Chapter 30

59 14 20
                                    


Siapa yang akan menyangka, waktu telah berlalu lama. Cucu pertama keluarga Hiwad pun kini telah lahir kedunia. Bahkan usianya sudah menginjak 11 bulan. Sementara dunia terus berjalan, sosok lain masih betah dalam tidurnya.

Putra dari Hirwad Elaxi Varrel dan Sisca Dude Thapora kini sedang aktif-aktifnya. Malaikat kecil yang diberi nama Elaxi Aryadanu Mahendra Thapora datang bagai cahaya dalam hidup keluarga Hirwad yang sedang mendung karena sosok putri tercintanya belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk berjumpa lagi. Entah seindah apa mimpi gadis itu hingga ia memilih untuk tertidur daripada menjalani dunia yang berat ini. 

Elaxi Aryadanu Mahendra Thapora, atau yang kerap disapa Arya, sedang di fase aktifnya yang membuat Sisca kewalahan. Karena itu, Sisca jadi jarang berkunjung ke rumah sakit untuk sekedar mengunjungi sang adik ipar sekaligus sahabatnya. Hanya sesekali ketika akhir pekan.

Berbeda dengan Sisca, Varrel masih sibuk bolak-balik dan membagi waktunya antara Violan, keluarga kecilnya dan kerjaannya. Pria itu sangat menderita. Tetapi, di tengah itu, dia diberi malaikat kecil, olehnya dia memiliki kembali semangat hidupnya.

Lain halnya dengan Dicky, setiap hari pemuda itu datang menemui Violan setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Pemuda itu juga kini telah lulus dari strata duanya. Hebatnya, dia berusaha mati-matian agar tidak perlu membagi waktu antara Violan, pendidikan dan pekerjaan. Hal ini membuat dia mempercepat strata duanya dan berhasil lulus dalam waktu satu setengah tahun saja. Kini dia hanya perlu fokus untuk mengurus perusahaan dan Violan.

Telah menjadi rutinitas, pemuda itu akan bangun pagi, memulai hari dengan tumpukan kertas serta memperkuat koneksi dalam pengembangan cabang perusahaan, lalu malamnya akan dihabiskan untuk menemani Violan untuk sekedar berbagi kabar dan bercerita. Walau dia tau gadisnya tidak akan meresponnya. Gadis itu lebih memilih menjadi pendengar dibanding memberi respon akan ucapan Dicky.

Kembali pemuda itu mendudukkan dirinya di hadapan kertas yang harus dia periksa. Baru saja ia terlepas dari meeting untuk membahas mengenai rencana perluasan pasar perusahaannya, kini dia harus berhadapan dengan proposal berbagai divisi serta beberapa mitra yang mengajukan kerjasama. 

Lelah? tentu saja. Andai saja gadis itu tersenyum padanya, mungkin lelahnya akan langsung hilang. Dia rindu gadisnya. Kembali kenangan bersama Violan terlintas di pikirannya. Dia sangat suka mengingat bagaimana kenangan indah itu berputar di pikirannya. Namun, semua itu berujung akan rasa bersalah mendalam, karena selalu ingatan mengenai kecelakaan Violan menjadi penutup nostalgianya.

Dia menghembuskan nafas berat, kenapa tiba-tiba dia merasa sesak. Dengan gerakan cepat dia melonggarkan dasinya dan menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya. Dia kembali menghitung waktu, sudah 20 bulan ternyata. Bahkan gadis itu sudah memiliki keponakan yang sangat tampan dan menggemaskan. Keponakan yang sangat dia nantikan, tetapi hingga kini belum juga disapanya.

Dicky memijat keningnya. Entah mengapa hari ini terasa sangat berat, kepalanya sangat pusing. Atensinya teralihkan pada telepon genggamnya yang sedari tadi dia anggurkan. Rupanya ada pesan dari Sisca.

Setelah membaca pesan itu, Dicky segera menyambar kunci mobilnya dan berlari keluar setelah mengabarkan sekretarisnya bahwa dia ada urusan mendadak. Mobil itu melaju cepat membelah jalan ibukota. Tujuannya hanya satu, menuju rumah sakit tempat gadisnya dirawat. 

Dia menyampirkan jasnya, lalu melemparnya ke jok belakang, seketika dia semakin merasa sesak. Sepertinya kesialan benar-benar menimpanya. Jalanan yang ia lalui pun tak juga memberi celah baginya untuk menerobos. Padahal dirinya hanya ingin menemui gadisnya, apakah sesulit itu?

Biarkan Waktu BermainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang