Bagian 3

46 17 0
                                    

Zoya dan pria yang terluka itu kini berada di dalam ruangan Ranvi. Sama seperti Zoya tadi, Ranvi juga terkejut melihat salah satu anggotanya yang ditugaskan menjadi mata-mata terluka.

"Bagaimana ini bisa terjadi?"

"403 berkhianat pada kita, Pak," jawabnya.

"Empat kosong tiga?"

"Iya, Pak. Saya terluka karena dia mencoba mengadang saya untuk pergi ke sini dan melaporkannya kepada Anda."

Tampak raut kekecewaan tersirat dari wajah Ranvi. Begitu pun dengan Zoya yang teringat akan ucapan Amar, pria tadi.

"Dia juga yang membocorkan keberadaan markas kita kemarin, Pak," kata pria itu lagi.

Ranvi menghela napas kasar, kemudian pandangannya mengarah kepada Zoya. "Tolong panggilkan Pak Ali ke sini, Zoya."

"Kenapa tidak dia saja yang pergi langsung ke Paman Ali untuk diobati?" cakap Zoya seraya menunjuk pria di sampingnya. "Paman tahu sendiri, Paman Ali itu terkadang tidak mau mengobati orang yang terluka selain di ruangannya, kecuali gawat darurat."

"Paman mau dia diobati di sini, Zoya. Ada yang mau paman bicarakan juga dengan Pak Ali," ucap Ranvi lembut agar Zoya segera melaksanakan perintahnya.

"Mau bicara apa?" Zoya menaik turunkan alisnya.

"Kau tidak perlu tahu, cepat panggilkan. Setelah itu pergi ke kamarmu dan bersihkan diri."

"Kenapa? Aku mau dengar perbincangan kalian nanti."

"Tidak, sudah paman bilang kau tidak diizinkan terlibat dalam hal yang seperti ini," ujar Ranvi membuat gadis itu mencebikkan bibir dan masih diam di tempatnya.

"Cepat, Zoya ... paman juga tidak tahan dengan baumu. Kau bau ikan."

Memang sedikit tercium bau ikan dari gadis itu. Bekas tadi saat dia menangkap ikan dan lupa untuk mencuci tangannya.

Zoya menekuk wajahnya. "Paman juga bau tahu. Bau minyak urut kakek-kakek," ledeknya kemudian pergi meninggalkan ruangan Ranvi dan menjalankan tugasnya.

Ranvi tidak marah dengan ucapan Zoya. Hal itu justru membuatnya tersenyum. Beda halnya jika ada Dara di sana, pasti Zoya akan dimarahi habis-habisan, bahkan mungkin sampai mendapatkan hukuman.

Gadis itu kini sedang duduk di lantai kamarnya, setelah sebelumnya membersihkan diri. Dia sedang merenung. Menurut firasatnya, mereka akan mendapatkan masalah yang besar dari misi ini nanti. Perasaannya juga menjadi tidak enak semenjak mendengar ada pengkhianat lagi di organisasi mereka.

Zoya yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, terkejut saat seseorang menepuk bahunya dan ikut duduk di sampingnya.

"Kenapa melamun?" tanya Dara yang datang ke kamar Zoya untuk mengantarkan makanan. "Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Bibi, sudah dengar 403 mengkhianati kita?"

Dara mengangguk dan mulai menyendok makanan di piring yang berada di tangannya, kemudian dia arahkan sesendok makanan itu ke depan wajah Zoya. "Jangan dipikirkan, sekarang kau makan dulu, Zoya."

"Biar aku sendiri saja, Bibi." Zoya mencoba merebut piring itu dari tangan Dara.

"Tidak, hari ini bibi mau menyuapimu. Tolong, jangan menolaknya," pinta Dara.

Gadis itu tersenyum dan menerima suapan dari Dara. Dara juga tampak bahagia. Dia selalu suka menyuapi Zoya, karena itu mengingatkannya kepada mendiang putrinya.

"Bibi, tahu tidak?" tanya Zoya setelah menelan makanannya.

"Apa?"

"Aku memang sudah mencurigai orang botak itu dari lama. Dugaanku benar, ada yang salah dengan dia. Aku sering sekali melihatnya diam-diam menelepon seseorang."

"Zoya ... jaga ucapanmu! Jangan seperti itu, bibi tidak suka." Panggilan orang botak untuk pengkhianat itu tentu saja lebih menarik perhatian Dara, ketimbang ucapan Zoya yang lain.

"Bibi ... dia memang botak," ucap Zoya dengan wajah yang dia buat serius. Berharap Dara tidak akan memarahinya.

"Zoya!" Dara akan berubah tegas kalau Zoya bertingkah seperti ini. Dia tidak suka gadis itu tidak bisa menjaga kata-katanya. "Sudah bibi katakan berulang kali, jangan seperti itu!"

"Iya, Bibi." Zoya menunduk patuh.

Hening sesaat, sampai kemudian Dara membuka suara.

"Zoya ...." Dara meraih tangan gadis itu untuk digenggamnya. "Kau harus selalu ingat, tugas kita di organisasi ini hanya memasak dan membantu korban yang terluka. Tidak lebih."

Zoya paham apa yang dimaksud Dara. Dia memang sering sekali mengajukan diri untuk ikut membantu saat ada penyerangan ataupun menjadi seorang mata-mata. Dia juga tahu, sebenarnya Dara sudah mengetahui kalau dirinya suka menyelinap masuk ke dalam mobil anggota Pawn dan diam-diam ikut mereka melawan para penjahat itu.

"Jika kau masih melakukannya, bibi akan beritahu Ranvi nanti." Dara menatap Zoya dalam. "Sudah sejak lama bibi ingin membicarakan ini padamu, Zoya. Bibi sudah lelah merahasiakan ini. Bibi juga tidak mau kau kenapa-kenapa."

Zoya mencoba tersenyum untuk menenangkan Dara. "Aku akan berusaha untuk tidak ikut campur hal itu lagi, Bi. Hatiku selalu tergerak membantu Paman Chen, akan sedikit sulit untuk tidak melakukannya."

"Ranvi orang yang hebat, kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Kita di sini saja, memasak dan mendoakan mereka. Itu sudah cukup." Dara beralih memeluk Zoya. "Bibi tidak mau kehilanganmu, Zoya."

Gadis itu membalas pelukan Dara. Dia mengerti apa yang dirasakan bibinya ini. Dara sering bercerita kepada gadis itu mengenai putrinya yang tingkah lakunya mirip sekali seperti Zoya. Untuk itu, Dara menganggap Zoya sudah seperti putrinya sendiri. Apa yang dilakukan Zoya itu berbahaya, Dara hanya tidak mau kehilangan putrinya untuk yang kedua kali.

Sebuah pelukan hangat antara dua insan itu terurai, ketika terdengar suara ketukan di pintu kamar Zoya. Diiringi dengan suara pria yang memanggil-manggil nama Dara dan Zoya.

"Cepat pakai kerudungmu, Zoya."

Gadis itu segera memakai kerudungnya, karena dia sendiri dari tadi sudah memakai rok dan baju panjang, sehingga jika dalam keadaan seperti ini dia tinggal memakai kerudungnya saja. Mereka berdua pun beranjak ke arah pintu dan membukanya. Terlihat Ranvi di hadapan mereka dengan wajah paniknya.

"Kalian baik-baik saja?" Ranvi melihat dari atas sampai bawah dua orang itu secara bergantian.

"Ada apa, Paman? Kenapa kau terlihat panik seperti ini?"

Tanpa menjawab pertanyaan Zoya, Ranvi justru menyuruh Zoya dan Dara untuk menyingkir. Dia masuk ke dalam kamar gadis itu dan memeriksa setiap penjuru ruangan yang ada di sana.

"Ranvi, ada apa sebenarnya?" kini Dara yang bertanya.

"Di sini aman. Kalian diam di sini, jangan ke mana-mana dan kunci pintunya. Jangan bukakan pintu sebelum aku sendiri yang memintanya."

Setelah mengatakan itu Ranvi segera keluar dari kamar Zoya dan pergi dengan terburu-buru. Zoya dan Dara dibuat bingung atas apa yang terjadi. Namun, Dara tetap menuruti apa yang diperintahkan oleh Ranvi. Zoya sendiri ingin sekali mengejar Ranvi dan mencari tahu apa yang sedang terjadi, kalau saja pintu kamarnya tidak keburu dikunci oleh Dara.

"PENYUSUP ITU LARI KE SEBELAH SANA, PAK."

Sebuah teriakan yang terdengar dari lantai bawah mengejutkan Zoya dan Dara. Ternyata ada penyusup yang masuk ke dalam markas mereka, tetapi ada hal yang lebih mengejutkan lagi bagi mereka. Saat seorang pria menyelinap masuk ke dalam kamar gadis itu lewat jendela luar.


Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang