Jihyo mengamati foto sang ayah yang tersenyum lebar--tepat di samping guci berwarna emas berisi abu kremasi. Di antara jejeran berisi hal yang sama, Jihyo lebih terpusat pada milik ayahnya. Mata bulatnya berkaca, detik selanjutnya luruh juga pertahanan Jihyo.
Tangisannya tidak bisa lagi Jihyo bendung. Ia menangis tersedu-sedu. "Ayah ... apa kau melihatnya? Semua sudah berjalan sebagaimana mestinya," kata Jihyo disela tangis. Dengan pelan, ia mengusap pipi dan kaca yang menjadi penghalang untuk menyentuh lebih detak.
"Ayah harus tahu juga, aku kemarin mendapatkan nilai memuaskan. Tadi juga aku mengikuti try out untuk persiapan ujian perguruan tinggi dan aku juga berhasil."
"Rasanya luar biasa sekali. Campur aduk. Aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Jungkook, Hyena dan yang lainnya," kata Jihyo yang masih mengeluarkan air mata. Dadanya sesak bercerita, tetapi ia mengikuti nalurinya.
Jihyo mengangguk. Walau menangis, tersenyum beberapa saat. "Memang seperti itu, tetapi ... aku butuh Ayah. Aku rindu ayah. Bahkan, juga merindukan ibu dan kakek. Kalian ... cepat sekali sih meninggalkanku!"
Jihyo terkadang ingin berteriak dan bertanya pada Tuhan, alasan dirinya diberi penderitaan seperti ini? Akan tetapi, itu hanya sia-sia saja. Terlebih, jika ia berjalan--menyusuri kota, bertemu dengan banyak orang yang kehidupannya masih berada di tingkat bawah, Jihyo merenung--ia harusnya bersyukur. Setidaknya, ia tidak berakhir menjadi anak jalanan, masih ada tabungan tersisa dan ya, orang-orang yang mendukungnya.
Berusaha, Jihyo menghapus air matanya. Tatapan itu masih fokus pada tempat sang ayah, lalu tidak lama, ia menganggukkan kepala. "Ayah, selalu doakan Jihyo di sana, ya. Jihyo tidak bakalan menyerah kok. Ayah'kan tahu kalau Jihyo mau menjadi dokter dan Jihyo akan bersungguh-sungguh. Ayah, Ibu dan Kakek bakalan lihat Jihyo mendapatkan mimpi itu. Lihat saja nanti."
Suasana tempat pemakaman khusus abu begitu sepi. Ya, setidaknya tidak berlangsung lama, karena ponsel Jihyo langsung bergetar--seseorang menghubunginya. Bergegas, ia merogoh dari dalam saku dan melihat nama sosok yang terpampang di layar. Itu Jungkook.
"Astaga, aku baru menangis. Suaraku terdengar jelek da hidungku mengeluarkan cairan," ucap Jihyo sedikit panik. Ragu untuk menjawab panggilan, hingga ponselnya berhenti bergetar. Sepertinya, Jihyo tinggal beralasan lain karena tidak menjawab panggilan, tetapi nyatanya, Jungkook kembali menghubunginya.
Perlahan, Jihyo menarik napas, lalu menghembuskannya. Ia lakukan berulang kali kemudian kembali pada ponselnya, menekan ikon hijau.
"Astaga, Baby. Kau di mana? Aku menunggumu di parkiran dan kata Hyena, kau sudah pergi daritadi. Kukira kau masih try out, nyatanya sudah selesai tiga puluh menit yang lalu." Jihyo bisa mendengar suara panik dan cemas Jungkook--pujaan hatinya. Hal itu, menimbulkan ketenangan dan kebahagiaan. Masih ada yang mengkhawatirkannya selain keluarga intinya.
"Baby ...."
"Maaf. Aku tidak meneleponmu, karena aku ingin pergi sendiri ke pemakaman ayah. Setelah ini, aku akan langsung ke Kafe Ryu dengan menaiki bus," balasnya.
Terdengar hembusan napas di seberang sana. "Aku jemput. Jangan naik bus. Perjalanannya tidak akan lama. Tunggu aku, oke?"
"Itu akan merepotkanmu, Jung. Aku bisa ...." Sambungan telepon telah dimatikan sepihak. Kesal sekali rasanya. Jungkook memang pandai membuatnya kalah dalam perdebatan. Alhasil, Jihyo harus menunggu Jungkook di luar rumah pemakaman.
"Semoga Jungkook tidak lama," kata Jihyo dengan raut cemberut. Nyatanya, memang Jihyo hanya menunggu sekitar lima menit. Mendadak ia panik, cepat sekali. Itu berarti, Jungkook melaju begitu cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
What's Wrong With Me?
Подростковая литератураBEST COVER BY @INAGAEMGYU Kepindahan Shin Jihyo ke salah satu sekolah terbaik di Seoul, nyatanya mengubah seluruh alur hidupnya menjadi sangat sial. Niat membantu teman sebangku yang ditindas, malah membuatnya harus berhadapan dengan salah satu muri...