Bagian 2

59 18 0
                                    

Mobil truk yang ditumpangi Zoya segera melanjutkan perjalanan, setelah tahu dentuman keras itu berasal dari salah satu ban belakang mobil yang meledak. Mobil tersebut diketahui milik seorang petani yang tinggal di daerah sana. Ranvi mencoba untuk menawarkan bantuan, tetapi petani itu menolaknya, dengan alasan sudah ada putranya yang bisa memperbaikinya.

Mereka juga tidak meninggalkan petani dan putranya itu begitu saja. Ranvi diam-diam melihat ke arah dalam mobil petani yang kebetulan kacanya terbuka, untuk memastikan orang-orang ini bukanlah bagian dari mata-mata para pejabat kejam, penyebab konflik di negara ini terjadi.

Dugaan Ranvi juga semakin kuat, ketika melihat gerak-gerik mencurigakan dari anak petani itu. Namun, petani itu tiba-tiba saja sedikit bercerita kepada Ranvi, betapa takutnya mereka saat ini. Konflik yang terjadi di negaranya membuat dia dan petani lainnya berada dalam kekhawatiran. Mereka selalu takut ketika mengantar hasil panen ke penjual terjadi penyerangan, seperti apa yang terjadi kepada tetangganya seminggu yang lalu.

Petani itu bercerita sampai menitikkan air mata, membuat kecurigaan Ranvi perlahan lenyap. Berganti dengan rasa kasihan dan semakin memotivasi dirinya untuk segera mengakhiri konflik yang terjadi, dengan kemampuannya dan anggota Pawn semaksimal mungkin.

Setelah satu jam berlalu, Ranvi, Zoya, dan keempat anggota lainnya tiba di markas mereka yang baru. Gadis itu meloncat kegirangan saat turun dari truk. Penampakan pegunungan dan hamparan rumput di tanah lapang yang amat sangat luas membuatnya bersemangat. Ditambah, tidak jauh dari sana terlihat sungai yang airnya mengalir deras terasa menyejukkan.

"Wah ... cantik sekali tempatnya," ucap Zoya sembari membenarkan kerudungnya yang sedikit berantakan. "Yang lain ke mana?" tanyanya kemudian setelah menyadari hanya ada mereka, sopir, dan mobil-mobilnya saja yang berada di sana.

"Mobil kita tiba terakhir, yang lain sudah ada di markas dari tadi," jawab sopir yang tadi mengendarai truk.

"Ooh, kalau begitu ... ayo, cepat kita juga ke sana!" Zoya cepat-cepat mengambil ranselnya dan berlari meninggalkan yang lain.

"Jangan lari-lari, Zoya!" titah Ranvi yang tentu saja tidak dihiraukan oleh Zoya.

Ranvi hanya bisa geleng-geleng kepala, dia sudah biasa dengan tabiat gadis nakal itu. Ranvi dan yang lain segera membawa barang bawaan mereka untuk menyusul Zoya yang kini sudah terlihat jauh.

Butuh kurang dari satu kilometer perjalanan untuk mereka sampai di markas. Sedikit menguras energi memang, tetapi jalan masuk ke markas tidak bisa dilalui mobil. Untuk itu, beberapa dari anggota diperintahkan untuk berkemah dan berjaga di tempat mereka meninggalkan mobil.

Zoya melongo melihat bangunan di hadapannya. "Bangunan ini seperti Paman Chen," ucapnya kemudian.

"Maksudmu?" tanya Ranvi dengan dahi yang mengkerut.

"Kuno." Zoya terkekeh geli setelahnya.

Kata itu memang sering sekali dia lontarkan kepada Ranvi. Berawal dari pria itu yang ketahuan Zoya mengobati lukanya dengan kotoran hewan. Cara pengobatan yang dipercaya di zaman dahulu, padahal sebenarnya itu bisa saja menyebabkan infeksi.

"Zoya!" tegas seorang wanita dewasa segera memperingati gadis itu. Dia memang sering menasehati Zoya kalau kenakalannya sudah di luar batas. Termasuk ini, meledek Ranvi yang notabennya lebih tua dari Zoya.

"Iya, maaf." Zoya berhenti tertawa dan menurunkan pandangannya. Hanya Dara yang bisa mengendalikan gadis nakal ini. Dia orang yang paling dihormati oleh gadis itu.

Semua orang pergi ke tempatnya masing-masing untuk beristirahat. Terdapat banyak ruangan di bangunan ini, termasuk ruang bawah tanah yang dijadikan markas sebenarnya oleh mereka. Hanya saja ada sedikit yang membuat Zoya kesal, saat tahu dapurnya berada di luar, di tempat terbuka. Dia akan kesulitan untuk diam-diam tidur ataupun melancarkan aksinya di dapur, karena pastinya nanti ada anggota yang berjaga di sana.

Setelah mendapat izin dari Ranvi, Zoya segera pergi ke sungai yang dia lihat sebelumnya. Berbekalkan pancingan kesayangannya, dia mencoba menangkap ikan di sana. Zoya ini memang hobi sekali menangkap ikan, padahal dia sendiri tidak terlalu suka makan ikan. Dia lebih suka menangkap dan memasaknya saja.

Lama menunggu, akhirnya satu ekor ikan berukuran sedang berhasil gadis itu dapatkan. Wajahnya tersenyum lebar. Dia menjadi semakin semangat untuk menangkap lebih banyak ikan, sampai kemudian seseorang memanggil namanya.

"Zoya!" panggil pria itu.

Dia menengok ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilnya. Seketika Zoya berdiri dan wajah Zoya berubah masam, deru napasnya juga menjadi tidak beraturan.

"Mau apa lagi kau?" tanya Zoya menahan amarahnya. "Belum cukup menyakiti Paman Chen?" tanyanya lagi penuh penekanan.

Pria itu menunduk malu, mengingat apa yang pernah dia lakukan kepada Ranvi dan anggota Pawn yang lain. Sebuah pengkhianatan yang hampir saja merenggut nyawa Ranvi. Hal itu tentu saja menghadirkan kebencian anggota Pawn termasuk Zoya kepadanya.

"Cepat pergi dari hadapanku!" Zoya mengambil sesuatu di dalam saku jaketnya dan langsung dia todongkan pada pria itu. "Sebelum belati ini melukai lehermu. Sama seperti yang dulu pernah kau lakukan kepada Paman Chen," sambungnya

Pria itu semakin diliputi rasa bersalah. "Zoya, aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting." Akhirnya dia memberanikan diri menatap Zoya.

"Cepat pergi!" Zoya semakin naik darah, hatinya sakit saat mengingat pria ini melukai Ranvi tepat di hadapannya.

"Zoya, dengarkan aku! Ini penting."

Zoya mencoba untuk mengendalikan diri dan berhenti menodongkan belati kepada pria itu. "Apa? Cepat katakan! Aku tidak punya banyak waktu untuk berhadapan dengan seorang pengkhianat."

Pria itu mengembuskan napas beratnya. Hatinya seakan ditusuk mendengar kebenaran yang dikatakan oleh Zoya.

"Zoya, aku tahu yang dulu aku lakukan itu salah, tetapi—"

"Langsung ke intinya saja," kesal Zoya. Dia sebenarnya sudah tidak tahan melihat pria di hadapannya ini.

"Baiklah." Pria itu dengan serius menatap Zoya. "Salah satu dari mata-mata yang kalian kirim ke tempat mereka ada yang berkhianat," ungkapnya.

Gadis itu menatap tidak percaya pria itu. "Jangan bohong, mana buktinya? Mereka orang-orang yang dekat dengan Paman Chen. Itu tidak mungkin."

"Percayalah padaku. Meskipun orang itu dekat dengan Paman Ranvi, kita tidak bisa seratus persen percaya bahwa mereka tidak akan berkhianat."

"Sepertimu?" Zoya tersenyum jahat.

Pria itu menghela napas kasar. "Iya, sepertiku," ucapnya pelan.

"Zoya." Pria itu mendekat.

"Diam di tempatmu!" Zoya kembali menodongkan belatinya.

"Baiklah." Pria itu mengangkat kedua tangannya sejenak. Dia kembali ke tempatnya tadi berdiri sembari mengeluarkan secarik kertas di saku bajunya.

"Ini nomor ponselku." Pria itu mencoba memberikannya kepada Zoya. "Aku tahu, akan sulit bagi kalian mempercayai dan menerimaku lagi. Tetapi izinkan aku kali ini untuk membantu kalian. Aku sudah berubah, tolong beri sedikit kepercayaan."

Zoya dengan malas mengambil kertas itu. Dia juga memasukkan kembali belatinya ke tempatnya semula sehingga pria itu tersenyum simpul.

"Zo-Zoya!" Panggilan lemah terdengar dari arah samping mereka. Membuat dua orang itu menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria dengan penampilan yang berantakan dan beberapa luka di sekujur tubuhnya. Terutama wajahnya yang penuh luka lebam, terengah-engah menghampiri Zoya.


Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang