Bagian 34

14 5 0
                                    

Entah apa yang dipikirkan gadis di hadapannya ini, tatapannya begitu sulit untuk Malik mengerti. Ada rasa marah, gelisah, sedih, takut, dan sedikit semangat terpancar dari sorot matanya yang indah. Gadis itu sepertinya sudah benar-benar muak untuk apa yang terjadi selama ini, dia ingin segera mengakhiri segalanya. Namun, tetap saja, keputusan Zoya untuk membantu Pak Zubair tidak akan Malik biarkan. Keselamatan gadis itu kini tanggung jawabnya, dia tidak mungkin membiarkan Zoya ikut campur dalam hal yang berbahaya, meskipun dia sendiri belum tahu masalah genting apa yang Pak Zubair maksud.

"Tidak, kau akan tetap pulang, Zoya," putus Malik dengan tegas.

Sontak gadis itu mendelik ke arah Malik seraya menghela napas kasar. "Aku akan pulang kalau Paman Chen sendiri yang mengantarku," ujar Zoya kemudian beralih menatap Pak Zubair yang berada di sebelahnya. "Apa yang bisa aku bantu, Pak Zubair? Masalah apa yang sedang terjadi saat ini?"

"Zoya!" seru Malik, dia tidak membiarkan Pak Zubair menjawab pertanyaan dari gadis itu. "Kenapa kau ini keras kepala sekali? Sudah aku katakan berulang kali, kau harus pulang, Zoya. Di sini bukan tempatmu. Jangan ikut campur lagi permasalahan yang ada di negara ini, sudah cukup!" Napas Malik sedikit memburu saat mengatakannya. Dia ingin gadis di hadapannya ini mengerti.

"Aku tidak akan pernah pulang sebelum bertemu dengan Paman Chen. Itu sudah keputusanku," tegas Zoya, "kalau kau tidak menerimanya, ya, sudah. Kau saja yang pergi dari sini, tidak masalah jika kau tidak mau membantu Pak Zubair. Ada aku di sini yang akan membantunya."

Malik menatap kesal ke arah gadis itu. "Kau benar-benar tidak ingin pulang, Zoya?" tanyanya penuh penekanan.

Gadis itu mengangguk yakin untuk keputusan yang dia pilih. Tidak ada keraguan sedikit pun yang terlihat di wajahnya. "Iya, dan kau tidak berhak melarangku. Aku akan melakukan apa yang aku inginkan."

Ponsel yang awalnya berada dalam genggamannya, seketika dia lemparkan ke arah Zoya pelan. "Sekarang kau hubungi Pak Ranvi, dan katakan padanya untuk tidak lagi menugaskanku untuk menjagamu. Beritahu dia untuk memberiku tugas lain. Ayo, cepat hubungi dia!" sentak pria itu membuat Zoya dan Zubair tercengang. "Ayo, Zoya, cepat hubungi Pak Ranvi!"

Pak Zubair menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan, "Sudah, kalian berdua jangan lagi berselisih. Dan kau Zoya ...," tunjuk Pak Zubair pada gadis di sampingnya. "Lebih baik kau pulang saja, tidak masalah jika memang kalian berdua harus pergi. Aku akan cari bantuan yang lain."

Zoya menggeleng cepat. "Tidak, Pak Zubair. Aku tidak akan meninggalkan kalian. Aku akan tetap di sini, Pak Malik saja yang pergi."

Malik yang benar-benar kesal kepada Zoya bangkit dari duduknya berniat untuk pergi. Namun, bersamaan dengan itu seseorang datang dengan tergesa menuju ke arah mereka.

"Pak Zubair!" panggilnya terengah-engah dan wajah yang terlihat panik.

Pak Zubair dan Zoya segera berbalik untuk melihat siapa yang memanggil pria di samping Zoya ini. Malik juga tidak jadi melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana dan melihat pria itu heran.

"Ada apa, Imran? Apa yang terjadi?" tanya Pak Zubair pada salah satu anggota kelompoknya itu.

Pria itu hanya bergeming dan justru saling menatap dengan Zoya. Mereka juga saling menunjuk satu sama lain. Gadis dan pria itu merasa pernah bertemu sebelumnya.

"Kau ...?"

Zoya masih mengingat-ingat di mana dia bertemu dengan pria itu. Dahinya bahkan sampai mengkerut saking dalamnya dia berpikir. Namun, untungnya sesaat kemudian dia mengingat siapa pria itu.

"Kau anak petani itu, kan? Aku ingat sekarang," kata Zoya.

Pria itu adalah anak dari seorang petani yang sempat Zoya, Ranvi, dan anggotanya yang lain lihat saat akan pergi menuju ke markas. Dia putra dari seorang petani yang ban mobilnya mengalami kendala. Seseorang yang sempat Ranvi curigai karena gerak-geriknya yang mencurigakan.

Pria itu mengangguk seraya menampilkan senyum simpulnya. "Iya, aku putra dari petani itu."

Gadis itu menatap tidak percaya, ternyata orang yang dia dan Ranvi temui dulu adalah anggotanya Pak Zubair. Namun, anehnya kenapa pria itu sama sekali tidak menyapa Ranvi saat itu, padahal tidak mungkin pria itu tidak mengenal Ranvi. Anggota Pak Zubair pasti mengenal komandan organisasi Pawn itu, begitu pun sebaliknya.

"Kenapa kau tidak memberitahu kami saat itu dan justru membuat Paman Chen merasa curiga?" tanya Zoya jadi penasaran.

Imran, pria itu merubah wajahnya serius. "Akan aku beritahu nanti. Sekarang ada yang harus aku beritahukan kepada Pak Zubair."

"Ada apa sebenarnya, Imran? Cepat katakan!" tanya Pak Zubair lagi merasa gelisah. Dia ingin segera mendengar apa yang akan dilaporkan anggotanya ini.

"Wilayah ini sudah diblokade, Pak. Kita sama sekali tidak bisa keluar dari sini sekarang," ujarnya menarik atensi Malik.

"Apa? Diblokade? Jadi tidak ada jalan untuk kita bisa keluar dari wilayah ini?" Malik menjadi resah. "Itu berarti akan sangat sulit untuk pergi ke ibu kota," ucapnya disertai helaan napas yang berat.

Hal itu lagi, Zoya jadi menatap pria itu kesal. Dia sangat geram pada Malik yang hanya mementingkan diri mereka untuk segera pergi dari sini dan menuju ibu kota. Pria itu sepertinya tidak memperhatikan Pak Zubair yang terlihat bingung dan bersedih setelah mendengar laporan dari Imran.

"Jika wilayah ini diblokade, kita semua akan melarikan diri ke mana sekarang? Operasi untuk meratakan wilayah ini dengan bom akan segera mereka lakukan tidak lama lagi. Kita harus apa sekarang?" tutur Pak Zubair seperti tidak ada harapan.

"Bom?" ucap Zoya dan Malik bersamaan.

"Iya, itulah hal genting yang ingin aku bicarakan, Malik. Mereka akan meledakan wilayah ini dengan bom tidak lama lagi." Pak Zubair menarik napas dalam. "Apa kalian tahu? Pemerintah negara ini sudah berhasil digulirkan oleh tentara mereka sendiri. Kini merekalah yang berkuasa. Kita mungkin tidak perlu lagi melawan para pemimpin pemerintahan, tetapi sekarang kita harus berurusan dengan tentara-tentara yang aturannya lebih tidak masuk akal dan menindas orang-orang biasa seperti kami tanpa ampun," jelasnya.

"Pemerintah hanya memeras kita para petani dan pedagang, sedangkan tentara itu memperlakukan warga biasa dengan kejam. Mereka menembak siapa saja yang mereka anggap hanyalah hama," ujar Imran menambahkan. Dia juga jadi bersedih setelah mengingat kejadian yang amat sangat menyayat hatinya. "Bahkan ayahku juga salah satu korban mereka. Dia diserang ketika akan pergi menjual hasil panennya. Mereka membunuh ayahku dengan alasan yang tidak masuk akal. Ayah hanya ingin menjual hasil panen ke daerah yang penduduknya memang bukan minoritas seperti kita. Dia dibunuh karena dianggap berbeda dengan penduduk di sana," ungkapnya, kembali merasa menyesal karena tidak ikut mengantar ayahnya saat itu.

Malik dan Zoya sama-sama terkejut. Berita mengenai digulingkannya pemerintahan sama sekali tidak sampai pada mereka ataupun Ranvi. Mereka hanya tahu adanya seseorang yang mengadu domba kedua pihak itu sehingga terjadinya kudeta. Malik dan Zoya menggeleng tidak percaya, jadi yang sekarang harus dikalahkan adalah tentara-tentara itu beserta pemimpinnya. Dalang dari kekacauan ini terjadi.

"Kita harus segera hentikan operasi mereka. Mereka tidak boleh seenaknya menghancurkan wilayah kalian. Kita pasti bisa," ujar Zoya percaya diri.

"Bagaimana caranya, Zoya? Pasukanku sedikit, di sini juga hanya ada warga biasa saja yang ikut berlindung." Pak Zubair bingung sendiri harus berbuat apa sekarang. "Awalnya aku berencana meminta bantuan kalian dan juga Ranvi untuk hal ini. Tetapi kalian sendiri akan pergi, kan? Sedangkan keberadaan Ranvi saja tidak kita ketahui untuk dimintai bantuan."

"Kapan bom itu akan diledakkan?" tanya Malik tiba-tiba, mengundang perhatian Zoya dan Pak Zubair.

"Mereka akan melakukannya sekitar satu bulan lagi," jawab Imran.

"Masih ada waktu," ucap Malik kembali mendudukkan dirinya dan kemudian melirik Zoya. "Kau tidak akan pulang, Zoya. Kita akan di sini membantu mereka."

Apa yang dikatakan Malik membuat kedua sudut bibir Zoya terangkat. Dia tidak menyangka Malik akhirnya memutuskan sesuatu yang dia inginkan. Pria itu berubah pikiran, karena percuma saja jika memaksakan diri pergi ke ibu kota. Tidak ada jalan keluar lain selain mengalahkan pasukan tentara itu terlebih dahulu.

"Kita akan melatih warga yang ada di sini untuk siap melawan tentara-tentara itu, Pak Zubair. Kita akan serang balik orang-orang jahat itu dan menggagalkan operasi mereka," cakap Malik membuat tiga orang di hadapannya mengangguk menyetujuinya.


Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang