Bagian 32

13 5 0
                                    

Tatapan tajam dari seorang pria yang memiliki banyak kerutan di wajah, tidak henti-hentinya memperhatikan dua insan yang tengah berdiri canggung di hadapannya. Pria tua itu memandang mereka berdua dengan penuh selidik. Dilihatnya wajah seorang gadis dengan luka di pipinya, serta pria dengan luka yang sepertinya masih baru di leher. Penampilan mereka juga terlihat berantakan, menimbulkan kecurigaan di benak pria tua itu. Dia jadi berasumsi kalau Malik dan Zoya adalah tawanan yang baru saja orang-orang itu tangkap.

"Apa yang kalian berdua perbuat sampai mereka menangkap kalian?" tanya pria itu.

Zoya dan Malik saling melirik satu sama lain. Kedua alis mereka juga jadi menukik tajam, tidak mengerti apa yang dimaksud pria tua di hadapan mereka.

"Cepat jawab! Kalian pasti antek-anteknya orang biadab itu, kan?" sentak pria tua itu, karena Zoya dan Malik hanya menatapnya bingung.

Zoya terperanjat mendengar suara nyaring pria tua itu, terkecuali Malik yang justru balik menatap tidak suka kepada pria yang jauh lebih tua darinya.

"Tuduhanmu itu tidak benar, Pak," ucap Malik datar.

"Kami bukan anak buah orang-orang jahat itu, Pak. Kami anggota dari sahabat dekatnya Pak Zubair," jelas Zoya membenarkan sembari tersenyum ramah.

Pria tua itu semakin menatap tajam ke arah mereka, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Zoya. "Anggota apa yang kalian maksud? Setahuku Pak Zubair tidak memiliki sahabat," ucap pria itu kini memandang mereka sinis. "Jangan harap kalian bisa membodohiku. Aku tahu kalian pasti anggota dari para pembunuh yang menyengsarakan rakyat itu."

"Mereka tidak membodohimu, Pak Salim," teriak seorang pria yang suaranya terdengar hampir mirip seperti Ranvi.

Secara serentak mereka langsung melihat ke sumber suara yang berada di belakang pria tua itu. Seorang pria dengan peci hitam di kepalanya sedang menuju ke arah mereka. Senyum Zoya merekah saat tahu siapa orang itu, begitu pun Malik yang seketika merubah raut wajahnya jadi bersahabat.

"Kau sepertinya memang bodoh, Pak Salim, menuduh mereka sembarangan. Aku tahu kita harus berhati-hati, tetapi bukan berarti kau mencurigai semua orang begitu saja," kata pria itu setelah sampai di hadapan mereka.

Pria tua itu menunduk malu saat Pak Zubair berada tepat di sampingnya. Dia memang seringkali seperti ini saat ada orang asing yang masuk ke wilayah kelompok mereka. Mencurigai tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu ataupun bertanya kepada rekan yang membawa orang-orang asing itu ke wilayah ini. Padahal dia tahu sendiri, wilayahnya ini sangat sulit ditembus oleh para penjahat itu. Tempat mereka adalah tempat teraman saat ini dibanding wilayah yang lain.

"Maaf, Pak."

Pak Zubair sudah sangat hafal. Seperti biasa dua kata itu yang pasti keluar dari mulut pria tua itu jika hal seperti ini terjadi.

"Kau pergi saja sekarang dari sini. Biar mereka berdua aku yang urus," titah Pak Zubair yang langsung dipatuhi pria tua itu.

"Sudah lama kita tidak bertemu, Zoya. Apa kabarmu?" tanya Zubair setelah pria tua itu pergi.

Wajah Zoya menampakkan senyum manisnya. "Aku sangat baik, Pak Zubair."

Pak Zubair tersenyum simpul seraya menggeleng pelan. "Kau bohong, dilihat dari penampilanmu sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja."

"Aku baik-baik saja, Pak Zubair." Zoya menghela napas pelan. "Hanya ada sedikit kekacauan saja yang menyebabkan kami seperti ini," ujarnya melirik Malik sesaat.

Pak Zubair mengangguk paham. "Baiklah, kalau memang begitu. Bagaimana keadaan kawanku Ranvi, Zoya?"

Gadis itu menggeleng pelan, sama sekali tidak mengetahui keadaan pamannya itu sekarang. "Aku dan Paman Chen berpisah, Pak. Aku juga tidak tahu keadaannya sekarang. Kami berpisah saat akan menuju markas," jelas Zoya yang raut wajahnya jadi bersedih.

"Berpisah? Kenapa?" tanya Pak Zubair penasaran.

"Paman Chen ingin aku segera pulang dari negara ini," jawab gadis itu lemah.

Melihat Zoya jadi sedih seperti itu, Pak Zubair beralih menatap Malik. "Apa kabarmu, Malik?" Tangannya memegang bahu kanan pria itu. "Kalian berdua pasti sangat lelah sekarang, bukan?" Dia bisa melihat wajah lelah dari dua insan di hadapannya ini.

"Aku baik, Pak Zubair. Hanya saja kami membutuhkan tempat beristirahat sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Bisakah kami menginap di sini beberapa hari saja sampai aku menemukan jalan keluar untuk pergi ke ibu kota?" pinta Malik membuat Zoya menghela napas kasar, karena pria di sampingnya ini masih bersikeras membuatnya pulang.

"Tentu saja." Pak Zubair tersenyum ke arah mereka. "Kalian bisa tinggal di sini selama yang kalian inginkan. Kita sudah seperti keluarga, bukan? Aku sangat senang kalian berdua berada di sini."

"Terima kasih, Pak Zubair," ucap Malik dan Zoya bersamaan.

"Pak Zubair, aku sepertinya harus membersihkan diri. Di mana tempat aku bisa melakukan itu?" tanya Zoya karena dia sudah tidak nyaman dengan tubuhnya yang terasa lengket.

"Di sebelah sana," tunjuk Pak Zubair ke arah salah satu rumah bambu. "Kau bisa membersihkan dirimu di sana."

Zoya mengangguk. "Baiklah, Pak, kalau begitu aku akan pergi membersihkan diri dulu," ujar gadis itu yang kemudian hendak mengambil tas berisi pakaiannya.

Malik menahan tangan Zoya agar tidak membawa tasnya. "Biar aku saja yang membawanya. Aku juga akan ke sana dan menunggumu di luar," kata pria itu membuat Zoya melotot ke arahnya.

"Tidak, mana boleh seperti itu. Kau sudah gila? Tidak perlu menjagaku sampai sejauh itu." Zoya memaksa mengambil tas yang kini sudah berada di tangan Malik.

Malik menatap kesal ke arah Zoya, gadis itu berhasil membawa tas dari tangannya. "Aku harus memastikan kau baik-baik saja, Zoya. Lagi pula aku hanya menunggu di luar. Aku tidak akan berbuat macam-macam, tenang saja."

"Tidak, aku tidak mau. Aku hanya sebentar, lagi pula di sini aman, kan, Pak Zubair?" Zoya melihat Pak Zubair yang kini sedang tersenyum ke arahnya setelah mendengar sedikit perdebatan mereka.

"Iya, di sini aman. Kau tidak perlu takut Malik, lebih baik kau juga bersihkan dirimu. Di tempatku saja, hanya terhalang dua rumah. Jadi kau tidak perlu khawatir."

Malik jadi berpikir sejenak, sama seperti Zoya dia pun ingin segera membersihkan dirinya yang penuh keringat ini. "Baiklah, kalau begitu," ujarnya menyetujui. "Tetapi kalau ada apa-apa cepatlah berteriak dan panggil aku, Zoya. Ingat itu!"

Gadis itu mengangguk dan menampilkan senyumnya yang dibuat-buat. "Baiklah, Pak Malik. Aku akan berteriak dengan sangat kencang kalau terjadi sesuatu padaku. Aku pasti melakukannya, bahkan sampai semua orang yang mendengar menutup telinga karena merasa bising." Wajah Zoya berubah datar setelah mengatakan itu. "Sudah Pak Zubair bilang di sini aman. Kau terlalu berlebihan, Pak Malik," ucapnya sedikit kesal dan segera pergi dari sana.

Malik hanya bisa menggeleng dan menghela napas berat. Gadis itu tidak tahu sepertinya, Malik hanya ingin menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

"Ranvi memberimu tugas untuk menjaga gadis itu, Malik?

Malik mengangguk seraya tersenyum ke arah Pak Zubair. "Iya, Pak. Tugasku sekarang hanya menjaga Zoya dan mengantar dia pulang ke negaranya dengan selamat."

"Ranvi akan sangat bangga padamu, Malik. Kau menjalankan tugasmu dengan baik," cakapnya tersenyum. "Sekarang kau ikut aku, ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu, Malik," tambahnya berubah serius.

"Mengenai apa, Pak?" tanya Malik penasaran.

"Ikut aku saja dulu dan bersihkan dirimu. Setelah itu aku akan mengatakannya padamu." Pak Zubair menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Ini sangat genting dan sepertinya kita perlu bantuanmu dan juga Ranvi. Aku tahu kau pasti tahu keberadaan kawanku itu sekarang."

Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang