Bagian 25

24 6 0
                                    

Aroma busuk yang menyengat langsung menusuk indra penciuman Ranvi dan juga pasukannya saat baru saja menginjakkan kaki di sana. Sebuah terowongan menuju ruang bawah tanah yang sudah lama terbengkalai menjadi tempat peristirahatan mereka saat ini. Tempat yang pernah menjadi markas mereka sebelumnya. Ranvi dan pasukannya berubah waspada tatkala melihat banyaknya potongan daging yang dihinggapi lalat dan belatung tersebar di beberapa penjuru.

Berbekalkan senter dan senjata api. Mereka memeriksa lebih dalam ruang bawah tanah. Untuk memastikan kalau tempat ini sudah benar-benar kosong sekarang. Potongan mayat-mayat itu terlihat baru, sebagai bukti adanya orang-orang yang sudah beberapa hari berada di sini. Namun, langkah Ranvi terhenti ketika melihat nomor dari sobekan kain yang diinjaknya. Angka yang tertera itu tentu saja sangat dia hafal.

Nomor 400 yang dulu dia berikan kepada salah satu anggotanya. Seorang pemuda yang memiliki tekad yang kuat untuk membalaskan kematian keluarganya dan juga warga desa di lingkungan pemuda itu. Orang pertama yang Ranvi beri kepercayaan sebelum adanya Malik. Hasan, anak dari seorang pedagang yang mimpinya menggulirkan kedudukan para pejabat di negaranya. Pria yang sudah lelah dengan propaganda pemerintahan yang terjadi di tanah airnya.

Ranvi meraih sobekan kain itu untuk melihat lebih dekat bordiran nomor yang terletak di sana. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan seraya memejamkan mata.

Ini benar milik Hasan, katanya dalam hati.

Pikiran seorang komandan itu jadi bertanya-tanya. Hal apa yang menyebabkan salah satu anggotanya ini gugur dalam keadaan yang terpotong-potong dan hancur. Namun, sudah dipastikan mayat-mayat ini pasti para anggotanya yang sedang bermarkas di sini. Mengenai bagaimana mereka bisa seperti itu Ranvi pun belum bisa menduganya.

"Kita jadi beristirahat di sini," ujar Ranvi kepada pasukannya. "Sekarang bantu aku bereskan mayat-mayat ini, kita harus kuburkan mereka segera."

"Pak Ranvi tahu siapa mayat-mayat ini?" tanya Abid penasaran dengan suaranya yang terdengar sengau. Dia menutup hidung menahan bau busuk yang menusuk-nusuk rongga hidungnya.

"Jangan banyak tanya, Abid. Cepat kerjakan saja!"

"Siap, Pak!" ucapnya sembari memberi hormat. Membuat rekan-rekannya mengulum senyum.

Pasukan Ranvi dengan cepat membereskan itu semua karena sudah lelah ingin segera beristirahat. Perjalanan mereka menuju wilayah barat juga masih jauh. Mereka butuh banyak tenaga karena perjalanannya tidak seaman jalan yang dilalui Malik dan Zoya.

Di tempat yang berbeda, dua insan sedang berselisih. Mempermasalahkan kaki Malik yang tidak sengaja menendang kaki Zoya saat pria itu sedang meregangkan otot-ototnya. Gadis itu terus menerus membahas betapa sakitnya tendangan itu. Dia juga ingin sekali memeriksa kakinya, pasti sekarang sudah ada lebam di sana.

"Akan aku laporkan kau nanti pada Paman Chen," putus Zoya sama sekali tidak mau menatap Malik.

"Silakan, aku tidak peduli. Sudah aku bilang aku tidak sengaja tadi," jawab Malik datar semakin menyulut rasa kesal Zoya.

"Dasar pria berjanggut yang menyebalkan," ledek Zoya kepada Malik.

Pria itu melotot dan berbalik mengancam Zoya. "Kau akan aku laporkan pada Bibi Dara karena berani memanggilku seperti itu."

Wajah Zoya semakin merengut. "Jahat sekali kau. Kau tahu sendiri nanti Bibi Dara akan mengomeliku kalau tahu aku memanggilmu seperti itu."

"Bukankah kau juga mau melaporkanku pada Pak Ranvi? Jadi kau tidak perlu protes. Kita sama-sama jahat berarti." Malik menatap tajam Zoya yang melihatnya marah.

"Itu berbeda, kau memiliki kesalahan untuk itu aku laporkan, sedangkan aku—"

"Kau juga salah karena memanggilku dengan tidak sopan," sela Malik, "kenapa sekarang kau jadi menyebalkan seperti ini, Zoya? Sepertinya melihatmu diam seperti tadi itu lebih baik," tambahnya.

Zoya mencebikkan bibirnya. "Jadi menurutmu melihatku sedih seperti tadi lebih baik, Pak Malik?"

Malik menghela napas berat. "Bukan seperti itu maksudku, Zoya."

"Apa? Terus apa?"

"Maksudku—"

Ucapan Malik terhenti tatkala salah satu penumpang menghampiri mereka dan menyiramkan segelas air ke arah wajah Zoya dan juga Malik. Mereka berdua tentu saja tersentak dan spontan mengalihkan pandangan ke arah seorang wanita tua yang baru saja melakukan hal tidak terduga kepada mereka.

"Tidak bisakah kalian diam?" Terlihat raut wajah wanita tua itu garang dengan tangan yang bertolak pinggang. "Dari tadi aku dengar kalian berdua berisik sekali. Apakah tidak lihat di luar sudah larut malam? Kita semua yang berada di sini ingin beristirahat jadi terganggu. Kalian tahu bukan ini transportasi umum? Kalau mau puas mengobrol dan buat kebisingan pergi saja sana! Cari gerbong yang kosong," cerocosnya marah.

Zoya dan Malik terdiam menatap wanita tua itu melongo. Sampai kemudian Malik tersadar dan mencoba tersenyum ke arahnya.

"Iya, maafkan kami, Bu. Kami tidak akan membuat keributan lagi," kata Malik lembut sedikit meredam emosi wanita tua itu.

Wanita tua di hadapan mereka kini memicingkan matanya melihat Zoya dan Malik secara bergantian. "Kalian berdua ini pasangan suami istri?"

"Bukan," ujar Zoya dan Malik secara bersamaan seraya menggelengkan kepala dengan cepat.

"Kalau begitu kalian berdua kakak beradik?" tanyanya lagi mendapat gelengan lemah dari dua anak muda di hadapannya.

Wanita tua itu kini kembali memasang wajah garangnya. "Kalian pasti mau berbuat macam-macam, kan? Dua anak muda yang tidak memiliki ikatan dan sedang berduaan biasanya akan melakukan hal yang tidak-tidak."

"Tidak ... bukan seperti yang ibu pikirkan. Dia hanya mengantarku untuk pulang ke rumah," jelasnya menunjuk Malik yang kini mengangguk mengiyakan pernyataan dari Zoya.

Wanita itu mengernyit tidak percaya. "Kalian pasti berbohong." Dia berdecak. "Orang tua mana yang akan mengizinkan anak gadisnya berpergian jauh dan ditemani seorang pria yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Kalau pun memang begitu, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi di wilayah ini kecuali di ibu kota. Kau berasal dari sana? Kalau iya, kalian benar-benar menjijikkan, orang kota memang seperti itu," beonya.

Zoya tidak menjawab dan justru menatap ibu itu sedikit kesal seraya berkata dalam hati, Ibu ini kenapa cerewet sekali? Aku jadi kesal mendengarnya.

"Heh, Wanita Tua! Cepat kembali ke kursimu, suaramu itu lebih berisik dari kedua anak muda itu. Kau sudah cukup menceramahi mereka, kembalilah ke kursimu. Kami ingin istirahat," tegur salah satu penumpang yang terganggu dengan kicauan wanita tua itu.

"Benar kata dia, biarkan saja kedua anak muda itu," ujar salah satu penumpang lain yang tadi ikut menonton wanita itu mengomel pada Zoya dan Malik.

"Iya-iya, kalian diam saja," ucapnya sinis. "Aku juga tidak mau lama-lama bersama mereka. Anak muda yang hidupnya tidak bisa diatur." Wanita tua itu mendelik ke arah Zoya sebelum pergi dari hadapannya.

Malik mengembuskan napas kasar dan segera mengelap wajahnya yang basah dengan sapu tangan, sedangkan Zoya justru membekap mulutnya menahan diri untuk tidak tertawa.


Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang