34• 𝓚𝓮𝓭𝓲𝓹𝓪𝓷 𝓜𝓪𝓾𝓽

6.4K 532 124
                                    

Sebelum pergi ke Surabaya, paginya Ronal ada jadwal wawancara bersama salah satu media berita untuk membicarakan seputar kehidupan pribadinya.

Ini pertama kalinya Ronal menerima wawancara seperti ini karena Mba Nana sendiri yang menghubunginya langsung. Wkwk. Seperti terpaksa ya. Enggak kok, kata Pak Indra biar masyarakat lebih dekat dengan Ronal. Hmzz bau-bau politik ini. Haha.

Lokasi wawancara di rumahnya sendiri yang jaraknya sekitar 15 kilometer dari apartemen Nadira.

Tadi saat sampai di rumah ini, Ronal baru sadar sudah lama dia tak pulang ke sini. Terakhir sepertinya sebelum Salisa datang ke Jakarta. Hampir dua bulan lamanya. Mungkin karena dia sudah nyaman dengan 'rumah' barunya.

"Pak Ian sekarang segeran, ya. Dari tadi saya lihat matanya berbinar terus. Bulan lalu pas saya make up-in Bapak di acara pernikahan anak petinggi tuh wajahnya lesu kayak budak korporat. Sekarang kelihatan banget direkturnya."

Ronal tertawa. "Emang wajah budak korporat gimana?" tanyanya pada perias yang sedang merias wajahnya.

"Ya wajahnya lesu, ada kantong mata hitam, sorot matanya redup kayak nggak ada penerang hidup. Seingat saya juga pipi Bapak tirus. Sekarang kelihatan agak gembul, ya."

Ronal kembali tertawa, tapi kali ini diikuti gelengan kepalanya. "Ada aja anak jaman sekarang."

"Pengalaman pribadi saya sih kalo ada orang sekitar saya yang tiba-tiba segeran gitu, biasanya lagi jatuh cinta sih, Pak."

Ronal memejamkan matanya kala perias itu melakukan sesuatu pada alisnya.

"Menurut kamu saya segeran ini lagi jatuh cinta?" tanya Ronal dengan senyum tipisnya.

"Kalo Bapak sih engga, paling karena menang tender proyek atau saham lagi naik."

Ronal tertawa renyah. "Semuanya bener lagi. Haha. Udah lama saya nggak sebahagia akhir-akhir ini."

"Bahagia terus, Pak. Gantengnya nambah Soalnya," kata perias itu sambil mengakak.

"Kamu juga, ya. Bahagia terus, biar cantiknya nambah," ujar Ronal yang membuat periasnya cekikikan.

Bertepatan dengan itu, Pak Indra datang menyerahkan ponselnya yang sedang tersambung dengan panggilan seseorang.

"Ibu, Pak," bisik Pak Indra yang membuat Ronal membuka matanya. Dia pun langsung menerima uluran ponsel dari Pak Indra.

"Hmm? Kenapa?" tanya Ronal hati-hati karena dia tahu periasnya itu jelas akan mendengar percakapannya.

"Jemput Nadira ke sekolah jam berapa? Kamu kayaknya sibuk, biar aku aja."

Ronal melihat jam di tangannya.

"Jam satu siang. Bareng aja nanti biar sekali jalan ke arah rumah Papa. Searah soalnya."

"Oke. Kamu selesai jam berapa?"

"Wawancaranya sebentar, satu jam paling. Lagi set tempat segala macem. Paling mulai setengah jam lagi. Jam setengah satu nanti aku jemput kamu dulu."

"Nggak usah, aku aja yang ke sana."

"Oke, biar dijemput Indra nanti."

"Aku pake taksol."

"Jangan, Indra aja yang jemput."

"Ini udah di jalan."

Ronal membulatkan matanya. "Bisa banget ngagetinnya."

"Jangan ditunggu, aku ketemu temen dulu."

"Oke, hati-hati."

"Iya, kamu mangat kerjanya, Sayang."

Jangan Bilang Suka! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang