Dinginnya malam mulai menjalar ke setiap ruang di dalam kereta, membuai para penumpang untuk segera menjemput bunga tidurnya masing-masing. Semilir angin juga perlahan berembus membelai wajah seorang gadis dengan mata sembabnya yang sedang menikmati hujan, meskipun rintiknya kini perlahan hilang di gelapnya malam. Dia termenung, masih setia dengan rasa sedihnya. Berharap perjalanannya sekarang ini hanyalah sebuah mimpi.
Zoya berhenti melihat ke arah luar jendela dan mengalihkan pandangannya ke depan. Aroma jahe langsung menyeruak masuk ke rongga hidungnya saat segelas teh hangat disodorkan tepat di hadapannya. Zoya tidak langsung menerima teh jahe itu, dia mendongak melihat orang yang tangannya masih terulur menyerahkan teh itu kepada Zoya. Pria itu menatapnya hangat dan mengisyaratkan Zoya untuk segera meminum teh yang dibawanya.
Zoya menggeleng. "Aku tidak mau," katanya.
"Zoya," ucap Malik lembut, "udaranya sangat dingin sekarang, kau pasti memerlukan teh ini."
Gadis itu bergeming dan kembali melihat ke luar jendela. Hujan benar-benar sudah reda dan hanya menyisakan sejuknya saja sekarang. Zoya juga mengabaikan gorengan yang disuguhkan Malik. Dia sedang tidak berselera, padahal sedari tadi perutnya sudah berisik meminta jatah makan. Malik juga tidak bisa memaksa, dia paham kesedihan yang sedang gadis itu rasakan. Saat ini dia hanya bisa duduk tenang di depan gadis itu sembari menikmati teh miliknya.
Malik sesekali melirik ke arah Zoya. Dia merasakan aura yang berbeda dari gadis itu. Tidak ada lagi semangat, keceriaan, kenakalan, saat pria itu memandang wajah Zoya yang terlihat lelah. Gadis itu pun kini perlahan memejamkan matanya. Dia sudah tidak tahan dengan rasa kantuk yang kini menguasainya. Malik menghela napas pelan, tangannya terulur untuk menutup sempurna tirai jendela agar Zoya yang tengah tertidur tidak kedinginan.
Suasana semakin terasa sepi sekarang, hanya terdengar suara kereta api yang sedang berjalan dan juga makhluk malam. Malik menguap beberapa kali dan berusaha menahan matanya untuk tidak terpejam. Dia harus mengabaikan rasa kantuk demi menepati janjinya kepada Ranvi. Menjaga Zoya adalah tugasnya sekarang. Biarlah dia tidak tidur semalaman ini, asalkan Zoya tetap dalam pengawasannya dan aman. Namun, semakin lama dia menjadi bosan hanya duduk diam tidak melakukan apa-apa.
Pria itu membuka ransel hitam miliknya. Mengeluarkan buku yang tiap lembar kertasnya berisi sketsa buatannya. Tidak lupa pensil yang sudah seukuran jari kelingkingnya juga dia keluarkan dari sana. Dia akan melakukan sesuatu dengan hal itu untuk mengisi rasa bosannya. Mata Malik mulai menjelajah ke setiap sudut yang dapat dijangkau penglihatannya untuk mencari objek gambar. Sampai kemudian dia terpaku pada satu objek yang posisinya cukup dekat Malik.
Ujung pensil yang runcing itu mulai digoreskan Malik di atas kertas buku sketsanya. Sebuah garis diagonal beserta lingkaran Malik buat sebagai awalnya. Coretan-coretan garis berikutnya mulai membentuk objek yang sedang Malik perhatikan lekat. Tangannya dengan lihai menggoreskan pensil itu sampai objek yang digambar perlahan tampak jelas dan sesuai dengan acuan yang dia lihat.
Pria itu memandang sedikit lebih lama saat akan menggambar bagian yang baginya itu sangat indah ketika terbuka. Sepasang mata pemilik warna coklat dan bulu mata lentik yang lebih sering melihatnya dengan sinis. Kedua mata itu tampak indah meskipun sekarang sedang terpejam. Malik juga sedikit kesulitan untuk menggambar bibirnya yang berwarna merah muda dan cerah. Pasalnya baru kali ini dia menggambar bibir seorang perempuan, karena biasanya dia selalu mengubah sketsa bibir agar tertutup sesuatu, seperti bunga ataupun sengaja pakai penutup wajah.
Sedikit lagi gambarnya rampung, Malik sangat senang melihat karya buatannya ini sama indahnya seperti orang yang dia buat jadi objek gambarnya. Mata yang indah, hidung yang tidak terlalu kecil ataupun terlalu mancung, sedang-sedang saja, juga bibir yang bisa dibilang sangat sempurna berada di wajah itu. Pria itu juga tidak sadar senyumnya tidak luntur sejak awal dia menggambar.
"Cantik," celetuk Malik saat gambarnya sudah selesai.
Bertepatan dengan itu, Zoya beringsut dari tidurnya. Gadis itu juga perlahan mengerjapkan matanya. Malik yang tahu itu sedikit gelagapan dan dengan cepat memasukkan kembali peralatan gambarnya.
Zoya mengerang pelan dengan masih memejamkan matanya. "Aku lapar," ujarnya membuat kedua sudut bibir Malik terangkat.
Setelah beberapa detik berlalu mata Zoya terbuka sempurna, dia melihat Malik yang sedang tersenyum aneh memandang ke arahnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Gadis itu mengernyit heran melihat Malik juga begitu erat memegang ransel di pangkuannya. Namun, kemudian dia tidak terlalu peduli dan lebih memilih menanyakan hal yang lebih penting kepada Malik.
"Kau masih punya makanan, Pak Malik?" tanyanya.
Malik semakin melebarkan senyumnya. Suasana hati gadis itu pasti sudah sedikit membaik. Saat ini dia tidak mendengar suara yang sedih seperti sebelumnya dari gadis itu, tetapi suara Zoya seperti biasanya yang terkadang menyebalkan.
Malik mengangguk. "Iya, kau makan ini." Pria itu segera menyerahkan gorengan yang sempat dia beli sebelum naik kereta.
Zoya mengambilnya dan tanpa berlama-lama langsung memakan dengan lahap gorengannya.
"Pelan-pelan, Zoya." Malik mengingatkan Zoya untuk hati-hati karena gadis itu selalu saja terburu-terburu ketika makan.
Disela-sela memakan gorengannya Zoya menatap Malik dan bertanya, "Teh jaheku mana?"
Seketika itu Malik menepuk jidatnya pelan. Terlalu fokus dan menikmati momen ketika dia menggambar, dia dengan tidak sadar telah meminum teh milik gadis itu.
"Kau benar-benar menginginkan teh itu?" tanya Malik terlebih dahulu merasa bersalah.
Zoya mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum. "Iya. Mana tehnya, Pak Malik?"
Malik menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Eee .... " Malik bingung harus menjawab dengan apa. Ranvi bilang kalau soal makanan dan minuman Zoya pasti akan merajuk.
"Apa, Pak Malik? Kenapa?" Gadis di hadapan Malik ini melihatnya dengan penuh selidik.
"Maaf ...." Malik memperlihatkan dua gelas yang isinya sudah tandas. "Aku menghabiskannya."
Ekspresi wajah gadis itu berubah datar. "Aku bilang tidak mau, Pak Malik. Bukan tidak akan meminumnya. Kau ini bagaimana?" ucap Zoya sedikit kesal.
"Iya, aku tahu, maafkan aku." Malik pura-pura memelas, dia sedang tidak ingin ribut sekarang.
Zoya menghela napas. "Ya, sudah, tidak masalah. Tetapi kau harus menggantinya nanti, Pak Malik. Teh itu punyaku," ujarnya dengan kembali memakan gorengannya.
Hal itu membuat Malik menatap gadis itu meremehkan. "Aku membelinya dengan uangku, kenapa dia meminta ganti rugi? Dia sendiri yang tadi bilang tidak mau," gumamnya terdengar samar di telinga Zoya.
Gadis itu mengernyit. "Apa? Kau bilang apa, Pak?
"Tidak, tidak ada," bohong Malik.
Zoya mengangguk-anggukan kepalanya senang, dia menikmati lagi gorengannya dengan sepenuh hati. Setelah tertidur tadi dia juga merasa jadi lebih baik.
"Zoya," panggil Malik pelan saat melihat gadis itu sampai tertunduk memakan makanannya. "Kau sekarang baik-baik saja, kan?"
Pria itu merasa lega saat zoya tersenyum ke arahnya sebagai tanda bahwa dia memang sudah membaik. Setelah berpikir cukup lama sejak tadi, Zoya jadi paham. Hal yang sekarang terjadi mungkin memang takdirnya. Dia tidak perlu sedih berpisah dengan Ranvi ataupun Dara sekarang, karena nanti bisa saja Zoya meminta bantuan kakaknya untuk menemui paman dan bibinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Mayor
ActionRanvi, seorang mantan Mayor Jenderal, membentuk sebuah organisasi rahasia untuk membantu negara-negara yang terkena konflik. Organisasinya bertujuan menghancurkan para pemimpin licik dan kejam, yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa mempedulikan r...