Bagian 20

23 9 0
                                    

Malik menunduk tidak berani menatap komandannya itu. "Maafkan saya, Pak. Maafkan saya tidak bisa menjaga Zoya dengan baik," tuturnya merasa kecewa kepada dirinya sendiri.

"Kau benar-benar membuatku kecewa, Malik." Ranvi menghela napas kasar. "Aku pikir Zoya akan aman jika bersamamu. Namun, nyatanya tidak. Kau sama saja seperti yang lain saat aku perintahkan untuk menjaga Zoya. Kalian semua teledor dalam menjaganya," tegas Ranvi dengan penuh kekesalan.

"Saya mengakui kesalahan saya, Pak, karena tidak mampu menjaga Zoya." Malik mendongak memandang Ranvi. "Tetapi izinkan saya untuk mencarinya sekarang. Saya berjanji akan menemukan Zoya," ucapnya yakin.

Ranvi memejamkan mata sejenak seraya menetralkan amarahnya. "Tidak perlu. Kau temui aku saja nanti sore, ada hukuman yang menantimu," ujar Ranvi setelah itu meninggalkan Malik yang mematung.

Setelah kepergian Ranvi dari gubuknya Malik, Abid datang dengan tergesa-gesa. Dia ingin menanyakan apa saja yang tadi dikatakan oleh komandan mereka dan bagaimana reaksi Ranvi saat tahu gadis itu hilang. Dilihat dari raut wajah Ranvi saat berpapasan dengannya, Abid menduga kalau Ranvi sudah mengetahuinya.

Abid menepuk bahu Malik yang hanya berdiam diri. "Bagaimana tadi? Kau sudah memberitahu Pak Ranvi?" tanyanya yang dihadiahi wajah lesu Malik.

"Ternyata Pak Ranvi sudah tahu sebelum aku mengatakannya."

"Benarkah?" Abid sontak membulatkan kedua matanya tidak percaya. "Bukankah hanya kita berdua yang tahu? Bagaimana bisa?"

Malik mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu." Dia kini berjalan menuju pintu untuk keluar dari sana. "Yang jelas kau harus ikut aku nanti sore menemui Pak Ranvi," tambahnya.

"Untuk apa? Menjelaskan segalanya kepada Pak Ranvi kenapa Zoya bisa hilang?"

"Bukan." Malik menatap Datar raut wajah Abid yang penuh tanda tanya. "Kita akan menjalankan hukuman yang nanti diberikan Pak Ranvi. Bersiaplah!" sambungnya.

Abid menarik napas panjang. Dia tahu dirinya pasti akan terkena hukuman. Namun, bukankah hilangnya Zoya itu sebuah ketidaksengajaan? Dia sedikit tidak rela kalau memang harus mendapat hukuman. Abid jadi menyimpan rasa kesal di hatinya kepada Zoya.

Malik keluar dari gubuk, dia terkejut melihat orang yang kini berada di hadapannya. "Zoya? Kau ...." Pria itu tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dia terfokus pada perban yang ada di tangan Zoya, juga luka di dahi gadis itu.

Zoya menarik kedua sudut bibirnya. "Aku baik-baik saja. Maaf membuat kalian berdua khawatir."

Ada rasa lega di hati Malik. Dia awalnya akan diam-diam meninggalkan markas untuk pergi mencari Zoya sebelum menemui Ranvi sore nanti. Namun, ternyata Zoya sudah ada di hadapannya. Dia jadi tenang sekarang, rasa bersalahnya turut berkurang.

Malik mengalihkan pandangannya karena tidak sengaja terus melihat Zoya yang sedang tersenyum kepadanya. "Maaf," ucapnya.

"Tidak, Pak Malik, itu bukan kesalahan kalian. Keadaan di sana terlalu kacau, orang-orang saling mendorong sehingga aku ikut terjatuh dan berpisah dari Kak Abid," ujar Zoya membuat Malik mengernyit.

"Kak Abid? Aku tidak salah dengar?" Raut wajah Malik berubah masam. "Kau bisa memanggil Abid dengan sebutan kakak, kenapa padaku tidak?" katanya kesal.

Zoya menatap heran Malik. "Kenapa kau marah? Kau merasa sangat muda, Pak Malik? Lihat wajahmu!" Zoya menunjuk wajah Malik dengan tangannya yang diperban. "Kau terlihat galak dan tua," celetuknya.

"Apa aku setua itu di matamu? Hm?" tanya Malik sambil berkacak pinggang, dia tidak terima disebut tua.

"Iya," jawab Zoya tersenyum meledek. "Paman Chen saja terlihat lebih muda darimu."

Malik mendengkus menatap tidak suka kepada Zoya. "Kau memang gadis menyebalkan, Zoya. Lebih baik kau hilang saja tadi, tidak perlu ada di markas ini lagi," cakapnya sembarangan.

Zoya menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Itu hanya sebuah panggilan. Kenapa kau mempersalahkannya? Aneh sekali. Kau malah membuatku kesal saja."

"Ambil ini!" ketus Zoya menyerahkan sepiring makanan yang sedari tadi berada di tangannya. "Aku benar-benar menyesal datang ke sini. Dengan berbaik hati aku bermaksud memberimu makanan, tetapi kau malah membuatku kesal."

Malik melirik makanan yang tampak menggiurkan dengan lauk pauk yang banyak macamnya. Membuat perutnya yang kemarin malam hanya terisi roti saja meraung-raung menginginkannya.

"Cepat ambil!" kesal Zoya menyerahkan piring itu. "Aku harus pergi dari sini, bukan? Kau tidak suka aku berada di sini," ucapnya geram.

Malik memaki dirinya sendiri dalam hati. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu pada Zoya. Kenapa juga dia merasa tersinggung Zoya memanggilnya seperti itu. Kini Malik menyesali perkataannya. Seharusnya dia membicarakan sesuatu yang lebih penting kepada Zoya, seperti bagaimana bisa Zoya sudah berada di markas ataupun keadaan gadis itu.

"Ya, ampun, kau ini. Cepat ambil piringnya! Tanganku pegal," seru Zoya melihat pria itu diam saja.

Malik mengambil sepiring makanan itu dari Zoya. "Terima kasih," ucapnya datar.

Gadis itu tidak membalas ucapan Malik dan segera pergi meninggalkannya. Bisa-bisanya mereka malah bertengkar untuk hal yang sepele. Abid yang sedari tadi mendengarkan mereka di balik pintu hanya bisa geleng-geleng kepala dan segera keluar menemui Malik.

"Pak Malik," goda Abid sembari mencomot makanan yang berada di tangan Malik. Tentu saja hal itu membuat Malik semakin kesal. "Yang dikatakan Zoya itu benar," ucapnya kemudian.

Malik menatap nyalang rekannya itu. "Maksudmu apa?"

"Seperti yang dikatakan Zoya, kau terlihat tua dan galak." Abid mengulum senyum. "Lihat kumis dan janggutmu itu! Pantas saja Zoya memanggilmu bapak." Dia tergelak tidak bisa menahan tawa saat melihat raut wajah Malik yang merasa jengkel kepadanya.

"Kau juga sama sepertiku, berjanggut dan berkumis. Tetapi tetap saja dia memanggilmu kakak," protes Malik.

"Lihat wajah tampanku, Malik!" ujar Abid menyombongkan diri. "Meskipun berewokan seperti ini aku tetap terlihat muda dan tampan. Potongan kumis dan janggutku sangat rapi, tidak heran Zoya memandangku masih muda," katanya berbohong, padahal dia sendiri yang meminta gadis itu untuk memanggilnya kakak.

Malik mendelik, kenyataannya dia lebih rupawan ketimbang Abid. Beda lagi kalau disandingkan dengan Aditya, baru tampang Malik akan terkalahkan oleh pria jahat itu. Namun, itu bukan masalah bagi Malik. Keterampilannya di bidang militer lebih ingin dia tunjukan kepada orang-orang daripada rupanya.

"Terserah kau saja, Abid." Malik beranjak pergi meninggalkan Abid.

Dia akan pergi ke dapur untuk memakan makanannya. Malik berharap tempat itu sepi seperti biasanya karena di sanalah dia bisa menenangkan diri. Dari kejauhan dapur terlihat sepi, tetapi setelah Malik tiba di sana, sudah ada Zoya yang sedang membantu Dara mengupas buah. Dia sudah terlanjur berada di dapur sehingga Malik mengambil posisi duduk tidak jauh dari samping Zoya. Gadis itu sadar akan kehadiran Malik, tetapi dia sama sekali tidak mau melihatnya. Dia mengedarkan pandangannya ke arah lain supaya tidak bertatapan dengan pria yang sudah membuatnya kesal itu.

Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang