Zoya ke luar dari gubuknya setelah puas beristirahat. Dia melihat sekeliling, hari sudah menjelang malam dan markas tampak sepi. Tidak ada satu pun anggota yang berjaga di luar membuat Zoya keheranan.
"Apa ada orang di sini?" teriak Zoya. Siapa tahu mereka semua sedang berada dalam gubuknya masing-masing.
Hening ... tidak ada satu orang pun yang menjawab.
"Pak Malik ...!" Zoya mencoba memanggil pria itu seraya berjalan menuju salah satu gubuk yang ada di depannya.
Sampai di gubuk itu, Zoya lantas mengetuk pintunya. "Permisi! Apa ada orang di dalam?"
Tidak ada jawaban sama sekali. Markas benar-benar sepi. Zoya semakin dibuat bingung, tidak mungkin semua orang pergi meninggalkannya. Meskipun ada tugas dadakan, setidaknya dua atau tiga anggota pasti diperintahkan untuk menjaga markas.
"Ini aneh sekali. Ke mana semua orang pergi?" gumamnya sembari melihat-lihat ke setiap penjuru yang ada di sana.
Zoya memutuskan untuk kembali ke gubuknya. Dia akan mencoba bertanya kepada Ranvi dengan menghubungi markas yang ada di sana melalui komputer jinjing miliknya. Namun, sebelum itu Zoya pergi ke dapur untuk mencari makanan. Dia sudah sangat lapar sekarang. Perutnya baru terisi tiga buah roti, itu pun tadi siang saat dia sedang dalam perjalanan ke sini.
Di markas ini tidak ada aliran listrik, sehingga para anggota memakai obor dan lentera sebagai penerangan. Seperti saat ini, Zoya hanya menggunakan lentera sebagai penerangan untuk membantu dirinya mencari makanan di dapur. Cukup lama Zoya menggeledah dapur, tetapi tidak ada satu pun yang dapat gadis itu makan.
Zoya menghela napas panjang. "Apa-apaan ini? Mereka sama sekali tidak memiliki persediaan makanan. Bagaimana aku bisa makan sekarang? Mereka juga tega sekali meninggalkanku sendirian," keluhnya dengan wajah lesu.
Gadis itu kini mendudukkan dirinya di potongan batang pohon yang berukuran sedang. Dia hanya bisa menahan laparnya dan menunggu mereka kembali. Sampai kemudian dia tidak sengaja melihat satu bungkus mi instan di dekat tungku api. Zoya segera bangkit dan mengambilnya.
"Akhirnya ... ada yang bisa aku makan," ucapnya kegirangan.
Dia pun segera mencari alat untuk merebusnya. Cukup lama dia dapat menemukannya. Para anggota yang ada di sana menyimpannya sembarangan. Panci itu Zoya temukan di atas tumpukan kayu bakar. Dia juga menemukan mangkuk yang sudah tertutupi sisa pembakaran di dalam tungku api.
Hal itu Zoya wajarkan, karena Malik sempat mengatakan di markas ini hanya ada anggota pria saja. Tidak ada anggota perempuan ataupun anggota khusus di bagian dapur seperti di markas Ranvi. Zoya segera merebus mi instan itu, matanya berbinar tidak sabar untuk segera menyantapnya. Kurang lebih lima menit Zoya menunggu sampai mi instannya benar-benar matang. Senyum terbit di wajahnya, dia segera menaruh mi instan itu ke dalam mangkuk yang sudah dia cuci bersih.
Akhirnya, satu mangkuk mi instan rasa ayam bawang sudah siap menghilangkan rasa laparnya. Zoya pun berbalik hendak pergi ke tempat dia duduk tadi. Namun, saat dia berbalik, di hadapannya sudah ada seseorang yang berdiri tegap menatap Zoya. Sontak gadis itu pun terkejut dan tidak sengaja menjatuhkan mi instan yang baru saja dia masak.
"Pak Malik!" pekik Zoya merasa kesal. "Kenapa kau mengejutkanku?!"
Zoya memandang sedih makanannya yang sudah berantakan di atas tanah. "Lihat! Mi punyaku jadinya jatuh dan tidak bisa lagi dimakan."
"Aku tidak mengejutkanmu, Zoya," ujar Malik membela diri.
"Terus kenapa kau diam-diam ada di belakangku?" tanya Zoya dengan wajah cemberut.
"Aku hanya sedang mengawasimu, Zoya. Pak Ranvi menyuruhku untuk terus menjagamu," jelasnya.
Zoya mendengkus. "Tidak bisakah kau beritahu aku sebelumnya kalau kau ada di belakangku?"
"Maaf, aku pikir kau tidak akan terkejut."
Zoya menatap kesal Malik. "Sekarang aku harus makan apa? Aku lapar ...," lirihnya. "Kau juga dari mana saja? Kenapa markas sepi sekali? Kalian meninggalkanku sendirian," oceh Zoya yang masih kesal kepada Malik.
"Sudah, kau jangan marah. Ini untukmu," ucap Malik memberikan satu kantung plastik berukuran sedang yang berisikan makanan.
Zoya mengernyit dan menerimanya. "Apa ini?"
"Lihat saja sendiri." Malik mendudukkan dirinya di tempat duduk Zoya tadi.
"Wah ... roti dan kue." Zoya tersenyum lebar setelah melihat roti dan kue yang bermacam-macam di dalam kantung plastik itu.
"Malam ini kau makan itu saja, ya?" Malik menatap cemas Zoya karena dia tahu Zoya tidak akan cukup hanya dengan memakan kue dan roti saja. "Persediaan makanan di sini sudah habis, aku baru akan belanja lagi besok."
Zoya mengangguk paham. "Tidak masalah, aku akan memakan yang ada saja."
Malik menarik sudut bibirnya. "Baguslah kalau begitu."
"Kau sendiri sudah makan, Pak Malik?" tanya Zoya seraya mendudukkan dirinya di sebuah dingklik yang ada di samping tumpukan kayu bakar.
"Menurutmu?" ucap Malik balik bertanya.
"Aku tidak tahu." Zoya mengedikkan bahunya. "Maka dari itu aku bertanya," sambungnya.
Zoya mulai memakan roti pemberian dari Malik. "Pak Malik mau?" tawar Zoya basa-basi.
"Tidak," bohongnya. Padahal Malik sendiri belum makan karena mi instan yang seharusnya jadi jatah makanannya pun sudah dimasak Zoya.
Zoya menatap Malik yang ada di sampingnya. "Kau benar tidak mau?" tanyanya lagi memastikan.
"Iya," jawab Malik memalingkan wajahnya agar tidak beradu tatap dengan Zoya.
Sesaat kemudian terdengar dengan keras bunyi keroncongan dari perut Malik.
"Kau berbohong, Pak Malik," ucap Zoya menahan tawanya.
"Tidak, aku memang sedang tidak ingin makan," ujarnya menahan malu.
Zoya tersenyum meledek. "Tetapi sepertinya perutmu tidak berkata seperti itu."
"Ini." Zoya memberikan kantung plastik itu kepada Malik. "Kau juga harus makan."
"Tidak, kau saja," tolak Malik.
"Aku tidak akan memakannya lagi kalau Pak Malik juga tidak memakannya," ujar Zoya berhenti melahap roti yang ada di tangannya.
Malik berdecak. "Baiklah, aku juga akan memakannya." Dia segera mengambil kue di kantung plastik itu dan mulai memakannya. "Aku sudah memakannya, sekarang kau juga makan."
Zoya tersenyum senang dan kembali melahap rotinya. "Oh, iya, kenapa markas begitu sepi? Ke mana yang lain?" tanya Zoya setelah menghabiskan satu bungkus roti.
Malik menelan terlebih dahulu kuenya. "Mereka sedang menjalankan tugas dari Pak Ranvi," jawabnya.
"Oh ... kau sendiri tidak diberi tugas oleh Paman Chen?"
"Ada." Malik melirik Zoya sesaat. "Bahkan tugasku lebih berat dari mereka."
"Oh, ya?" Zoya kembali membuka bungkus kue untuk memakannya. "Tugas apa?"
"Tugasku harus menjagamu, Zoya," jawabnya tersenyum jahil. "Aku harus menjaga gadis nakal dan menyebalkan sepertimu," lanjutnya.
Seketika itu wajah Zoya berubah kusut dan tidak jadi memakan kuenya. "Kau bilang apa, Pak Malik? Aku nakal dan menyebalkan?" ujar Zoya marah.
"Iya," jawab Malik memancing rasa kesal Zoya. Entah kenapa dia ingin menjaili Zoya saat ini.
"Ya, sudah. Jangan jaga aku! Aku akan pergi ke markas Paman Chen sekarang," kesal Zoya dan beranjak pergi dari sana menuju gubuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Mayor
ActionRanvi, seorang mantan Mayor Jenderal, membentuk sebuah organisasi rahasia untuk membantu negara-negara yang terkena konflik. Organisasinya bertujuan menghancurkan para pemimpin licik dan kejam, yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa mempedulikan r...