Bab XXXIX : Tertangkap

193 35 0
                                    

Jihyo memejamkan mata ketika mendengar semua yang Jungkook ceritakan mengenai alasan dirinya untuk beberapa saat menghilang. Kepalanya dibuat pecah untuk berpikir. Terlalu mendadak, pun ia tidak menduga akan seperti ini dan terasa sangat menyesakkan.

"Baby, aku minta maaf atas apa yang terjadi. Aku tahu, kau pasti sangat terluka soal ini," kata Jungkook yang tidak tahan. Sekali lagi, Jihyo menangis--meratapi apa yang terjadi.

Akan tetapi, dengan cekatan Jihyo menghapus bulir air mata yang lolos membasahi kedua pipinya. Kepalanya menggeleng cepat. "Ah, iya, tidak apa-apa. Ini bukan kesalahanmu. Ini sudah kehendak, tetapi aku sulit memberikan keputusan. Aku ... aku tidak punya apa-apa."

"Tidak! Kau memilikiku, aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan keadilan yang seharusnya kau dapat, Baby." Lalu kepalanya mengangguk dengan tegas. "Baiklah, kita sudah menentukan jawabannya. Kita akan melanjutkan kasus ini dan Zea harus mempertanggungjawabkan semua kesalahannya!"

Kedua mata bulat Jihyo pun sontak mengamati Jungkook dengan lekat. Ada getaran kebahagian, Jungkook berada di pihaknya--sangat menenangkan hati. "Tapi--"

"Dengar, Baby! Tidak ada tapi-tapi atau penolakan apapun. Aku akan menghubungi pengacara yang sudah ketentuan bersama dengan Aaron. Kasus ini mungkin agak sulit, mengingat Zea berkewarganegaraan Las Vegas, tetapi tidak menutup kemungkinan lari dari hukumnya. Mengingat, hukum Korea Selatan juga cukup kuat. Ini masalah kemanusiaan dan keadilan," ucap Jungkook yang menjelaskan.

Jihyo mendengarkan baik-baik. Ia menundukkan kepala, mengamati map yang dipegangnya. Bersamaan dengan itu, Jungkook meninggalkan Jihyo, menuju balkon apartemen. Dari kejauhan, Jihyo bisa melihat Jungkook tengah berkutat pada ponselnya.

Jihyo hanya berharap, semuanya akan baik-baik saja. Lagi pula, yang dikatakan Jungkook memang benar. Ia harus mengusahakan keadilan untuk mendiang ayahnya.

Namun, tidak berselang lama, Jungkook mendekat ke arah Jihyo dengan wajah berseri. "Ayo kita makan dulu, setelah itu kita ke kantor kepolisian."

***

Zea menatap ponselnya dengar gusar.  Akhir-akhir ini, ia sungguh tidak bisa tertidur dengan tenang. Setelah kejadian menaaskan itu terjadi. Akan tetapi, kepalanya sontak menggeleng dengan cepat. “Tidak, ini bukanlah kesalahanku sepenuhnya. Dialah yang tiba-tiba saja muncul. Ya, itu benar.”

Namun, ketika ia mencoba untuk menyadarkan diri soal itu, nalurinya seolah-olah tidak menerima. Bahkan, ketika mimpi-mimpi buruk itu terus datang--menyiksa Zea tiap harinya.

Dia tidak bisa berkonsentrasi. Padahal, ujian tidak lama lagi. Keluarga atau bahkan orangtuanya sekalipun, tidak tahu soal ia yang sudah menabrak seorang pria dewasa lalu meninggalkannya ketika ia meraung minta tolong. Zea menutup mata dan telinga, tetapi tidak lama dari itu, ia mendengar kabar jika seseorang ditemukan telah tewas--dilokasi yang sama, membuat seluruh tubuhnya gemetar.

Ia hanya mencoba tenang dan selalu memperlihatkan pembawaan yang ceria. Akan tetapi, dibalik itu, ia sebenarnya tidak baik-baik saja.

“Ya Tuhan!” gumamnya, memilih untuk mencuci wajah di wastafel kamarnya. Setidaknya, ia berharap semua hal-hal buruk segera hilang. Lagi pula, itu adalah kesalahan yang tidak sengaja sepulangnya ia dari Jepang dan memilih untuk berkendara--mengelilingi pusat Seoul di malam hari. Bukankah semua orang memiliki kesalahan?

Namun, lamunan Zea dihancurkan oleh suara keras yang bersumber dari ponselnya. Zea meraih ponsel. Itu panggilan dari kakaknya, River.

“Halo, Kak. Ada apa menelepon siang-siang seperti ini? Kau seperti tidak ada kerjaan saja,” ucap Zea dengan mencibikkan kedua bibirnya. Hubungannya dengan sang kakak begitu baik--terlebih mereka hanya berdua dalam ikatan persaudaraan.

What's Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang