Bagian 9

22 12 0
                                    

Perbuatan yang Zoya lakukan kepada salah satu anggota Ranvi membuatnya merasa bersalah, setelah tahu kalau dia sebenarnya diselamatkan oleh mereka. Sesaat Zoya memandang perban di tangannya, dia jadi ingat Dara yang memperlakukannya dengan sangat baik. Dia tersenyum, Dara mengingatkan Zoya kepada ibunya. Rasa rindu kepada ibunya juga sedikit terobati setelah melihat Dara, gadis itu tersentuh atas perlakuan Dara terhadapnya.

Zoya tersenyum lebar saat wanita itu masuk ke dalam ruangannya. Wanita itu juga tersenyum melihat Zoya yang tampak cantik di matanya, meskipun wajah gadis itu terlihat sedikit pucat.

"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nak?" tanya Dara yang membawa semangkuk bubur di tangannya.

Gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk. "Aku merasa sangat baik sekarang," jawab Zoya.

"Alhamdulillah. Sekarang kau makan dulu, ya?"

Zoya melirik bubur itu dengan tidak berselera, kemudian beralih menatap Dara.

"Kau tidak mau makan buburnya?"

Zoya mengangguk. "Iya," jawabnya.

"Kenapa? Buburnya terlihat tidak enak, ya?"

"Tidak, bukan begitu. Aku sedang tidak selera makan ..., Bu? Mm ..., Bi?"

Dara menarik kedua sudut bibirnya. "Panggil aku bibi saja."

"Baiklah, Bibi." Zoya merebut mangkuk berisi bubur itu dan menyimpannya di atas meja kecil di sampingnya. "Aku sedang tidak mau makan, bagaimana kalau bibi menjawab pertanyaanku saja?" tanyanya bersemangat.

"Pertanyaan?" Dara menatap Zoya penasaran. "Mengenai apa?"

"Mengenai kalian," ujar Zoya mendekatkan diri kepada Dara.

Dara kebingungan. "Kami?"

Zoya mengangguk-anggukkan kepala dengan senyum yang menghiasi wajahnya. "Iya, melihat seragam bapak-bapak tua itu, juga wanita yang tidak sengaja aku sakiti tadi. Sepertinya kalian—"

"Kau tidak perlu tahu, Nak." Dara menginterupsi ucapan Zoya, tampang Dara juga berubah datar.

Seragam yang dipakai Ranvi juga anggotanya, ditambah dengan senjata yang ada pada mereka. Benar-benar mencirikan bahwa mereka berada dalam sebuah organisasi. Sama seperti yang sering Zoya lihat di film-film kesukaannya, sebuah organisasi rahasia dengan misi-misi yang akan mereka lakukan.

Zoya terdiam sesaat. "Baiklah, tidak masalah jika bibi tidak mau memberitahuku hal itu."

Dara mengubah raut wajahnya kembali setelah melihat gadis di depannya sedikit murung. Tatapannya juga kembali lembut seperti semula. "Sekarang lebih baik beritahu bibi siapa namamu, Nak?"

Senyum terbit di wajah Zoya dan dengan semangat dia menjawab namanya. "Aku Zoya, Bibi."

"Zoya?"

Zoya mengangguk.

"Nama yang cantik," ucap Dara.

Mereka lanjut berbincang mengenai alasan Zoya kenapa bisa berada di negara ini. Negara yang memiliki banyak konflik di beberapa wilayahnya. Termasuk di wilayah yang tidak jauh dari markas ini. Dalam perbincangan mereka, Dara mencoba untuk menyuapi Zoya sedikit demi sedikit bubur buatannya dan itu berhasil. Gadis itu dapat memakan buburnya hingga habis.

Dara senang bisa bertemu gadis itu, meskipun dia sekarang harus berpisah kembali dengannya. Zoya akan segera diantar ke rumah sakit sekarang. Keluarganya pasti sedang mencarinya, karena berita mengenai bencana longsor di lokasi tempat penginapan Zoya sudah tersebar ke mana-mana.

"Hati-hati mengendarai mobilnya, Amar!" titah Dara kepada keponakannya yang akan mengemudikan mobil untuk mengantar Zoya ke rumah sakit.

Amar mengiyakan dan segera naik ke mobil, disusul Zoya yang berpamitan dahulu kepada Dara.

"Terima kasih sudah merawatku, Bi. Senang bisa bertemu dengan Bibi." Zoya memeluk wanita itu, sehingga entah kenapa Dara jadi tidak ingin melepaskannya.

"Iya, senang bertemu denganmu, Zoya. Jika ada kesempatan, semoga kita bertemu kembali," ujarnya mengurai pelukan.

"Oh, iya, tolong sampaikan maafku kepada wanita tadi. Aku merasa bersalah telah melukainya, Bi."

Dara mengangguk seraya tersenyum. "Akan bibi sampaikan."

Setelah berucap salam, Zoya pun menaiki mobil dan segera menuju rumah sakit. Tidak terasa air mata Dara mengalir, gadis itu benar-benar mengingatkan dia pada putrinya yang telah tiada setahun yang lalu.

"Dara, kau menangis?" Ranvi yang akan menyusul mobil mereka untuk memantau, merasa heran melihat anggotanya itu.

Dara melihat Ranvi yang sudah siap menuju mobilnya. "Aku hanya teringat putriku setelah melihat gadis itu."

Ranvi menatap iba Dara. "Kau istirahat saja sekarang, Dara. Biarkan pekerjaanmu dilakukan oleh yang lain."

Ranvi segera menyusul mobil yang dikendarai Amar. Dia harus memantau dan menjaga mereka di belakang. Selain itu, ada beberapa hal yang harus Ranvi urus di rumah sakit, mengenai korban-korban yang mereka selamatkan. Ada sekitar dua orang yang menyadari pasukannya menyelamatkan mereka. Ranvi takut dua orang itu memberitahu pihak kepolisian dan keberadaan pasukannya diketahui.

Di dalam mobil, Zoya dan Amar sedang berbincang. Lebih tepatnya gadis itu yang terus menerus bertanya kepada Amar selama di perjalanan. Dia masih penasaran siapa mereka ini sebenarnya.

"Oh ... jadi bapak-bapak tua itu namanya Ranvi?" tanya Zoya memastikan kembali.

"Iya, dia Paman Ranvi. Dia komandan kami di sini," ujar Amar menarik atensi Zoya.

Gadis itu semakin penasaran saat mendengar Ranvi adalah seorang komandan. "Komandan?"

Amar merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu? Bibinya pasti akan marah kalau tahu dia membocorkan hal ini kepada Zoya, orang yang baru saja dikenalnya.

"Maksudmu komandan apa, Kak Amar?" Zoya menatap penuh selidik. "Cepat katakan, Kak!"

Amar hanya diam, dia tidak tahu harus menjawab apa agar Zoya tidak mengetahui siapa mereka sebenarnya.

"Kak Amar?" Zoya menarik napas kasar. "Cepat katakan kepadaku! Kalian ini sebenarnya siapa?"

"Baiklah, aku akan memberitahumu," kata Amar. Dia rasa tidak ada salahnya jika memberitahu Zoya. "Asalkan kau tidak beritahu orang lain. Bagaimana?"

"Aku janji, aku tidak akan memberitahu siapa pun. Cepat katakan!" Zoya sangat antusias ingin mengetahui jawabannya.

Baru saja Amar akan mengatakannya, tiba-tiba sebuah tembakan mengenai kaca mobil mereka. Disusul dengan tembakan-tembakan lain yang mengenai mobil mereka. Jantung Zoya berdebar setiap kali mendengar tembakan itu, entah kenapa dia menjadi takut begini. Padahal suara tembakan itu sudah begitu familier bagi pendengarannya. Dia sendiri seorang atlet menembak, seharusnya sudah biasa dengan suara tembakan.

"Pegangan, Zoya!" titah Amar.

Gadis itu mengangguk dan segera menuruti perkataan Amar dengan berpegangan ke hand grip.

Amar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk menghindari penyerangan yang tiba-tiba terjadi. Untung saja jalanan di wilayah ini memang selalu sepi, sehingga Amar bisa leluasa mengendarai mobilnya. Mobil Ranvi yang berada di belakang juga segera tancap gas menyusul mereka, sembari sesekali mengarahkan senjata apinya ke orang-orang yang melakukan penyerangan.

Hal menegangkan seperti di film-film kesukaan Zoya ini benar-benar nyata terjadi di dalam hidupnya. Dia tidak tahu harus senang atau sedih, dulu dia sering sekali berkhayal untuk melakukan adegan aksi seperti ini. Mobil yang saling mengejar dan suara tembakan di mana-mana. Namun, sepertinya tidak lagi, ini menakutkan ternyata. Zoya tidak berani dan hanya sanggup untuk berdoa saja.

Minor MayorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang