Bagian 28

26 4 0
                                    

Pagi-pagi buta, semua penumpang akhirnya turun dari kereta. Para penumpang masih merasa takut saat melihat pria-pria tinggi besar itu, padahal sekarang mereka sudah bebas dan bisa melarikan diri. Amar sudah memberitahu bahwa tujuannya membajak kereta itu adalah untuk menyelamatkan mereka dari prajurit negara di stasiun berikutnya.

Para prajurit negara itu sudah siap dengan senapan yang akan menghabisi semua orang di dalam kereta. Pembajakan itu dilakukan murni untuk menyelamatkan para penumpang. Untuk masalah adanya pemenggalan dan pencemaran seorang gadis itu di luar rencana Amar. Anak buahnya memang berasal dari preman yang sering berbuat hal seperti itu dan Amar belum bisa sepenuhnya mencegah.

Amar menghampiri Zoya dan Malik setelah selesai memasang bom di kereta. "Kau akan pergi ke mana sebenarnya, Zoya?" tanyanya seraya duduk di sebelah gadis itu.

"Aku akan pulang ke negaraku, Kak," jawab Zoya.

Amar langsung mengerutkan dahinya. "Kau akan pulang?"

Zoya mengangguk. "Iya." Gadis itu melihat ke arah Malik yang masih marah karena merasa kecewa kepadanya. "Dan Pak Malik yang ditugaskan untuk mengantar dan menjagaku," sambungnya.

"Kau terlambat untuk bisa pulang, Zoya," ucap Amar seraya menarik napas dalam. "Seluruh jalur untuk pergi ke ibu kota sudah ditutup. Kita tidak bisa keluar dari wilayah ini. Sudah ada pasukan yang siap menembak kalau berani pergi ke ibu kota," jelasnya membuat Malik dan Zoya panik.

"Itu berarti aku tidak bisa pulang?"

Amar menatap sedih gadis itu. "Iya, mereka bahkan mengusir warga minoritas seperti kita dari wilayahnya, tetapi tidak mengizinkan mereka untuk pergi ke daerah ibu kota yang aman."

"Kalau begitu aku kembali saja ke markas Paman Chen." Zoya menghela napas pelan. Ada sedikit rasa senang di hatinya.

Malik yang malas untuk berkata apa pun akhirnya membuka suara. "Apakah tidak ada satu jalan saja yang aman menuju ibu kota?"

"Tidak ada," jawab Amar. "Zoya benar, kalian kembali saja ke markas Paman Ranvi agar aman. Aku akan pinjamkan mobil untuk kalian."

"Tidak, Pak Ranvi menugaskan aku untuk segera mengantarnya pulang. Kita tidak akan kembali ke markas," ujar Malik membuat Zoya heran.

"Sudah Kak Amar bilang, tidak ada jalan keluar, Pak Malik." Zoya menatap kesal pria itu. "Kenapa kau tetap memaksakan diri?"

"Baiklah, kita tidak akan pergi ke ibu kota dulu sebelum benar-benar aman." Malik menatap Zoya lekat. "Tetapi kita tetap tidak akan ke markas. Kita cari tempat aman saja. Tidak ada lagi markas hanya tempat aman," putus Malik.

Keputusan Malik itu membuat Zoya menaruh curiga. "Kau ini sebenarnya kenapa, Pak Malik? Bukankah markas Paman Chen juga aman? Jalan menuju ke markas pun cukup aman, kenapa kau seakan-akan tidak mau aku pergi ke sana?" cerocosnya.

Malik tidak bisa menjawab Zoya, dia sudah berjanji pada Ranvi untuk menyembunyikan keadaan markasnya.

"Cepat katakan padaku, Pak Malik! Apa masalahmu?" sentak Zoya.

Amar menimpali, "Pasti ada yang kau sembunyikan, Malik. Apa itu? Kenapa kau tidak membiarkan Zoya pergi ke markas?"

Malik memalingkan wajahnya supaya tidak melihat mereka yang menagih jawaban. Semakin membuat curiga Amar dan juga Zoya. Pria itu sekarang justru membawa barang-barang milik Zoya, melangkahkan kakinya untuk segera pergi dari sana.

"Ayo, Zoya, kita cari penginapan sekarang," ajak Malik, "kita butuh istirahat sekarang."

Zoya tidak bergerak sedikit pun dari duduknya. Dia menginginkan jawaban sekarang bukan istirahat. Amar dan Zoya hanya melihat kepergian Malik yang baru berjalan beberapa langkah. Namun, kemudian pria itu berbalik menatap Zoya.

"Aku akan jawab nanti setelah menemukan penginapan," ujar Malik, "sekarang ikut aku dulu. Aku mohon."

Timbul semburat senyum dari bibir Zoya, dia akhirnya beranjak menghampiri Malik. "Aku pergi dulu, Kak Amar," pamitnya meninggalkan Amar yang memang tidak bisa ikut dengan mereka.

Amar mengangguk. "Jaga dirimu baik-baik, Zoya. Hubungi aku kalau kalian butuh bantuan," ucapnya yang mendapat anggukan dari Zoya.

Gadis itu dan Malik kini sudah menghilang dari pandangannya. Amar menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan. Untuk saat ini dia masih bisa menggagalkan operasi dalam hal kejahatan dari komandannya sekarang. Entah sampai kapan pengkhianatannya tidak diketahui oleh orang-orang jahat itu. Namun, cepat atau lambat bau-bau dia memihak pada organisasi Ranvi akan tercium juga.

Dia sudah merasa lelah sebenarnya berpura-pura jahat di depan mereka. Terkadang dia juga harus melenyapkan warga sebagai bukti dia berpihak pada yang salah. Amar sudah tidak tahan, dia ingin bergabung kembali bersama Ranvi. Kekacauan semakin menjadi sekarang karena adanya pihak yang mengadu domba pasukan militer dan tiap pemimpin wilayah. Warga semakin ketakutan. Adanya kudeta membuat mereka kehilangan rumah juga keluarganya. Penyerangan yang terjadi pun seperti tidak kenal waktu dan tidak bisa diduga-duga.

Seperti halnya saat ini, pasukan Ranvi yang baru saja terlelap mendapat penyerangan. Orang-orang yang memakai penutup kepala bergambar tengkorak tiba-tiba saja mengepung mereka. Pedang-pedang bermotif matahari di pegangannya, orang-orang itu todongkan ke arah pasukan Ranvi. Tidak mau kalah, pasukan Ranvi juga segera mengarahkan senapan kepada mereka. Namun, sesaat kemudian orang-orang itu membuka jalan dan memperlihatkan siapa yang berada di belakang mereka. Dara dan juga tentara wanita organisasi Pawn.

"Mereka adalah tawananku sekarang, Ranvi." Muncul seorang pria tua dengan tampilan yang rapi memakai seragam pejabatnya.

Dua orang yang saling mengenal itu memandang satu sama lain. Ranvi dan juga pria tua itu. Mereka berdua bertatapan cukup lama, pikiran mereka memutar kilas balik yang menyebabkan adanya organisasi Ranvi sekarang ini.

"Kau sudah tua, tetapi tetap terlihat muda, Ranvi. Apa rahasiamu?" Pria itu terkekeh pelan. "Oh ... aku tahu. Kau terlalu banyak bergerak membantu para warga yang hanya sampah itu, kan, Ranvi? Untuk itu kau masih sangat bugar sekarang," ujarnya membuat darah Ranvi mendidih.

Ranvi menatap nyalang pria tua itu. Seorang Letnan Jenderal yang kini memimpin negara di mana Ranvi dilahirkan. Negara yang pemerintahannya hanya mengedepankan uang daripada kesejahteraan rakyatnya.

"Suruh pasukanmu itu untuk menurunkan senjatanya, Ranvi." Pria tua itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Atau mereka akan aku buat menderita sekarang," ujarnya seraya menunjuk Dara dan yang lain dengan dagunya.

Ranvi menghela napas kasar. "Turunkan senjata kalian!" titah Ranvi kepada pasukannya. Dia tidak mungkin membiarkan Dara dan yang lain terluka.

Suara tawa pria tua itu menggema di dalam terowongan saat pasukan Ranvi benar-benar menurunkan senapannya. "Inilah kenapa kau selalu kalah dariku, Ranvi. Kau terlalu memikirkan mereka yang hanya seorang wanita." Tunjuknya pada Dara dan tentara wanita organisasi Ranvi.

Pria tua itu berdecak. "Kalau kau memilih mereka menderita, pasukanmu pasti bisa mengalahkan pasukanku sekarang," ucapnya tersenyum miring.

Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang