25• 𝓡𝓸𝓷𝓪𝓵 𝓐𝓷𝓳𝓳𝓳𝓳

6.5K 524 201
                                    

Pukul setengah tiga dini hari, Ronal baru sampai di bandara Juanda berkat pinjaman jet pribadi dari Dato Zahir. Perjalanannya cukup singkat, tetapi terasa lama sekali. Apalagi dia harus melewati jalan puluhan kilometer dari Surabaya menuju Probolinggo.

Beberapa kali dia menghela napas berat sampai Pak Indra yang duduk di samping supir menoleh berulang kali ke belakang memastikan Ronal baik-baik saja.

Ronal terus menatap layar ponselnya, berharap Salisa mengabarinya. Namun selama apa pun matanya melihat roomchat itu, Salisa tak juga mengetik pesan.

Ronal ingin lebih dulu mengirim pesan, tetapi dia takut mengganggu Salisa. Akhirnya Ronal pun memilih memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Sebentar lagi sampai, dia harus sabar.

Setelah satu setengah jam perjalanan, Ronal tiba juga di depan rumah Salisa dan keluarga.

"Ndra, besok nggak usah ke sini, saya nginep sampe lusa. Nanti kalo butuh sesuatu saya telepon aja," ujar Ronal yang membuat Pak Indra mengangguk. Dia pun menyerahkan koper kecil milik Ronal sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.

Ronal sendiri memilih langsung masuk. Pintunya tak dikunci karena sebelumnya dia sudah mengabari Papa Dimas tentang kedatangannya.

Suasana sepi. Ronal melihat jam di tangannya. Pukul empat subuh. Orang-orang masih lelap dalam tidurnya. Jadi dia melangkah penuh kehati-hatian agar tak membangunkan orang-orang di sana.

Seperti biasa, kamar Salisa tak dikunci. Jadi dia bisa langsung masuk ke dalam kamar yang ternyata masih terang benderang itu.

Sang pemilik kamar yang duduk di kursi belajar dan sedang membaca jurnal itu langsung menoleh ketika pintu kamarnya dibuka.

Sosok Ronal dengan setelan semi formalnya masuk sembari menggeret koper kecilnya.

Ronal tersenyum tipis. "Hai," sapanya sembari menutup pintu.

"Katanya beberapa hari?" tanya Salisa dengan kedua alis mengangkat.

"Di-compress jadi sehari," ujar Ronal sembari mendekati Salisa.

"Bisa gitu?" tanyanya.

Ronal mengangguk.

"Kok bisa?" tanya Salisa yang mendongak karena Ronal berdiri di depannya sementara dia masih duduk di kursinya.

"Karena pake A, kalo pake U ya bisu," kelakar Ronal yang membuat Salisa tersenyum kecil. Jokes jaman kuliah dulu.

Tiba-tiba pria itu mengangkat tangannya dan mengelus lembut pipi Salisa yang membengkak karena tamparan ibu Andiman tadi.

"Sakit?" tanya Ronal yang membuat Salisa terdiam sebentar.

"Tahu dari siapa?" tanyanya dengan kedua alis mengangkat.

"Yang paling ember," jawab Ronal.

"Powl berarti," tebak Salisa yang membuat Ronal terkekeh dan mengangguk.

"Ayo kompres pake es, biar bengkaknya reda," ujar Ronal sembari menarik tangannya dari pipi Salisa.

Wanitanya itu menggeleng lalu menarik tangan Ronal untuk kembali berlabuh di pipinya. "Pake tangan lu aja, sama-sama dingin," katanya sembari menekan tangan Ronal untuk lebih menempel di pipinya.

Ronal tersenyum lebar lalu meletakkan satu tangannya lagi di pipi Salisa yang tak bengkak, hingga kepala Salisa bertumpu di tangannya.

Salisa memejamkan matanya menikmati kehangatan tangan Ronal yang menjalar di area pipinya.

Ya, tangan pria itu sebenarnya hangat. Yang dingin hanya punggung tangannya. Namun dia berbohong karena sentuhan hangat Ronal di pipinya membuat hatinya ikut menghangat.

Jangan Bilang Suka! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang