Aku, Kamu, dan Kita [30]

4.1K 276 9
                                    


Kemarin malam Zee dan Marsha menelpon Cindy dan Jinan, memberi tahu tentang kabar kehamilan Marsha. Respon orang tua Marsha tentu saja sangat baik, mereka sangat bahagia mendengarnya. Sampai-sampai, Jinan tidak sanggup lagi menahan tangis harunya. Walau hanya melalui panggilan telepon saja, Zee bisa merasakan kehangatan keluarga Marsha. Menurut Zee, keluarga Marsha adalah keluarga yang harmonis dan kompak, walaupun Marsha sering bilang, keluarganya adalah keluarga koplak.

Bagaimanapun sebutannya, keluarga Marsha pastinya akan sangat berbanding terbalik dengan keluarga Zee. Di keluarga ini, orang tua dan anak tidak terlalu dekat, dan keluarga ini semakin hancur semenjak Arzean pergi melarikan diri. Keluarga ini tidak pantas dipanggil keluarga, karena terlalu dingin, tidak ada kehangatan antara orang tua dan anak disini, lebih tepatnya anak dan ayah.

Gracio terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga melupakan bahwa dirinya sudah berkeluarga, dia tidak terlalu peduli dengan anak-anaknya. Bahkan ketika Arzean memutuskn untuk kabur dari rumah, Gracio membiarkannya pergi begitu saja.

Namun malam ini, Zee kembali mengukir sejarah. Setelah ratusan purnama, keluarga ini kembali duduk bersama di meja makan rumah. Anggota keluarga inti hadir semuanya— kecuali Zean tentunya, ditambah lagi kehadiran Marsha, sebagai anggota baru keluarga Harlan.

Seperti yang sudah kutuliskan barusan, keluarga ini kekurangan kehangatan didalamnya, sejauh ini hanya ada suara sendok, garpu, dan piring.

Di tengah-tengah 'acara' makan-makan, Zee mulai mengambil napasnya dalam, lalu menatap Marsha.

"Ma, pa, Christy, ada yang mau aku dan Marsha omongin" ucap Zee.

Suasana di meja ini masih dingin, walaupun semua orang sekarang sudah memperhatikan Zee.

"Jadi, beberapa hari lalu, Marsha sudah telat datang bulan, dan pas kita tes, ternyata Marsha positif hamil" lanjut Zee.

Semua orang diam, tidak ada yang merespon ucapan Zee barusan.

Zee menatap wajah Gracio, dengan penuh harapan, berharap ayahnya bisa menerima calon anaknya.

Gracio menghemhuskan napasnya kasar.

"Zee, kamu nggak inget yang papa bilang ke kamu?" Gracio kini angkat suara.

Zee tidak menjawab, dia mulai menundukkan pandangannya. Dia sudah tau pembicaraan ini akan mengarah kemana.

"Marsha masih kuliah loh, kalian berdua gila? Punya anak ngak semudah itu, Zee. Kamu nekat banget mau punya anak umur segini. Kamu masih umur 24 tahun, Zee. Dan kamu Marsha, kamu masih umur 19 tahun. Gila-gilanya kalian mau punya anak"

Kini bukan hanya Zee yang menundukkan kepalanya, tapi Marsha juga. Zee menggenggam tangan Marsha, mencoba menguatkannya. Ini dia salah satu takutkan Zee ketika Marsha menemui keluarganya.

Selama ini, Marsha hanya tau, keluarga Zee bukan seperti keluarganya. Selama hampir satu tahun lebih umur pernikahannya dengan Zee, dia baru beberapa kali duduk bersama keluarga Zee. Dan itu pun di acara formal.

"Marsha, sekarang saya mau nanya kamu, memangnya kamu sanggup, hamil sembilan bulan, trus ngurusin anak kamu, dan kamu kuliah juga?" Tanya Gracio dengan intonasi yang tinggi.

Marsha tidak menjawab apa-apa. Dadanya terlalu sesak, karena menahan air mata. Hingga akhrinya air matanya jatuh. Zee mengelus punggung tangan istrinya, hanya ini yang dia bisa lakukan saat ini.

"Ngak bisa kan? Harusnya kamu pikir-pikir dulu pas mutusin buat punya anak" lanjut Gracio.

"Pa! Udahlah, semuanya udah terjadi! Dan ini bukan salah Marsha doang" Zee angkat bicara, karena tidak kuat melihat ayahnya terus menyerang ke istrinya.

Aku, Kamu, dan Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang