Erangan penuh kesakitan dan jeritan meminta ampun menyambut Ranvi dan pasukannya saat akan melewati lorong lapas. Fahar, pria tua jahat itu membawa Ranvi dan pasukannya ke sana, ke tempat di mana dia menahan warga yang menentang aturan dan berani melawan. Ranvi merasa tidak berdaya sekarang. Dia beserta pasukannya hanya dapat menyaksikan saja kekejaman yang terjadi di balik jeruji saat ini.
Suara nyaring dari pukulan cambuk menghantarkan rasa ngeri serta rasa bersalah Ranvi dan pasukannya. Setiap tangis dan teriakan sakit dari para korban semakin menyadarkan Ranvi pada keputusasaan mereka. Isakan demi isakan dari gadis-gadis yang dicemari juga perlahan merobohkan rasa percaya diri Ranvi. Mereka sama sekali tidak bisa menyelamatkan orang-orang itu dari penderitaan, karena Ranvi dan pasukannya sendiri sedang perlu bantuan sekarang.
Setelah berbagai penindasan terhadap warga yang tidak bersalah mereka lewati. Fahar akhirnya berhenti di ujung lorong lapas, dia membalikkan tubuhnya dan menunjukkan wajahnya yang tampak bahagia kepada Ranvi. Pria tua jahat itu juga memandang anggota-anggota Ranvi dengan remeh.
"Selamat datang di rumah baru kalian!" ujar Fahar dengan lengan yang terbuka dan senyum yang tidak luntur dari wajahnya. "Mulai saat ini, anggap saja dua sel penjara kosong ini markas kalian, Ranvi. Kau dan anggotamu suka, kan?"
Ranvi dan pasukannya menatap pria tua itu datar. Di dalam hatinya mereka berjanji akan membalas Fahar nanti. Mereka pasti bisa mengalahkan pria tua itu sekaligus antek-anteknya.
"Hey, kau!" Fahar menunjuk salah satu anak buahnya. "Cepat buka pintu selnya!" titah pria tua itu.
Pintu sel penjara terbuka. Para anak buah Fahar langsung menggiring Ranvi dan pasukannya untuk segera masuk ke sana. Fahar merasa jumawa, setelah sekian lama akhirnya dia bisa menangkap komandan organisasi Pawn beserta beberapa anggotanya.
"Kau boleh merasa menang sekarang, Fahar." ucap Ranvi di balik jeruji. "Tetapi lihat saja nanti! Kau akan kami buat lebih menderita dari orang-orang yang tersiksa tadi," sambungnya menahan amarah.
Pria tua jahat itu berdecak. "Jangan banyak bicara, Ranvi. Kau ini sudah kalah, diam dan nikmati sisa hidupmu di sel penjara ini." Fahar tersenyum penuh kemenangan. "Kau yang akan lebih dahulu menderita, Ranvi," tambahnya.
Fahar lalu berbalik meninggalkan Ranvi beserta pasukannya yang sudah terkurung di dalam sel. Pria tua jahat itu pergi untuk segera merayakan kemenangannya bersama yang lain. Sebenarnya Fahar ini bisa saja dikalahkan pasukan Ranvi tadi, kalau saja dia tidak mengancam akan melukai keluarga mereka yang berada di negara lain. Ranvi menyerah begitu saja kalau sudah berhubungan dengan keluarga. Dia tidak mau keamanan keluarga mereka terganggu.
Pria yang berstatus komandan di organisasinya itu, kini terduduk di teras yang dingin di dalam sel jeruji besi bersama anggota-anggotanya. Mereka semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Seperti halnya Ranvi yang saat ini teringat pada gadis nakal kesayangannya. Dia merasa bersyukur tidak membawa gadis itu bersamanya. Keputusan Ranvi benar-benar menyelamatkan Zoya dari apa yang menimpanya saat ini.
Paman kesayangan Zoya ini ingin tahu keadaan gadisnya itu sekarang. Dia merasa sedikit khawatir karena belum sempat menghubungi Malik untuk menanyakan kabar Zoya. Namun, Ranvi juga yakin Zoya sekarang pasti baik-baik saja. Malik bersama Zoya, pria itu pasti menjaga gadis nakal kesayangannya itu dengan baik. Dia yakin anggota kepercayaannya itu akan menepati janji untuk selalu menjaga Zoya. Ranvi juga berharap Zoya sudah sampai ibu kota sekarang dan segera pulang kembali kepada keluarga yang begitu merindukan gadis itu.
Kenyataannya Zoya dan Malik sama sekali belum sampai ibu kota. Saat ini mereka berdua tengah sibuk mencari penginapan yang masih belum bisa mereka temukan. Sampai kemudian Malik dan Zoya menemukan sebuah rumah yang terlihat kosong sebagai tempat istirahat mereka sementara ini sampai matahari menampakkan cahayanya. Pria dan gadis itu hanya ikut duduk di depan teras rumah untuk menghilangkan rasa pegal di kaki mereka yang lelah ke sana kemari mencari penginapan.
Zoya dan Malik beberapa saat yang lalu terjebak dalam suasana yang hening. Tidak ada yang bersuara sama sekali di antara mereka, kecuali helaan napas mereka saja yang terdengar satu sama lain. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga kemudian Zoya membuka suara. Dia menanyakan sesuatu untuk apa yang dilihatnya.
"Apa kau membawa kotak obat, Pak Malik?" tanyanya membuat pria itu segera melihat Zoya dengan panik.
"Apa kau terluka, Zoya?" tanyanya khawatir seraya melihat Zoya dari ujung ke ujung. Mencari letak luka yang dimiliki gadis di hadapannya ini. "Katakan padaku di mana lukanya?"
"Tidak, aku tidak terluka." Zoya menggeleng. "Kau yang terluka, Pak Malik," ucapnya sembari menunjuk leher Malik.
Pria itu tersadar, Zoya menunjuk goresan luka miliknya. Luka yang dia dapat dari golok milik pria besar yang kepalanya dia tembak di kereta. Malik jadi bernapas lega, ternyata Zoya menanyakan kotak obat itu untuk lukanya. Dia merasa tenang gadis itu baik-baik saja.
"Kau membawanya tidak, Pak Malik?" tanya Zoya lagi karena pria itu hanya melempar senyum kepadanya tadi.
"Tidak, kotak obat itu ada di mobil, aku lupa membawanya," jawabnya mendapat tatapan tidak percaya dari Zoya.
"Kau ini, bagaimana bisa kau melupakan barang penting seperti itu, Pak Malik? Bagaimana jika aku juga terluka, kau akan membiarkannya? Bibi Dara dan Paman Chen sering sekali berpesan kepada semua anggota untuk selalu membawa kotak obat kemana pun kita pergi, bukan? Kenapa kau masih saja lupa?" omel gadis itu seraya mengambil sebotol air di dalam tasnya. "Ya, sudah, sekarang kau basuh saja dulu lukanya, Pak Malik. Jangan dibiarkan seperti itu saja, nanti terinfeksi baru tahu rasa."
Pria itu menahan senyum yang akan terbit di wajahnya. Dia senang mendapat perhatian dari gadis itu. "Aku tidak akan membiarkanmu terluka, Zoya. Aku akan menjagamu sesuai janjiku pada Pak Ranvi," kata Malik yakin dan mulai membasuh lukanya.
"Bicaramu itu omong kosong, Pak Malik. Menjagaku-menjagaku, tetapi sering sekali membuatku kesal, aneh sekali." Zoya diam sejenak ikut meringis melihat Malik yang sedang membasuh lukanya. "Kalau kau memang menjagaku, setidaknya kau juga tidak merahasiakan apa pun dariku, Pak Malik. Kau sedang menyembunyikan sesuatu bukan dariku?" sambung gadis itu membuat raut wajah Malik kembali datar.
"Jangan mulai mengajakku berdebat, Zoya," tegasnya. Malik tahu arah pembicaraan gadis ini ke mana. Zoya pasti ingin menagih jawaban kenapa dia tidak menginginkan gadis itu kembali ke markas.
Gadis itu menghela napas kasar. "Ya, sudah, sekarang apa?"
"Apa?" Malik menyatukan kedua alisnya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita akan pergi ke mana, Pak Malik?"
"Sudah aku katakan, kita mencari penginapan dan pergi ke tempat yang aman." Malik hanya menggeleng tatkala melihat Zoya berubah cemberut mendengar jawabannya.
"Percuma kita mencarinya, Pak Malik. Dari tadi kita tidak menemukan penginapan, yang ada hanya menguras energi kita saja. Aku lelah terus berjalan seperti tadi," keluhnya.
"Kita harus tetap mencarinya, Zoya. Kita butuh istirahat untuk melanjutkan perjalanan. Aku akan sewa kendaraan nanti supaya kita tidak berjalan lagi," ujar Malik tidak mendapat respons apa-apa dari Zoya.
Gadis itu memilih mengalihkan pandangan ke arah pedagang yang sedang membuka warungnya. Cukup lama dia memperhatikan aktivitas pedagang itu, sampai dia tersadar dengan apa yang dilihatnya. Zoya segera berbalik menatap Malik dengan wajahnya yang sudah berubah tegang.
"Ayo, kita segera pergi dari sini, Pak Malik!" pinta Zoya membuat bingung pria di hadapannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Mayor
AcciónRanvi, seorang mantan Mayor Jenderal, membentuk sebuah organisasi rahasia untuk membantu negara-negara yang terkena konflik. Organisasinya bertujuan menghancurkan para pemimpin licik dan kejam, yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa mempedulikan r...