Ranvi dan Malik memandang sinis ke arah Abid saat pria itu berteriak dan melompat kegirangan. Abid merasa sangat senang komandannya itu mengurungkan niat untuk menghukum dia dan Malik. Lama diperhatikan Ranvi dan Malik, Abid jadi tersenyum canggung. Dia jadi malu sendiri bertingkah seperti itu di hadapan komandannya.
"Aku bisa saja tetap memberikan kalian hukuman, kalau saja Zoya tidak terus membujukku," ujar Ranvi menjelaskan alasannya tidak jadi menghukum mereka. "Selain teledor dalam menjaga Zoya, kalian juga sebenarnya harus dihukum karena tidak membantu orang-orang yang ada di sana," tambahnya.
"Kami khawatir dengan keadaan Zoya, Pak, jadi tidak sempat membantu mereka," dalih Abid kemudian melirik Malik. "Malik juga lupa membawa ponselnya. Kami jadi tidak bisa menghubungi anggota yang lain untuk meminta bantuan. Jadi jangan hukum kami untuk itu, ya, Pak?" ujarnya cengengesan.
Malik yang berada di sampingnya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan Abid. Rekannya ini memang takut sekali kalau mendapat hukuman. Terakhir kali pria itu dihukum sekitar dua bulan yang lalu. Di saat Abid tidak mendengarkan instruksi dari kaptennya yang ketika itu adalah Malik sehingga dia dihukum selama sebulan untuk terus menjaga markas tiap malam sendirian.
Ranvi sendiri sudah biasa dengan kelakuan Abid yang sedikit berani kepadanya. Abid ini hampir mirip sebelas dua belas seperti Zoya, bedanya hanya di gender saja. Namun, Ranvi tidak terlalu mempersalahkannya karena Abid merupakan anggota yang memegang peran besar di organisasi Pawn setelah Malik tentunya.
Ranvi menatap Abid. "Kau tidak akan dihukum, sekarang pergi saja dari sini. Aku ingin bicara hal yang penting dengan Malik," titah Ranvi seraya mendudukkan dirinya di gelaran tikar.
"Siap, Pak." Abid tersenyum lebar dan memberi hormat kepada Ranvi. "Sepertinya kau akan dapat masalah besar, Malik," bisik Abid kepada Malik sebelum meninggalkan ruangan. Pria itu menduga hanya rekannya saja yang akan mendapat hukuman.
"Kau, kemari!" Ranvi menyuruh Malik untuk segera duduk di hadapannya.
Malik menuruti apa yang diperintahkan oleh Ranvi dan kemudian bertanya, "Hal penting apa yang ingin Pak Ranvi bicarakan? Apakah ada sesuatu yang tidak beres?"
Ranvi melihat ke arah pintu memastikan Abid benar-benar sudah pergi dari sana. "Kau tahu bukan kemarin malam markasku diserang?"
Malik mengangguk. "Iya, Pak."
"Dalang dari semua konflik yang terjadi di negara ini sepertinya sudah tahu keberadaan organisasi kita." Ranvi menarik napas dalam. "Organisasi kita juga sedang diincar sekarang."
Ranvi mengusap wajahnya kasar. "Ada pengkhianat yang membocorkan lokasi-lokasi markas pasukan kita. Dua hari yang lalu, pasukan yang bermarkas di bagian selatan juga diserang. Aku baru tahu informasinya tadi siang dari salah satu anggota yang selamat," ujarnya.
"Bapak, mencurigai seseorang?" tanya Malik mengira arah pembahasan Ranvi ke sana.
"Tidak, aku belum tahu siapa lagi pengkhianat yang ada di organisasi kita, yang jelas ...." Ranvi menjeda kalimatnya. "Jangan sampai Zoya tahu semua ini! Apalagi keadaan markasku yang baru saja diserang."
Malik mengernyit. "Kenapa, Pak?"
"Kalau Zoya tahu, dia pasti tidak mau pulang ke negaranya," jelas Ranvi sambil mengeluarkan foto Zoya yang berada dalam saku bajunya dan kemudian menatapnya lekat. "Dia memang takut saat membunuh seseorang, tetapi gadis nakal kesayanganku ini pasti tidak mau meninggalkan kita dalam keadaan seperti ini. Dia pasti ingin membantu kita semua di sini," sambungnya.
Ranvi mendekap foto itu di dadanya. "Aku tidak meragukan kemampuannya. Dia gadis yang cerdas dan hebat. Zoya bisa saja masuk ke barisan tentara wanita organisasi ini. Tetapi aku tidak mau terus-menerus membuatnya menderita bersama kita, sementara itu keluarganya sedang menunggu kehadiran Zoya," ungkap Ranvi dengan senyum tipis di bibirnya. "Aku juga benar-benar menyayangi gadis ini. Aku tidak mau melihatnya terluka."
Malik merasa terharu dengan apa yang diucapkan oleh komandannya ini. Pemimpin yang dulu dikenalnya sangat tegas dan garang, ternyata bisa selembut ini jika mengenai istrinya dan juga Zoya.
Ranvi memegang bahu kiri Malik. "Untuk itu, apa pun yang terjadi ...." Dia menatap penuh harap kepada Malik. "Aku ingin kau menjaga Zoya mulai detik ini, sampai dia pulang kembali dengan aman ke negaranya. Aku percaya padamu dan kemampuanmu, Malik," sambungnya.
"Tetapi, Pak—"
"Tidak perlu dipikirkan mengenai tugasmu," sela Ranvi tahu apa yang dipikirkan Malik. "Tugasmu akan aku serahkan kepada yang lain. Sekarang tugasmu hanyalah menjaga Zoya. Itu perintahku," tegas Ranvi.
Malik mengangguk menyetujuinya. "Baiklah, Pak. Kalau begitu saya akan menjaganya sesuai dengan perintah Pak Ranvi. Zoya akan saya jaga dengan seluruh kemampuan saya, Pak," janji Malik pada komandannya itu.
"Bagus." Ranvi menepuk-nepuk bahu Malik sesaat. "Aku percaya padamu," lanjutnya.
"Kalau boleh saya tahu. Kenapa Pak Ranvi menyerahkan tugas ini kepada saya? Bukankah Pak Ranvi sendiri bisa menjaga Zoya?" tanya Malik penasaran.
"Konflik di negara ini sedang memanas, Malik. Banyak terjadi serangan-serangan yang tidak terduga. Ditambah adanya beberapa pengkhianat di organisasi kita. Aku harus memimpin kalian, bukan? Bagaimana bisa aku menjaga Zoya? Orang-orang yang sedang memburu Zoya pun sedang gencar mencarinya sekarang," jawabnya membuat Malik mengangguk paham.
"Baiklah, Pak, saya mengerti."
"Ingat! Tugasmu hanya menjaga Zoya, Malik. Untuk urusan misi kita ke sini, biar aku dan anggota yang lainnya saja. Kau fokus saja menjaga Zoya," ujar Ranvi menegaskan.
Di saat Ranvi dan Malik sedang membicarakan hal itu. Zoya sendiri sedang berada di dalam gubuknya bersama Dara. Di sana Dara sedang mengobati luka-luka yang dimiliki Zoya. Luka yang belum sempat gadis itu obati karena posisinya tidak terjangkau oleh tangannya. Sembari menahan air matanya agar tidak menetes, dengan lembut Dara mengobati luka di punggung Zoya.
"Bibi," panggil Zoya seraya memasukkan satu potong buah mangga ke mulutnya.
"Iya, kenapa, Zoya?"
"Bukankah Malik yang akan mengantarku ke markas. Kenapa kalian yang justru datang ke sini?" tanyanya.
Dara tertegun sejenak tidak tahu harus menjawab apa, Ranvi menyuruhnya untuk tidak memberitahukan apa yang terjadi di markas kepada Zoya. "Pamanmu bilang ingin menjemputmu sendiri. Dia sudah tidak sabar memastikan keadaanmu ... dan benar saja, kau terluka seperti ini," alibinya.
"Ini hanya luka kecil, Bibi."
"Luka kecil?" Dara menyeka sudut matanya saat air mata mulai keluar dari sana, dia tidak tahan melihat Zoya terluka seperti ini. "Bagaimana bisa kau bilang ini luka kecil? Lihat tubuhmu, penuh sekali dengan luka dan juga lebam. Bibi tidak tega melihatmu seperti ini."
Zoya membalikkan tubuhnya menatap Dara yang kini sedang tertunduk menahan isakan. "Bibi ...." Dia menatap haru Dara. "Aku baik-baik saja. Bibi tidak perlu khawatir."
Dara mendongak, tangannya terulur mengelus luka yang mulai mengering di pipi Zoya. "Kenapa mereka tega sekali menyakitimu, Zoya? Siapa mereka sebenarnya?"
Zoya menggeleng lemah. "Aku juga tidak tahu, Bibi," ujarnya mencoba mengingat-ingat siapa itu Aditya. Namun, berulang kali dia mencoba, yang Zoya dapatkan hanya rasa sakit saja di kepalanya. Dia benar-benar tidak ingat. "Sepertinya potongan ingatanku mengenai pria itu benar-benar hilang, Bi, akibat kecelakaan yang aku alami," lanjutnya.
Dara tersentak, tidak tahu Zoya pernah mengalami kecelakaan sebelumnya. "Kecelakaan? Kapan, Zoya? Apakah saat terjadi longsor dan kami menemukanmu?"
![](https://img.wattpad.com/cover/341931871-288-k869729.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Mayor
ActionRanvi, seorang mantan Mayor Jenderal, membentuk sebuah organisasi rahasia untuk membantu negara-negara yang terkena konflik. Organisasinya bertujuan menghancurkan para pemimpin licik dan kejam, yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa mempedulikan r...