21• 𝓣𝓾𝓶𝓹𝓾𝓪𝓷 𝓚𝓪𝓶𝓲

5.7K 412 81
                                    

Salisa dan Ronal keluar kamar saat semuanya telah melakukan sarapan pagi.

Ya, mereka kesiangan. Mungkin karena sama-sama lelah dengan semua hal yang terjadi secara mendadak kemarin.

"Baju Papa dipake Pak Ronal kelihatan kayak baju mahal. Padahal harganya seratus ribu dapet lima," ujar Papa Dimas yang membuat Ronal tertawa renyah sembari duduk di sebelah papa mertuanya itu yang sedang menyebat sembari minum kopi.

"Sama saja, Pak. Dipake Pak Wiratama malah lebih kelihatan fashionable," katanya yang membuat ayah Salisa itu menunduk menatap kaos lengan pendeknya yang sebenarnya satu model dengan Ronal hanya berbeda warna saja.

"Anda model, saya modol," kelakar Papa Dimas yang membuat Salisa berdecak.

"Papa," peringatnya karena dia dan Ronal akan sarapan.

Papa Dimas hanya tertawa sampai mata bengkaknya menyipit. Dia bangkit sambil membawa cangkir kopinya. "Tak ke depan sek, engkok aku disabet karo harimau," katanya lalu ngacir begitu saja ketika Salisa menatap tajam papanya.

Ronal tersenyum tipis melihat itu. Hiburan kecil di tengah kesedihan tak pernah benar-benar menggelitik tawa, hanya saja meredam duka.

"Nasinya banyak atau dikit? Atau mau ambil sendiri?" tanya Salisa yang membuat Ronal mendongak dan menemukan sosok wanita cantik dengan balutan hijab instannya menatap dirinya dengan tatapan sayu.

Istrinya.

"Dikit aja, nanti kalo kurang aku ambil sendiri," ujar Ronal yang membuat Salisa mengangguk. Wanita itu pun menyerahkan sepiring nasi tanpa lauk pada Ronal.

"Sorry, ya, lauknya sederhana," kata Salisa yang membuat Ronal menggeleng.

"Nggak sederhana, ini semua kesukaan aku," ujar Ronal sembari mengambil ikan lele, sambel, dan cah kangkung.

Mereka pun menikmati sarapan itu dengan obrolan ringan.

"Kamu hari ini jadi flight ke Jakarta, Ron?" tanya Salisa yang membuat Ronal mengangguk.

"Siang nanti. Kalo sempat nanti malam aku balik. Kalo engga, besok ambil penerbangan paling pagi."

Ronal menatap Salisa yang menunduk, antara sibuk dengan sarapannya atau memang dia tak ingin memandang Ronal.

"Aku nggak papa. Kamu nggak harus di sini. Aku nggak mau ngerepotin kamu lagi."

"Harus. Kamu harus repotin aku lagi," sahut Ronak cepat.

Salisa menghentikan gerakan tangannya dan Ronal sadar bahwa ucapannya itu terlalu tiba-tiba. Salisa mengubah pronomina gue-lu menjadi aku-kamu saja sudah untung bagi Ronal. Seharusnya dia mengalir saja, tak perlu terburu-buru mengungkapkan isi hatinya.

"Sal," panggil Ronal saat melihat Salisa tak kunjung menjawab atau bergerak.

Salisa bingung harus bereaksi bagaimana, jadi dia mendongak dan berkata,

"Aku lagi bingung dengan semuanya. Untuk sekarang, boleh aku minta kita seperti sebelumnya?"

Ronal tersenyum tipis dan mengangguk. "Take your time kalo begitu. Aku minta maaf, tapi kalau aku datang untuk ikut mendoakan Mama Rita, apa kamu terganggu? Nanti aku nginep di hotel."

Salisa menatap Ronal sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Lalu mereka meneruskan sarapan itu.

"Untuk yang kemarin, ada kemungkinan pernikahan kita bocor ke publik. Pihak rumah sakit udah aku urus. Mungkin kamu bisa bantu dari keluarga kamu."

Salisa mendongak menatap Ronal.

"Bukan aku ga mau publik tahu, aku takut kamu terganggu," sanggah Ronal cepat takut Salisa salah paham.

Jangan Bilang Suka! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang