ANNA
Silas menegakkan diri dari mobilnya. Ketika tatapannya beradu denganku, matanya melebar dan bibirnya terbuka. Setiap langkah yang ku ambil di bawah tatapannya membuat pipiku kian memerah.
Aku memutuskan untuk memilih tampilan yang sedikit santai untuk date pertama kami. Dengan sentuhan make up minimalis, rambutku ku biarkan tergerai di punggungku dengan gelombang rendah, dan aku memakai anting-anting yang menjuntai. Dress selutut kuningku tanpa lengan mengingatkanku pada sinar matahari, menempel di tubuhku, dan aku mengenakan cardigan putih di atasnya untuk menghalau cuaca dingin. Jika biasanya aku selalu berpergian memakai sepatu tenis atau kets, kali ini aku mengenakan sepatu hak rendah hitam yang ku beli beberapa minggu yang lalu di kota.
"You look…" Silas terdiam ketika aku berada di sampingnya. Meski memakai sepatu ber-hak, dia tetap menjulang tinggi di atasku.
Suara nafasku sendiri, dan suara nafasnya, semakin nyaring dalam keheningan. Karena bingung, aku mendongak. Dia menginvasiku dari atas kepalaku hingga ujung kaki dengan penuh konsentrasi.
Mataku yang berwarna hijau cerah bertemu dengan mata birunya, dan jantungku berdebar kencang. Sebuah getaran menjalar dan membuat tubuhku memanas begitu cepat.
Aku ingin berpaling, tapi tidak bisa. Dia menatapku seolah bingung, bibirnya sedikit terbuka. Dengan putus asa, aku mencoba memikirkan apa yang dia akan katakan.
Aku berdehem. “I look what?” suaraku serak.
Silas berkedip, alisnya yang gelap berkerut. Dia menjilat bibir bawahnya, dan aku hampir menyerah. Saat dia berbicara, suaranya yang dalam terdengar bergemuruh. “So fucking pretty,” katanya. “How can you keep getting prettier every time I see you, Anna?"
"Thanks." aku berusaha tetap terlihat santai meski sebenarnya cupid-cupid di hatiku mulai melebur karena kalimatnya yang begitu manis. Terlebih ketika sentuhan lembut ujung jarinya yang membelai rambutku membuatku merinding.
Silas menarikku dan mengurungku di antara tubuhnya dan pintu mobil. Lalu dia melirik bibirku sebelum menciumku dengan terengah-engah. Jari-jariku kusut di rambutnya, dan aku mengerang ke dalam mulutnya.
Ketika dia mundur, jaraknya tidak jauh. Bibirnya tepat di depan bibirku saat kami bernapas ringan dan cepat.
"Sorry,” katanya serak. “I’ve been wanting to do that again all day.”
“No need to apologize,” aku mengulum senyum ketika masih bisa merasakan bibirnya di bibirku. “Me too.”
"Where are we going?" aku tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahku saat Silas membuka pintu mobil untukku.
Aku melangkah masuk, dan sebelum dia menutupnya, dia berkata, “Where we’re going is a surprise.”
Aku berusaha untuk tidak mengerutkan kening. Kejutan bukanlah favoritku karena, dalam hidupku, sebagian besar kejutanku bersifat tragis dan menyakitkan. Begitu pikiran itu muncul, aku menyingkirkannya dan menatap Silas dengan kemeja polo hitam dan celana jins kasual. Lalu, aku memutuskan untuk menganggap ini adalah bentuk kebahagiaan—di dalam mobil ini, bersamanya.
Langit masih terarak senja dan di sepanjang perjalanan, Silas sesekali memegang tanganku sementara tangan lainnya memegang kemudi. Dia menenggelamkan milikku di sela sela jarinya, membuatku merasa sedikit aneh menggenggam tangannya karena sudah lama sekali aku tidak menggenggam tangan siapa pun sedekat ini. Pegangannya kuat, jari-jarinya kokoh, seolah-olah dia yakin, begitu yakin akan hari ini, begitu yakin pada kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I'm a Nanny
RomanceKetika Anna yang berusia 24 tahun datang ke kota New Harmony mencari tempat untuk bersembunyi dari mantan tunangannya yang terlalu posesif dan kasar, Anna berakhir menyukai kota kecil itu. Pertemuannya dengan seorang pramusaji di restoran kota secar...