarang melihatnya di rumah. Dia kebanyakan hanya berpesan kepadaku melalui Jace. Pagi pun aku tidak melihatnya bersantai membaca koran seperti yang selalu dilakukannya lebih dulu sebelum bekerja. Sedang saat malam, dia selalu pulang lebih larut dari jam kerjaku.
Aku sedikit khawatir dia kelelahan dan berakhir sakit. Tapi aku tahu benar aku bukan dalam posisi yang berhak untuk sepeduli itu. Setidaknya aku cukup lega dia memakan masakan yang selalu kusisihkan, mengingat dia selalu melewatkan makan bersamaku dan Jace.
Mengusir Silas dari pikiranku, aku mengangkat bulu putih berkaki empat yang hendak naik ke tangga dan menaruhnya di teras belakang. Bergegas kembali ke dapur, aku mengambil sisa makanan dan tulang tulang ikan yang sudah sengaja kusisihkan untuknya. Semenjak Jace menemukannya, aku rasa dia mulai menganggap ini rumahnya.
Si kucing makan dengan lahap. Tanganku terulur mengelus kepala mungilnya, menunggunya menandaskan semua makanan sementara mataku tanpa bisa kucegah menatap pada pintu bengkel yang berjarak beberapa meter dari tempatku sekarang. Seolah jika terus kupandangi, seseorang akan keluar dari sana.
Tanganku mengambang di udara dan bulu lembut yang tadi beradu di telapak tanganku menghilang. Saat itulah aku sadar bahwa si kucing sudah menyapu habis semua sisa makanan hari ini. Sambil membersihkan pinggiran mulut dengan lidahnya, dia kini berjalan malas ke arah celah kecil di pojokan yang sengaja sudah kami -Jace dan aku- sediakan untuknya. Dia meminum sebagian air di wadah kecil milik Jace sebelum akhirnya berguling-guling di kain tebal yang Silas berikan.
Sebenarnya ada sedikit drama mengenai kucing ini. Ketika Jace meminta izin memelihara kucing dan membawanya ke dalam rumah, Silas dengan tegas melarangnya. Berkata tidak ingin menambah masalah lain apalagi saat dia masih sering disibukkan oleh pekerjaanya.
Menurutku itu sedikit masuk akal, maksudku, Jace masih kecil, dia tidak mungkin bisa merawatnya dengan benar tanpa bantuan orang dewasa. Dan aku juga tidak mau menambah beban kerjaku dengan mengurus kucing ketika mungkin saja dia buang air sembarangan atau bulu-bulu berceceran di setiap sudut rumah.
Aku benar-benar tidak sanggup. Begini saja tulang ku rasanya sudah rontok.
Karena itulah kami memilih alternatif lain, Silas menawarkan Jace hanya boleh merawatnya jika si kucing di buatkan tempat yang bukan berada di dalam rumah. Dan dari musyawarah itu, kami pun sepakat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomansKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...