Pukul dua dini hari, Zoya pergi ke kamarnya yang sudah dibersihkan. Di dalam kamar dengan berat hati gadis itu mengemasi barang-barangnya, walaupun dia belum sepenuhnya pulih akibat kejadian kemarin. Sudah Zoya putuskan, dia akan pulang pagi ini. Lebih cepat lebih baik, sebelum dirinya menjadi ragu kembali untuk meninggalkan markas ini. Cukup sampai di sini saja perjalanannya ikut bersama Paman Chen.
Gadis itu sedang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar, tetapi sesaat kemudian Ranvi yang datang bersama Dara dengan kasar mendorong pintu kamarnya. Hal itu tentu saja membuat Zoya terkejut. Berbeda dengan Ranvi dan Dara, wajah panik mereka berubah lega setelah melihat Zoya berada di kamarnya.
"Kau ada di sini ternyata," ujar Dara mengambil alih apa yang sedang Zoya lakukan. "Kenapa tidak bilang sama bibi kalau kau mau pindah kamar sekarang?"
"Zoya, tidak seharusnya kau di sini. Pergi kembali ke ruang rawat dan istirahat," ucap Ranvi dengan lembut.
"Pamanmu benar." Dara mengelus bahu Zoya. "Kau bisa pindah ke kamar yang lain besok, biar bibi saja yang mengemasi barangmu."
Zoya merasa sedih mendengar dua orang kesayangannya ini menganggap dia mengemasi barang hanya untuk pindah kamar. Dia juga jadi takut dan ragu mengatakan hal yang sejujurnya, kalau dia akan pulang dan berpisah dengan mereka.
"Zoya?" Dara menepuk pelan bahu Zoya yang sedari tadi dilihatnya hanya diam. "Kenapa diam saja? Ada apa?"
"Kau tidak setuju istirahat di ruang rawat, Zoya?" tanya Ranvi menampakkan sedikit senyumnya.
Zoya memandang ke arah Ranvi dengan mata yang sudah memanas menahan tangis.
"Baiklah, kau bisa pindah ke kamar yang lain sekarang, asalkan kau segera beristirahat."
Zoya menggeleng. "Tidak, Paman. Aku berkemas bukan untuk itu."
Ranvi dan Dara mengerutkan dahi, merasa bingung atas apa yang Zoya katakan.
"Maksudmu, Zoya?" tanya Dara heran.
"Aku akan pulang, Bibi." Zoya menarik napas dalam. "Aku akan kembali ke keluargaku. Aku akan pergi dari sini, meninggalkan kalian semua."
Dara yang tercengang sontak memeluk Zoya. Pelukan hangat itu membuat air mata Zoya mulai mengalir. Dia sudah tidak mampu lagi menahan kesedihannya. Ranvi juga terdiam sejenak, dia sedikit tidak menyangka mendengar keputusan Zoya. Ada perasaan tidak rela saat Zoya mengatakan itu.
"Keputusan yang tepat, Zoya. Akhirnya kau mau mendengarkan paman." Ranvi mencoba tersenyum dan menahan rasa sakit di dadanya yang datang secara tiba-tiba.
Dara melepas pelukannya. "Kapan kau akan pergi?"
"Pagi ini, Bibi," jawab Zoya sembari menyeka air matanya.
"Pagi?"
Zoya mengangguk. "Iya. Aku akan menaiki bus pagi untuk pergi ke ibu kota."
"Kenapa naik bus, Zoya? Biar paman saja yang antar."
"Tidak, Paman. Kalau Paman yang antar, nanti aku tidak bisa pergi." Air mata Zoya kembali membasahi pipinya.
"Baiklah, terserah kau, Zoya. Tetapi jangan menolak dua anggota Pawn yang akan menjagamu. Mereka akan paman tugaskan menemani perjalananmu di bus, kau harus aman sampai ibu kota."
Zoya mengangguk dan Ranvi pamit keluar kamar untuk mempersiapkan anggotanya yang akan menjaga gadis itu.
"Nanti jangan lupakan bibi, ya, Zoya," pinta Dara yang kini memuaskan diri memandang wajah Zoya. Setelah gadis itu pergi, dia tidak akan bisa lagi melihat orang yang sudah dia anggap seperti putrinya sendiri ini.
"Iya, aku tidak akan pernah lupakan bibi, Paman Chen, ataupun organisasi ini." Zoya meraih tangan Dara dan menggenggamnya. "Terima kasih untuk segalanya, Bi. Dua tahunku bersama kalian benar-benar sangat berarti. Aku sangat bahagia bisa bertemu kalian."
Dara kembali memeluk Zoya. "Bibi sangat menyayangimu, Zoya."
"Aku juga sayang padamu, Bibi," balas Zoya mengeratkan pelukannya.
Mempersiapkan anggotanya untuk menjaga Zoya hanya sebuah alibi. Alasan yang sebenarnya, dia ingin mengurung diri di ruangannya. Mencoba menerima dengan hati yang lapang keputusan gadis itu untuk pulang ke keluarganya. Berat bagi Ranvi untuk melepas Zoya. Dia benar-benar tidak sanggup menerimanya saat ini. Gadis nakal itu benar-benar sudah masuk ke dalam hidupnya, akan sangat sulit melepasnya.
Matahari sudah terbit dan saatnya perpisahan. Zoya berpamitan kepada semua anggota Pawn yang ada di sana. Dia memeluk satu persatu anggota perempuan dan memberi hormat kepada anggota laki-laki. Rasa sedih menyelimuti mereka. Mereka terbiasa dengan kehadiran Zoya, kenakalan, dan juga perhatiannya. Orang-orang ini pasti akan sangat merindukan gadis nakal kesayangan Paman Chen dan Bibi Dara.
Terakhir Zoya berpamitan kepada Dara, dia lantas mendapatkan ciuman bertubi-tubi di dahi dan pipinya. Pelukan Dara juga sangat erat dan lama, dia benar-benar tidak rela harus melepas Zoya. Lain halnya dengan Ranvi, dia mencoba tegar di hadapan Zoya dan anggotanya. Padahal di lubuk hatinya yang paling dalam, Ranvi sedang menangis sejadi-jadinya. Dia juga sama sedihnya seperti mereka.
Setelah acara perpisahan itu selesai, Zoya segera menaiki mobil yang dikendarai Ranvi. Pamannya itu akan mengantarkan dia sampai ke halte bus. Mobil mulai dinyalakan dan kemudian bergerak perlahan. Anggota Pawn serentak melambaikan tangan kepada Zoya. Mereka benar-benar tidak menyangka ini adalah saat terakhirnya mereka bisa melihat Zoya.
Di dalam mobil, Zoya kembali terisak dan mengeluarkan segala rasa sesak yang ada di hatinya. Membuat hati Ranvi ikut tersayat, dia tidak sanggup melihat gadis kesayangannya menangis seperti ini.
"Zoya ... berhentilah menangis," pinta Ranvi lembut. "Paman tidak sanggup mendengarnya," tambahnya.
Zoya menghapus air matanya dan mengarahkan pandangannya ke luar jendela mobil. "Paman, sepertinya aku tidak bisa meninggalkan kalian," ucap Zoya lemah.
"Kau pasti bisa, Zoya." Ranvi melirik Zoya sesaat. "Setelah bertemu keluargamu, kau pasti bisa terbiasa tanpa kami."
Zoya membenarkan dalam hati, mungkin saja benar seperti apa yang dikatakan Ranvi. Hati dia tidak akan terlalu terpaut pada organisasi ini setelah bertemu dengan keluarganya.
"Oh, iya, paman lupa tanyakan ini. Kau sudah pesan tiket pesawat untuk pergi ke negaramu, Zoya?"
Zoya mengangguk. "Sudah, Paman, tetapi keberangkatannya besok lusa."
Ranvi terkejut. "Masih besok lusa, Zoya. Kenapa kau tidak tinggal dulu di markas?"
"Kalau aku diam di markas, nanti yang ada aku tidak jadi pulang, Paman. Aku yang memang masih bimbang pasti akan memutuskan untuk tetap ikut kalian," jawabnya.
Ranvi tersenyum kecil, benar apa yang dikatakan Zoya. "Jadi nanti kau menginap di ibu kota?"
"Iya, dan Paman jangan khawatir, karena aku akan menginap di apartemen milik temannya kakakku."
"Tetap saja, Zoya. Dua anggota yang paman tugaskan menjagamu di bus, akan paman tugaskan juga menjagamu di apartemen. Bagaimana?"
"Baiklah," jawab gadis itu setuju.
Saatnya telah tiba bagi Ranvi untuk melepas Zoya. Ingin sekali dia peluk gadis nakal di hadapannya ini, tetapi itu tidak mungkin. Dia hanya bisa memberi beberapa nasihat sebelum gadis itu benar-benar pergi meninggalkannya. Zoya pun hanya dapat memberi hormat kepada pamannya ini. Bus menuju ibu kota akan segera berangkat, kebersamaan mereka benar-benar akan segera berakhir. Begitu berat langkah Zoya saat akan meninggalkan Ranvi. Namun, pada akhirnya Zoya tetap menaiki bus dan pergi bersama dua anggota yang menjaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Mayor
ActionRanvi, seorang mantan Mayor Jenderal, membentuk sebuah organisasi rahasia untuk membantu negara-negara yang terkena konflik. Organisasinya bertujuan menghancurkan para pemimpin licik dan kejam, yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa mempedulikan r...