Mata Zoya setengah terpejam akibat sudut-sudut bibirnya yang terangkat tinggi. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanan sedang tangan satunya lagi dia gunakan untuk memegang perutnya. Tidak ada suara yang terdengar darinya. Hanya tubuhnya saja terlihat bergetar menahan sesuatu saat melihat pria yang berada di hadapannya.
Pria itu menatap Zoya heran seraya memberikan sapu tangan. "Kenapa? Ada apa, Zoya? Kenapa kau terus tertawa?" tanyanya pelan, takut mengganggu penumpang yang lain lagi.
Zoya menyeka air matanya yang keluar dengan masih menyisakan tawanya yang tidak bersuara. Dia juga menerima sapu tangan yang diberikan Malik. Gadis itu mengelap wajahnya yang basah.
"Rambutmu ...." Zoya kembali menutup mulutnya dengan tangan.
Malik yang menunggu jawabannya menatap Zoya datar. Gadis itu justru kembali tertawa sambil menunjuk rambut Malik dan menepuk-nepuk pahanya pelan. Tidak tahan ingin tergelak.
"Ada apa di rambutku, Zoya?"
Masih dalam keadaan tertawa Zoya mengambil kacamata dari tas selempang miliknya yang baru dibelikan oleh Dara. "Lihatlah sendiri," ujarnya seraya menyerahkan kacamata itu kepada Malik.
Pria itu menautkan kedua alisnya melihat buliran nasi yang cukup banyak ada di rambutnya. Malik segera membuang nasi-nasi itu dari rambutnya satu per satu dengan perasaan kesal hingga bersih.
"Ibu itu pasti baru selesai makan. Air yang disiramkan padamu ada nasinya," ucap Zoya sedikit berbisik. "Coba cium aroma rambutmu sekarang, pasti bau," lanjutnya.
Pria itu mencium bau tangannya yang tadi sempat menyentuh rambutnya. Dahi Malik mengkerut beriringan dengan embusan napasnya yang kasar. Benar kata Zoya, sepertinya ini air bekas kobokan. Tercium sedikit aroma kari dari rambutnya.
"Beruntungnya aku dapat siraman air yang bersih," ucap Zoya seraya memperbaiki kerudungnya yang sedikit berantakan.
Malik melirik tajam sesaat ke arah Zoya. Gadis ini lama-lama memang menyebalkan. Berani sekali dia menertawakanku, batinnya berkata.
Zoya yang sadar dengan lirikan Malik, mengubah raut wajahnya yang tadi ceria jadi cemberut. "Kenapa kau melihatku seperti itu tadi, Pak Malik?"
"Tidak, aku tidak melihatmu," bohongnya.
"Kau bohong." Zoya menyipitkan matanya seraya menunjuk Malik. "Aku tadi melihatnya."
Malik menghela napas. "Itu hanya perasaanmu saja mungkin." Malik menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan pura-pura memejamkan matanya. "Sudahlah, kau jangan terus mengajakku ribut. Penumpang yang lain akan terganggu," sambungnya.
"Itu semua salahmu, Pak Malik. Kau selalu saja membuatku kesal." Zoya menatap Malik sinis kemudian membalikkan tubuhnya menghadap jendela.
Malik membuka sedikit satu matanya. Terlihat wajah gadis itu yang merengut. Namun, kemudian Zoya melirik ke arahnya, kontan Malik dengan cepat menutup matanya berpura-pura terpejam kembali. Malik dan Zoya kini sama-sama terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya suara dengkuran keras dari penumpang sebelah mereka saja yang terdengar jelas memecah keheningan di antara keduanya.
Zoya merasa bosan sekarang, mulutnya juga gatal sekali ingin berbicara. Namun, dia tidak tahu harus membahas apa, ditambah Zoya yang tidak tahu siapa yang harus diajaknya bicara. Gadis itu melihat ke arah Malik. Terdengar suara dengkuran halus dari sana.
"Dia tidur?" gumamnya.
Zoya mengamati Malik yang sudah terlelap. Raut wajah letih pria itu tampak jelas di matanya. Anggota kepercayaan pamannya ini pasti benar-benar lelah menghadapinya. Zoya sedikit merasa bersalah, hanya sedikit. Selebihnya rasa kesal kepada pria itu terlalu menguasainya. Dia menghela napas pelan, pikirannya kembali teringat pada Ranvi dan juga Dara yang gadis itu pikir sudah aman berada di markas mereka. Kini Zoya membuka tas selempangnya untuk mencari benda kecil yang sangat penting dan dapat membantu organisasi Ranvi.
Sebuah diska lepas yang sudah Zoya ambil dipegangnya dengan erat. Ingin sekali gadis itu merutuki dirinya sendiri yang sampai saat ini belum bisa menyerahkannya kepada Ranvi. Dia sendiri sebenarnya bimbang. Jika diserahkan kepada Ranvi, dia sendiri akan kebingungan membuktikan Amar yang kini sudah berada pada pihak mereka.
Dia akan pulang sekarang, tentu saja mau tidak mau dia harus menyerahkan diska lepas itu pada Ranvi. Tidak masalah jika nanti dia bertemu kembali dengan Ranvi, dia akan ditanyai dan dimarahi meskipun kemungkinannya sangat kecil mereka akan bisa bertemu kembali. Zoya putuskan benda kecil yang berharga itu akan dia titipkan kepada Malik untuk diberikan kepada Ranvi setelah pria itu bangun.
Suasana sepi dan rasa bosan menjadikan gadis itu mengenang saat-saat dia bersama paman dan bibi kesayangannya. Hal itu membuat air mata kembali membanjiri pipinya. Dia sekarang ingin sekali menghubungi mereka. Namun, dia tahu, mereka semua pasti sedang beristirahat sekarang. Zoya tidak mau menganggu mereka.
Gadis itu sedikit tidak rela meninggalkan organisasi Ranvi. Akan tetapi, di sisi lain dia juga membayangkan keluarganya yang akan sangat senang dengan kehadiran Zoya di rumah mereka. Putri bungsu yang selama dua tahun ini mereka nantikan kepulangannya. Orang tuanya pasti sangat tidak sabar untuk segera memeluknya.
Saat sedang termenung seperti itu, Zoya tiba-tiba dibuat kaget dan terheran-heran karena mendengar suara yang berdentang dengan keras. Begitu juga Malik yang kini terbangun mendengar suara yang arahnya cukup dekat dengan mereka. Pria itu langsung mengusap kasar wajahnya saat benar-benar tersadar dari tidurnya. Dia berdecak kesal pada dirinya sendiri karena tertidur dan tidak menjaga Zoya.
Malik segera melihat Zoya yang sedang memandang ke arah kursi penumpang lain di belakangnya. Gadis itu terbelalak saat matanya terpaku ke satu pusat. Malik jadi penasaran, kemudian melihat apa yang sedang Zoya perhatikan. Pria itu juga tercengang saat tahu apa yang disaksikan mereka sekarang ini.
"Diam di tempat kalian dan jangan berani macam-macam!" sentak seorang pria tinggi besar yang kedua tangannya dipenuhi tato.
"Jika kalian berani ...," ujar salah satu rekan pria tinggi besar tadi sengaja menjeda perkataannya, "kalian akan seperti pria ini," lanjutnya seraya memperlihatkan kepala seorang penumpang yang dijinjingnya.
"Kereta ini telah kami bajak!" teriak salah satu dari mereka diiringi suara tawa rekan-rekannya, membuat semua penumpang di sana ketakutan.
Atmosfer mencekam seakan memeluk para penumpang. Wajah mereka menegang melihat para pembajak itu memainkan senjata mereka yang berupa sajam, parang, golok, dan sejenisnya dipukul-pukul ke badan kursi penumpang. Para pembajak itu menyeringai pada penumpang yang satu per satu mereka lihat. Pria-pria tinggi besar itu juga memandang perempuan-perempuan muda yang ada di sana dengan gairah, termasuk Zoya yang kini sedang meneguk salivanya. Salah satu dari pembajak itu mulai menghampirinya.
"Pak Malik ...." Zoya memandang Malik takut. "Salah satu dari mereka menuju ke sini," ucapnya berbisik-bisik.
Malik mengangguk dan mengambil aba-aba untuk segera beralih duduk di samping Zoya. Akan tetapi, itu semua terlambat, pria tinggi besar dengan bekas luka yang besar di wajah mendahuluinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Mayor
ActionRanvi, seorang mantan Mayor Jenderal, membentuk sebuah organisasi rahasia untuk membantu negara-negara yang terkena konflik. Organisasinya bertujuan menghancurkan para pemimpin licik dan kejam, yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa mempedulikan r...