35. kejanggalan ✓

70 2 0
                                    

Ara bangun sayang kita sholat subuh dulu ya". Ayrin membangunkan Ara yang masih tertidur pulas. Seminggu sudah mereka disana dan hari ini mereka akan pulang ke Turki.

Ara menggeliat anak itu mengucek matanya yang tampak silau dengan cahaya lampu dikamar itu. "Umma". Ucapnya melihat kearah ayrin.

"Sudah subuh, kita sholat dulu ya. Liat tuh baba udah nungguin kita". Tunjuk ayrin pada suaminya yang sedang berzikir sambil menunggu waktu azan subuh.

"Iya umma. Umma bantuin Ara bangun dong". Ucapnya penuh manja.

"Sini-sini". Ayrin mengangkat tubuh Ara agar bisa bangkit dari tempat tidur empuknya.

Ara segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan berwudhu. Usianya baru masuk empat tahun tapi iya sudah seperti anak dewasa yang mengerti semuanya. Bahkan untuk sholat saja iya tidak pernah meninggalkan satu waktu pun dan hal itu membuat afzhal dan ayrin begitu kagum dengan Ara.

.
.
.

Sholat berjamaah selesai, ayrin segera membereskan semua pakaian dan peralatan mereka sebelum berangkat tiga jam lagi.

Ditengah-tengah kesibukannya, terdengar tawa riang anak usia empat tahun itu tak jauh dari dirinya. Bercanda bersama dengan suaminya, melihat keduanya mulai akrab hal itu membuat hatinya bahagia. Awalnya memang tidak mudah bagi Ara untuk menerima mereka, namun seiring berjalannya waktu semua berubah, Allah telah membuka hati kecil Ara untuk bisa menerima kehadiran mereka.

"Baba apakah kita akan pulang hari ini?".

"Iya sayang. Kita akan pulang hari ini". Balas afzhal sambil meneguk secangkir kopi di hadapannya.

"Kata umma, kita akan kembali ke pesantren ya baba?".

"Heum. Apa kau tau? Nanti disana ada banyak anak-anak santri dan Ara pasti akan punya banyak teman disana".

"Benarkah? ". Tanya Ara serius. Babanya mengangguk mengiyakan pertanyaan putrinya.

Sesekali hatinya terasa teriris melihat kedekatan antara keduanya yang tidak memiliki hubungan darah sedikit pun. "Aku telah gagal menjadi istri yang baik untukmu mas. Bahkan sampai sekarang aku belum bisa memberimu keturunan". Berkali-kali kalimat itu selalu muncul dipikirannya dan hal itu terus membuat ayrin sering merasakan sakit kembali dibagian kepalanya. Penyakitnya masih belum sembuh total namun iya berusaha keras agar bisa sembuh dari penyakit itu.

"Hey hey kalian lagi bahas apa nih, kok umma gak di ajak".

"Baba jangan kasih tau umma, biar Umma penasaran". Bisik Ara ditelinga baba nya.

"Okey".

"Kalian lagi ngomongin umma ya? Ya udah deh Umma pergi aja". Cemberut Ayrin mengerjai keduanya.

"Eh umma, Ara sama baba gak ngomongin umma kok. Umma jangan pergi ya, kalau Umma pergi Ara sama siapa?".

Ayrin terdiam, iya menatap lama anak kecil itu.
Bayangan sebuah kehilangan memang belum lepas dari ingatannya bahkan jika salah satu dari mereka mengatakan kalimat pergi maka terus saja membuatnya merasa bersedih.

"Jangan bicara seperti itu, umma akan selalu ada bersamamu. Umma akan membawamu kemana pun umma  pergi".

"Janji?".

"Janji sayang".

"Iya, baba jangan dibawa ya umma". Ucap Ara sambil tertawa kecil.

"Ide bagus tuh". Balas ayrin ikut menertawai wajah cemberut suaminya.

"Emang boleh?. Pokoknya baba ngintil". Balas afzhal dengan bangganya.

***

Kita dan Sang PenciptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang