Bagian 12

22 11 0
                                    

Dara terus menerus memikirkan Zoya. Hatinya tetap tidak tenang, meskipun Ranvi sudah mengatakan Zoya baik-baik saja seperti apa yang pedagang buah itu katakan. Setelah menemukan alat pelacak yang seharusnya berada di dalam tas milik Zoya, Ranvi sempat bertanya kembali kepada pedagang itu mengenai Zoya. Untung saja pedagang itu mengenali ciri-ciri yang dikatakan Ranvi. Dia mengatakan bahwa pelanggannya alias Zoya terlihat baik-baik saja saat dia sedang berbelanja di tempatnya. Untuk itu, Ranvi berpikiran kalau Zoya memang dalam keadaan baik, meskipun hatinya juga merasa ada yang mengganjal.

Tidak hanya Dara, Ranvi yang berada di ruangannya juga sedang memikirkan Zoya, setelah sebelumnya ikut membantu anggotanya membereskan sisa kebakaran di dapur. Akibat ulah Dara yang lupa mematikan kompor karena sibuk memikirkan keadaan Zoya. Ranvi semakin gelisah, ini sudah malam dan seharusnya Zoya serta kedua anggotanya sudah sampai ibu kota sekarang. Akan tetapi, sampai detik ini tidak ada satu pun dari anggotanya yang menghubungi Ranvi.

"Aneh sekali, pasti ada yang tidak beres," cakap Ranvi yang semenjak tadi tidak terlepas melihat ponsel jadulnya.

Tidak lama kemudian ponselnya berdering menandakan ada satu panggilan masuk, dengan cepat Ranvi mengangkat panggilan itu setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Ke mana saja kalian tidak bisa dihubungi?!" sentak Ranvi menyela orang di seberang sana yang akan mengucapkan salam.

"Mohon maaf, Pak, saya—"

Dahi Ranvi mengkerut. "Kau ...," potong Ranvi heran. Ini bukan suara anggotanya yang dia tugaskan untuk menjaga Zoya, tetapi dia sudah sangat mengenal suara pria ini. "426?" lanjutnya memastikan.

"Iya, Pak. Saya 426," jawabnya.

"Bagaimana ponsel itu bisa ada di tanganmu?" tanya Ranvi penasaran. "Di mana mereka?" tambahnya.

"Mereka ...." Pria itu menghela napas. "Telah dilenyapkan, Pak."

Seketika perasaan Ranvi menjadi tidak karuan, ada rasa takut yang menyelimuti dirinya. "Bagaimana dengan Zoya? Dia—"

"Dia sepertinya tidak kenapa-kenapa, Pak. Hanya saja ...." Pria itu menggantung kalimatnya.

"Kenapa? Ada apa? Sekarang Zoya di mana?" tanya Ranvi yang semakin mengkhawatirkan keadaan Zoya.

"Dia berhasil ditangkap oleh orang-orang yang dulu memburunya, Pak."

Ranvi terdiam, dia merasa gagal menjaga Zoya. Dia juga menyesal, kenapa bukan dia saja yang mengantar Zoya ke ibu kota.

"Pak?" panggil pria itu saat tidak mendengar apa pun dari ponsel yang ada di tangannya.

"Kau tahu mereka membawa Zoya ke mana?" tanya Ranvi seraya pergi menuju ruang bawah tanah untuk membawa senjatanya.

"Iya, Pak, saya sedang membuntuti mobil mereka sekarang."

"Di mana lokasimu? Aku akan segera menyusul." Ranvi dengan amarahnya bersiap untuk pergi ke sana dan segera menyelamatkan Zoya.

"Tidak, Pak, lokasinya sudah sangat jauh dari markas Bapak dan titik wilayah yang harus pasukan Bapak jaga. Berikan saja tugas ini kepada saya, saya pasti akan menyelamatkan Zoya!" seru pria itu.

"Tidak, berani sekali kau mengaturku!" sergah Ranvi. "Dia putriku, aku yang harus menyelamatkannya."

"Bukan seperti itu, Pak. Pak Ranvi tahu sendiri, operasi penyerangan di wilayah sana sudah terencana akan segera terjadi. Pak Ranvi dan pasukan harus bersiap, bukan? Jangan lupakan tujuan Bapak berada di negara ini!"

Dia benar, aku punya tujuan. Aku hidup untuk itu, tetapi ... Zoya juga hidupku sekarang, batin Ranvi. Dia merasa bingung. Di satu sisi dia adalah komandan, dia tidak bisa meninggalkan anggotanya begitu saja jika tiba-tiba saja serangan di wilayah itu terjadi. Namun, di sisi yang lain, Zoya adalah gadis nakal kesayangannya, Zoya putrinya. Dia tidak sanggup jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap gadis itu.

Ranvi menghela napas kasar. "Apa aku bisa mempercayaimu?"

"Percaya pada saya, Pak. Saya berjanji akan menyelamatkan Zoya dan menjaganya. Saya akan mengembalikan gadis itu dalam keadaan baik-baik saja," ujar pria itu yakin.

"Baiklah, aku pegang janjimu. Tugasmu sekarang bawa Zoya kepadaku dalam keadaan selamat."

"Siap, Pak! Saya akan kerahkan semaksimal mungkin kemampuan saya untuk menyelamatkannya. Zoya pasti selamat."

Sambungan terputus setelah Ranvi menyuruh anggotanya itu untuk fokus mengikuti mobil yang membawa Zoya dan segera menyelamatkannya. Ranvi mempercayai pria itu, karena dia tahu benar anggotanya yang satu itu memang sudah sangat terlatih. Namun, tetap saja dia harus mengirimkan anggotanya yang lain untuk membantu, karena tidak mungkin anggotanya harus melawan sendirian orang-orang itu. Jadi, Ranvi memerintahkan beberapa anggotanya yang satu pasukan bersama 426 untuk segera menyusul dan membantunya.

Malam berlalu, Zoya masih belum sadarkan diri. Dia kini berada di balik jeruji ruang bawah tanah, terduduk dalam keadaan kaki dan tangan yang terikat. Suara hentakan sepatu terdengar perlahan mulai mendekat ke arahnya dan kemudian satu ember kecil berisikan air disiramkan tepat ke wajah Zoya. Lantas dia tersadar dan menahan rasa pusing di kepalanya.

"Cepat bangun!" sentak wanita berseragam coklat itu seraya menepuk kasar pipi Zoya.

Mata Zoya kini terbuka sepenuhnya, dia melihat wanita itu tepat berada di hadapannya dengan senyum mengejek. Zoya balas menatapnya tajam. Wanita itu tidak terima, lantas menampar wajah Zoya dua kali di sisi kanan dan kiri pipinya. Terasa perih dan menyakitkan, tetapi Zoya justru tersenyum meremehkan ke arah wanita itu. Merasa ditantang, wanita itu kembali menampar Zoya berulang kali sampai kedua pipi gadis itu benar-benar berubah merah dan sedikit bengkak. Zoya hanya terdiam, dia bahkan tidak berteriak kesakitan dan justru semakin melebarkan senyumnya.

Wanita itu merasa kesal dan segera mengambil balok kayu miliknya, yang biasa dia gunakan untuk menyakiti tahanan-tahanan tuannya itu. Baru saja wanita itu akan melayangkan pukulan balok kayu ke tubuh Zoya, wanita lainnya yang memakai seragam yang sama sepertinya, datang menghampiri mereka.

"Sebelum kau memukulnya, beri dulu dia makan," kata wanita itu sembari melempar tiga potong roti ke arah Zoya. "Tuan juga memanggilmu sekarang," tambahnya.

"Baiklah, aku akan segera ke sana, dan kau ...." Wanita itu menunjuk Zoya. "Cepat makan roti itu! Kau harus punya sedikit tenaga untuk menerima siksaanku," ujarnya membuat rekannya tertawa dan melihat Zoya sinis.

Kedua wanita itu meninggalkan Zoya yang masih setia dengan diamnya. Dia merasa lapar sekarang, tetapi tidak sudi jika harus memakan roti pemberian mereka yang sudah terjatuh pula di lantai. Mata Zoya mulai berkaca-kaca. Dia tidak takut, hanya saja Zoya bingung harus melepaskan diri dengan cara apa. Dia sudah masuk kandang orang jahat itu, akan sulit untuk keluar dari sini. Penjaga pasti tersebar di mana-mana, dia juga rindu paman dan bibinya. Zoya berusaha menahan tangisnya, dia tidak boleh menunjukan kelemahannya di hadapan orang-orang tidak berperasaan itu.

Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang