01• 𝑺𝒂𝒍𝒊𝒔𝒂 𝑯𝒂𝒚𝒂

11.8K 407 31
                                    

"Mbak Sasa kapan mau nikah? Mama sudah cape ditanya temen-temen kapan kamu ke pelaminan. Perawan tua katanya," ujar seorang wanita paruh baya yang sedang melipat baju anaknya.

Jangan bayangkan anaknya anak kecil yang imut dan lucu karena sejatinya yang diomongi adalah wanita dewasa yang sudah berumur 39 tahun, tapi belum nikah-nikah juga.

"Sabtu atau nggak Minggu," jawab seseorang dengan spontan.

Mama Rita, wanita paruh baya tadi berdecak. "Dek! Ah, selalu begitu. Kasihan Andiman, nunggu kamu sampe udah ubanan gitu. Emang kamu nunggu apa? Nunggu jadi yatim piatu?"

Wanita yang disebut Mbak Sasa atau Dek itu melotot. "Astaghfirullahalajim! Amit-amit ya Allah, Mah. Jan gitu nah. Kan Mas Kevin udah, aku belakangan dah," ujarnya yang disambut decakan oleh mamanya itu.

"Mau belakang sampe mana lagi? Jarak nikah kamu sama Kevin aja udah sepuluh tahun," ujar Mama

"Iya-iya, cek galak e. Bentar lagi, sabar ya. Lagi proses ini."

Bohong. Membicarakannya saja dengan Andiman dia tak berani karena dia tahu Andiman baru saja ditimpa musibah usahanya bangkrut, apalagi memprosesnya.

"Bilang sama Nak Di, jangan khawatirkan masalah uang, semua kami yang akan atur. Wes ojo sungkan. Dia sudah kami anggap sebagai anak sendiri. Kalau di Jakarta dia belum nemu pekerjaan yang cocok, bilang di kantor Papa selalu ada tempat untuk dia."

Sasa alias Salisa Haya putri dari wanita yang baru berucap bijak itu tersenyum tipis, bangga pada ibunya yang selalu berhati malaikat dan pengertian. Apalagi kepada pacarnya.

"Kamu ndak mau pulang ke Probolinggo dulu toh?" tanya Mama Rita dengan nada merajuk yang membuat Salisa menghela napas.

"Mama jangan kayak anak kecil ah. Ngapain ke Probolinggo kalo Mama sama Papa aja tiap bulan mampir ke sini. Lagi pula bulan kemarin kan udah."

"Ngunu (gitu), Adek wes nggak sayang maneh (lagi) ke Probolinggo. Yo ngunu, Dek. Lupa kulitnya."

Ya memang begitu mamanya. Kadang Salisa melihat sosok ibunya yang begitu berwibawa seperti beberapa detik lalu, kini dia melihat ibunya yang merajuk seperti anak kecil. Emang kadang mamanya dua orang.

Salisa memeluk ibunya. "Mama Papa aja yuk ikut nganter aku ke Jakarta."

"Mama sih mau, tapi papamu itu lagi sibuk sama proyek apa tuh, ga tahu. Ini aja mama yang ke Jogja ampe mohon-mohon. Tuh kan, ditelepon lagi, baru juga ditinggal satu hari," katanya ketika melihat ponselnya berdering memperlihatkan nama suaminya.

Salma memisahkan tubuhnya lalu terkekeh melihat kebucinan papanya.

"Lapo maneh, Pa?" tanya Mama Rita setelah panggilan video tersambung.

Salma mengintip. Terlihat papanya cengigiran. "Muleh kapan, Ma? Aku ngga ngerti celana kargoku neng endi. Kaos cokelat seng biasan e aku pakek yo nggak ada."

Mama Rita berdecak. "Halah pakek seng ada dulu. Baju sak lemari akehe kok milih seng nggak ada."

Papa Dimas terkekeh. "Dah tak belikan tiket buat nanti sore."

Mama Rita kontan melotot. "Kan janjinya besok, Pa?? Kenapa dimajuin?"

"Wes, Ma. Aku ga kuat mangan mie instan."

"Kan wes tak siapin makanan di kulkas toh. Tinggal angetin tok."

"Ra ngerti aku."

"Opo seng ora ngerti, samean wes tak kasih tahu."

Jangan Bilang Suka! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang