Suara tongkat dan pedang yang saling beradu, bersahutan dengan suara semangat orang-orang yang sedang berlatih. Keramaian itu mengisi suasana sore hari di markas kelompok Pak Zubair. Seperti yang sudah mereka rencanakan, warga-warga biasa itu kini mereka latih. Mulai dari ilmu bela diri, adu pedang, memanah, dan juga keterampilan menggunakan tombak. Warga-warga itu sendiri terdiri dari pemuda-pemudi serta orang tua yang masih mampu untuk melakukan hal itu.
Pak Zubair membagi tiga kelompok warga-warga itu sesuai dengan orang yang akan melatih mereka. Pertama, orang yang mendapat tanggung jawab paling besar karena selain melatih dia juga harus memimpin mereka adalah Malik. Dia melatih para pemuda ilmu bela diri juga pedang, sedangkan para pemudinya ada Zoya yang akan mengajarkan mereka cara memanah. Untuk kelompok terakhir ada Imran yang harus melatih keterampilan menggunakan tombak kepada orang tua yang jumlahnya lebih sedikit dari pemuda-pemudi itu.
Beberapa anggota kelompok Pak Zubair yang lain juga ikut membantu Malik, Zoya, dan Imran melatih para warga itu. Selebihnya Pak Zubair perintahkan mereka untuk berjaga dan mengawasi markas di beberapa titik. Warga yang tidak ikut berlatih karena sudah sangat tua ataupun seorang ibu hanya memberi semangat dan menyiapkan mereka minum.
Terlihat tidak mungkin memang mereka akan melawan para pasukan tentara yang bersenjata, sedangkan mereka hanya mempelajari hal itu dengan alat-alat yang kelompok Pak Zubair miliki dan mereka buat sendiri. Namun, mereka tidak pantang menyerah, mereka yakin dengan apa yang mereka lakukan. Malik dan Pak Zubair juga tidak kehabisan akal. Rencananya malam ini mereka akan mencoba menyelinap masuk ke markas para tentara itu, yang berada tidak jauh dari hutan ini kemudian mencuri persediaan senjatanya.
Sudah tiga jam lamanya mereka berlatih, tetapi warga-warga itu sama sekali tidak menunjukkan rasa lelah. Warga-warga itu terlalu bersemangat, sampai-sampai Pak Zubair menggeleng tidak percaya. Orang-orang yang selama ini hanya ikut berlindung di markasnya ternyata memiliki semangat juang yang tinggi untuk menyelamatkan wilayah mereka.
"Sudah cukup latihan hari ini, kita akan lanjutkan besok pagi," ujar Malik seraya beranjak dari tempatnya menuju Zoya yang berjarak sedikit jauh dari tempat latihannya.
Warga-warga itu segera menyimpan kembali senjatanya dan menghampiri warga yang tidak ikut berlatih. Senyum terbit di wajah mereka semua, tidak percaya mereka bisa melakukan hal ini. Terasa lelah memang, tetapi mereka begitu menikmatinya.
Malik menyilangkan kedua tangannya di depan dada setelah sampai di tempat Zoya. Dia lihat gadis itu dengan serius mengajarkan gadis-gadis yang lain memanah. Secara tidak sadar seulas senyuman tampak di wajahnya. Niatnya ke sana untuk menyuruh Zoya menghentikan latihannya dan segera beristirahat. Namun, dia justru memperhatikan gadis itu lekat. Dia awalnya tercengang saat tahu Zoya bisa sedikit ilmu bela diri dan memanah. Bisa Malik lihat sekarang gadis itu begitu terampil saat menarik busur dan membidikkan anak panahnya tepat pada sasaran.
"Zoya!" panggil Imran.
Malik terlonjak, pria itu berteriak tepat di sampingnya. Dia jadi menatap kesal ke arah pria itu.
"Iya, ada apa, Kak Imran?" sahut Zoya menghentikan aktivitasnya.
Imran melirik Malik sesaat seraya tersenyum. "Latihannya sudah cukup," jawabnya pada Zoya.
"Oh ... baiklah, Kak." Zoya segera menyuruh gadis-gadis yang dia latih itu untuk berisitirahat. Dia juga segera menghampiri kedua pria itu.
"Mereka semua luar biasa." Zoya menampilkan senyum manisnya saat sudah di hadapan Malik dan Imran. "Mereka begitu bersemangat dan tidak mengeluh sama sekali meskipun kita sudah berlatih cukup lama."
"Iya, jika mereka terus semangat seperti ini. Aku yakin mereka pasti akan dengan cepat menguasai keterampilan yang diajarkan, walaupun hanya dalam waktu yang singkat," ujar Imran yang disetujui oleh Zoya.
"Kau benar, Kak Imran." Senyum Zoya tidak luntur di wajahnya. "Kita pasti bisa mengalahkan pasukan tentara itu. Operasi mereka pasti bisa kita gagalkan," ucap Zoya yakin.
"Bahkan mungkin kita bisa saja membantu menyelamatkan negara ini, semoga saja," kata Imran yang mendapat anggukan Zoya.
Malik berdeham merasa tidak dianggap keberadaannya. "Sekarang cepat bersihkan dirimu, Zoya. Setelah itu istirahatlah di tempat yang sudah Pak Zubair sediakan."
Suasana hati Zoya sedang sangat bahagia sekarang, sehingga dia langsung menuruti apa yang dikatakan pria itu. "Baiklah, aku duluan, Kak Imran," pamitnya pada Imran. Hanya pada Imran dan itu membuat hati Malik sedikit panas.
"Dia cantik, ya?" goda Imran pada Malik saat gadis itu sudah pergi jauh dari tempat mereka. "Pantas saja tadi kau betah sekali melihatnya," sambungnya.
Malik mendengkus dan menatap kesal pria itu. Dia lalu berbalik akan menyusul Zoya dan meninggalkan Imran sendiri.
Pria itu jadi terkekeh melihat Malik seperti itu dan segera ikut mengekor di belakang. "Malik, aku baru ingat sesuatu," ujar Imran saat langkahnya sudah sejajar dengan Malik. "Kau sudah mencoba menghubungi lagi Pak Ranvi, Malik?" tanyanya.
Malik menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Imran. "Kau tahu? Sepertinya terjadi sesuatu kepada Pak Ranvi dan rekanku yang lain," katanya sembari merogoh saku celananya. "Seharusnya Pak Ranvi sudah menghubungiku sejak tadi untuk menanyakan kabar Zoya, tetapi sampai saat ini tidak ada panggilan telepon dari Pak Ranvi." Malik jadi merasa khawatir dan menatap penuh harap pada ponsel yang digenggamnya. Berharap Ranvi segera menghubunginya.
"Kau benar, aku juga merasa ada yang tidak beres, Malik," tutur Imran kemudian memegang bahu Malik. "Tetapi kita tunggu saja dulu dan fokus pada rencana kita saja saat ini."
Ranvi yang sedang mereka tunggu panggilan teleponnya, kini dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Tangannya terikat ke atas di sebuah gantungan. Darah mengalir di pelipis kanan dan hidungnya. Baju bagian belakangnya juga robek akibat pukulan cambuk yang begitu keras. Pria itu terlihat sangat berantakan dan tersiksa.
Ranvi diberi pilihan saat itu. Dia tidak akan mereka sentuh sedikit pun oleh anak buah Fahar, tetapi sebagai gantinya anggota-anggota Ranvi yang akan mengalami penyiksaan. Tentu saja Ranvi lebih memilih mengorbankan dirinya sendiri. Tidak masalah jika dia terluka, asalkan anggota-anggotanya tidak mereka sakiti. Dia juga tahu, Fahar melakukan ini semua hanya karena dendam pribadi kepadanya, bukan karena alasan dia ikut campur membantu negara ini.
Dara dan anggota Ranvi yang melihat hal itu tentu saja tidak sanggup. Pemimpin yang mereka hormati diperlakukan dengan kejam oleh anak buah Fahar. Dara yang cukup dekat dengan Ranvi tidak henti-hentinya menangis. Tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, mereka akan berada di tempat seperti neraka saat ini. Setiap detik sahutan demi sahutan suara teriakan orang yang mengerang sakit dan meminta tolong begitu jelas di pendengaran mereka. Bukan hanya itu, bahkan saat ini beberapa anak buah Fahar menuju ruang sel Dara. Tatapan mereka menuju ke arah Dara dan menyeringai kepadanya. Mereka akan melakukan hal yang kotor bahkan kepada wanita yang sudah berumur seperti Dara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Mayor
ActionRanvi, seorang mantan Mayor Jenderal, membentuk sebuah organisasi rahasia untuk membantu negara-negara yang terkena konflik. Organisasinya bertujuan menghancurkan para pemimpin licik dan kejam, yang hanya ingin meraup keuntungan tanpa mempedulikan r...