Bagian 33

18 5 0
                                    

Bau harum aroma kopi yang tersaji di hadapan pria beda generasi ini sama sekali tidak menarik atensi mereka. Kedua pria itu dengan serius menatap satu sama lain. Hal yang akan dibicarakan mereka sangat penting, bahkan pintu dan jendela ditutup rapat-rapat. Di sebuah ruangan yang sedikit penerangannya itu, seorang pria yang usianya sama dengan komandannya Malik mulai menarik napas dalam, sebagai tanda pembahasan mereka akan begitu berat. Malik melihat sendiri kekhawatiran yang tersirat di wajah pria itu.

"Kau mau membantuku, kan, Malik?" tanyanya penuh harap. "Di mana Ranvi saat ini? Kami benar-benar perlu bantuannya."

"Pak Ranvi pergi ke bagian barat, Pak. Aku tidak tahu Pak Ranvi sudah sampai mana sekarang, dia belum menghubungiku," jawab Malik membuat Pak Zubair benar-benar terkejut.

"Ke wilayah barat, apa maksudmu, Malik? Apa kalian tidak tahu di sana sudah benar-benar hancur? Tidak mungkin Ranvi tidak mengetahuinya."

Malik menyatukan kedua alisnya. "Bukankah itu wilayah yang belum tersentuh, Pak? Orang-orang di sana masih terbelakang, mereka juga bukan target pemerintah. Bagaimana bisa?"

"Wilayah barat sudah dihancurkan, Malik. Kau ingat pria tua tadi? Dia salah satu warga yang selamat dari sana. Wilayah barat sudah sejak lama dihancurkan. Memang bukan oleh pemerintah, tetapi pasukan militer yang berkhianat pada pemimpin negara mereka sendiri," ungkap Pak Zubair.

Dalam keterkejutannya Malik jadi berpikir, begitu banyak ternyata anggota yang mengkhianati organisasi mereka. Apa yang salah dari komandannya sehingga rekan-rekannya itu mengkhianati organisasi? Pria itu benar-benar tidak percaya untuk apa yang terjadi sekarang ini.

Setelah cukup lama bergeming, kini Malik menatap dalam Pak Zubair. "Itu berarti anggota yang berjaga di wilayah barat berkhianat kepada Pak Ranvi," ujar Malik menahan amarahnya. "Mereka mengatakan wilayah barat aman dan baik-baik saja. Untuk itulah Pak Ranvi memutuskan pergi ke sana. Ternyata mereka semua pembohong, mereka pengkhianat." Deru napas Malik terdengar jadi tidak teratur, dahinya juga mengkerut mengingat rekan-rekan pengkhianatnya itu.

"Sebaiknya sekarang kau coba hubungi dia, Malik. Mereka pasti masih di perjalanan," kata Pak Zubair yang mendapat anggukan dari Malik.

Pria itu segera mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya. Sebuah nomor dia ketikan dengan cepat dan langsung menghubunginya. Namun, beberapa kali dia coba hubungi, Ranvi sama sekali tidak menjawab panggilannya. Ponselnya aktif, tetapi ke mana Ranvi? Malik juga mencoba menghubungi anggota lain yang ikut bersama Ranvi dan tidak ada satu pun yang menjawab panggilannya.

"Pak Ranvi dan yang lain tidak menjawab panggilanku, Pak. Bagaimana sekarang?" tanya Malik khawatir.

"Mungkin saja mereka sedang bertugas, Malik. Bukankah sebelum pergi ke wilayah barat Ranvi punya markas? Semoga saja mereka ada di sana sekarang. Ranvi pasti akan menghubungimu nanti," ucapnya mencoba berpikir positif.

Malik menggeleng lemah. "Tidak mungkin, Pak. Markas Pak Ranvi yang sebelumnya sudah dihancurkan. Mereka diserang dan kemudian datang ke markasku." Malik menghela napas berat. "Markasku juga sudah hancur sekarang, pihak mereka sudah tahu keberadaan organisasi kami. Mereka juga mengirim ancaman kemarin, sehingga Pak Ranvi memutuskan untuk pergi ke wilayah barat dan aku ditugaskan mengantar Zoya pulang," jelas Malik.

Pikiran mereka jadi berkecamuk, bingung dengan apa yang terjadi. Mereka kehilangan Ranvi sekarang, satu-satunya harapan yang bisa membantu Pak Zubair menghentikan konflik yang terjadi di negaranya.

"Kita coba hubungi Ranvi lagi nanti," ucap Pak Zubair seraya memijit pelipisnya.

Tanpa mereka berdua sadari, seorang gadis tengah menguping sejak awal perbincangan mereka dari balik jendela. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, dia juga memegang dadanya yang terasa sesak. Sebuah kenyataan yang baru saja diketahuinya membuat hati Zoya seakan diremas. Dia jadi mengkhawatirkan keadaan Paman Chen dan Bibi Dara yang sekarang tidak diketahui keberadaannya.

Lelah berdiam diri mendengar pembicaraan Malik dan Pak Zubair. Gadis itu segera beranjak dari tempatnya dan menemui mereka. Pintu yang terbuat dari bambu itu Zoya dorong dengan kuat, membuat kedua pria yang berada di dalam ruangan terperanjat.

"Zoya?" Malik terkejut melihat raut wajah marah gadis itu. "Kau kenapa?" tanyanya saat pria itu lihat air mata turun membasahi pipi Zoya.

Gadis itu memandang geram ke arah Malik. "Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya kalau markas Paman Chen diserang?" pekiknya sedikit terisak.

Malik terpejam sesaat dan mengembuskan napasnya pelan. "Kau duduk dulu, Zoya. Aku akan jelaskan segalanya," ucapnya lembut.

"Aku tidak mau!" seru Zoya. "Berani sekali kau menyembunyikannya dariku." Gadis itu menghapus air matanya dengan kasar.

"Kemari, Zoya!" panggil Pak Zubair seraya menepuk-nepuk tempat di sampingnya. "Kau duduk dulu di sini."

Zoya terdiam sejenak, tetapi kemudian dia mengikuti apa yang tadi dikatakan Pak Zubair. Dia mendudukkan dirinya samping Pak Zubair di sebuah tikar. Gadis itu menatap Malik kesal, dia benar-benar marah kepada pria di hadapannya ini. Malik tega sekali menyembunyikan itu semua darinya.

"Tenangkan dirimu, Zoya," ujar Pak Zubair karena gadis itu masih terisak dan sibuk menghapus air matanya yang tidak berhenti keluar. "Kau tadi menguping pembicaraan kami, Zoya?" tanyanya setelah melihat Zoya sedikit tenang.

Gadis itu mengangguk dan kembali menatap sinis Malik. "Iya, aku menguping kalian," jawabnya. "Kalau tidak, mungkin selamanya aku tidak akan tahu kebenaran ini." Gadis itu mengatakannya dengan penuh kekesalan.

"Pak Ranvi sendiri yang tidak ingin kau mengetahuinya, Zoya. Aku hanya menjalankan perintah Pak Ranvi," jelas Malik, "dia tidak mau kau ikut terlibat lagi dalam organisasinya. Pak Ranvi ingin kau segera keluar dari negara ini."

"Kenapa? Paman Chen tidak menyayangiku lagi?" Gadis itu kembali terisak, asumsinya sendiri yang membuat dirinya merasa sakit hati.

"Tidak, Zoya. Justru Pak Ranvi sangat menyayangimu, untuk itu dia menginginkanmu segera pulang dan menikmati hidup di negaramu yang aman."

Pernyataan dari Malik membuat Zoya menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mengeluarkan seluruh kesesakan di dadanya. Kenangan Zoya bersama Paman Chen dan juga Bibi Dara kembali terputar di pikirannya. Gadis itu benar-benar merindukan mereka. Dia juga jadi memikirkan hal yang tidak-tidak, bagaimana jika terjadi sesuatu pada paman dan bibinya itu? Dia tidak sanggup membayangkannya.

"Pak Malik ...," lirih Zoya memandang pria itu dengan tatapan sendu. "Kau tahu sendiri kita tidak bisa pergi ke ibu kota, itu berarti aku juga tidak akan bisa pulang. Bisakah kita mencari Paman Chen dan Bibi Dara saja? Kita harus cari mereka," pinta Zoya yang tentu saja mendapat gelengan dari Malik.

"Tidak, Zoya. Kita akan cari jalan keluar untuk pergi ke sana, itu sudah jadi keputusanku. Itu juga perintah dari Pak Ranvi, kau harus pulang."

Sebenarnya Malik sendiri merasa tidak yakin mereka akan dapat jalan keluar. Dia tahu keadaan di luar sana sudah benar-benar kacau. Mulai dari Ranvi yang sulit dihubungi, juga raut wajah khawatir Pak Zubair yang kini sedang menatapnya. Menurut firasatnya, Ranvi sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Komandannya itu sudah berpesan kepada Malik bahwa dia sendiri yang akan menghubunginya. Namun, ternyata sampai sekarang Ranvi masih belum menghubunginya untuk bertanya mengenai kabar gadis nakal kesayangannya ini.

"Malik, lebih baik kau jangan paksakan diri untuk mencari jalan keluar." Pak Zubair menundukkan kepalanya sejenak, merasa malu untuk mengatakan kalimat selanjutnya. "Aku juga sangat membutuhkan kalian sekarang. Bisakah kalian ikut membantu kami melawan orang-orang jahat itu? Aku mohon," ujarnya seraya mengatupkan kedua tangan.

Malik merasa tidak tega dan ingin membantu Pak Zubair yang benar-benar mengharapkan bantuan mereka, tetapi sesuai janjinya dan tugas yang diberikan oleh Ranvi. Dia harus bisa menolaknya, sehingga dengan berat hati Malik akan mengatakan keputusannya itu. Namun, baru saja Malik akan mengatakannya, gadis yang duduk di hadapannya ini lebih dahulu menyela ucapannya.

"Aku akan ikut membantumu, Pak Zubair. Aku tidak akan pulang," tegas Zoya dengan tatapan yang tidak bisa Malik artikan.

Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang