Waktu terus berjalan, tidak peduli dengan luka yang tergores dalam lubuk hati setiap insan yang tak kunjung sembuh. Bagaikan penawar yang menjadi racun, waktu hanyalah kata penenang bagi mereka yang menanti kabar baik. Biarkan Waktu Bermain sebagaimana mestinya. Terus berputar walau luka itu masih sama.
Empat bulan bukan waktu yang terbilang sebentar. Bahkan cedera yang dialami Dicky pun kini membaik. Fraktur yang dialaminya sudah sembuh, bahkan sekarang dia tidak merasakan sakit sama sekali ketika dia harus berlutut, memohon pada sang ayah.
"Sudah aku katakan tolong jangan paksa aku melanjutkan studi ke LA" dengan nafas terengah-engah dia mengucapkan rangkaian kata itu.
"Kesepakatan kita seperti itu. Kamu melanjutkan studi, dan ibumu aman"
"Ceraikan ibuku dan biarkan aku bebas!" Pintah Dicky dengan suara yang tegas.
"Tidak semudah itu. Kau pikir tetua itu akan membubuhkan tanda tangannya di dalam surat kuasa? Yang mereka tau hanya kamu yang boleh menyentuhnya"
"Aku gak peduli dengan harta itu! Persetan dengan ahli waris itu!"
"Jangan memaki di hadapan ku! Cukup ikuti kata-kata ku dan semuanya beres"
"Mengikuti kata-katamu dan melanjutkan studi? Lalu meninggalkan Violan yang tengah berjuang untuk hidupnya? Itu mau mu sialan?!" Bentak Dicky. Dia tidak segan untuk meninggikan suaranya.
"Apa yang kau harapkan dari gadis malang itu? Bahkan peluang hidupnya saja sudah tidak ada. Lebih baik kamu mencari wanita lain daripada menunggunya, sekarang dia tidak berguna"
"Bangsat!" Dicky hendak melayangkan pukulan namun ditahan oleh bodyguard ayahnya. Lengannya diputar hingga terasa sangat sakit. Tanpa ampun, ayahnya juga menginjak jari-jari tangan Dicky dan melempar puntung rokok yang mengenai punggung jari pemuda itu.
"Aku sudah bilang jangan mengumpat di hadapanku anak sialan!"
Dari sudut mata Dicky, dia melihat punggung ayahnya yang kian menjauh. Namun, matanya bergetar begitu mendengar uantaian kata yang diudarakan sang Ayah. "Satu minggu lagi kamu akan terbang ke LA"
Dicky bingung, harus bagaimana lagi dia menghadapi ayahnya, bahkan memberontak pun tak juga ada hasilnya. "Aku akan mengikuti kata-katamu! Aku akan menjadi boneka mu asal kamu tidak menjauhkan aku dari Violan! Aku yang membuat Violan seperti itu, jadi aku harus bertanggung jawab" pintah Dicky dengan mata yang berkaca-kaca. Dia kembali teringat dengan kekasihnya yang masih tertidur dengan berbagai selang yang terhubung pada tubuhnya.
Mendengar hal itu, sang ayah mendapat kartu As. Dia berhasil mengendalikan anak itu. Dia tersenyum miring lalu menyuruh bodyguardnya untuk membawa Dicky ke kamarnya. Haruskah dia berterimakasih pada gadis malang itu? Semoga gadis itu koma selamanya agar dia memiliki alat untuk mengendalikan Dicky.
"Rapikan dirimu dan ikut dengan ku untuk rapat redaksi" suara sang ayah terdengar ketika Dicky dibopong oleh lima bodyguard ayahnya.
*****
Sisca memasuki ruangan Violan. Seperti biasa tidak ada pergerakan maupun suara. Yang ada hanya bau obat serta suara monitor yang terus mengalun melewati panca inderanya. Dia mendekati Violan dan hanya bisa tersenyum getir.
Sisca memandangi gadis itu. Dia tidak secantik dulu lagi. Rambut yang dulunya mengkilat itu sekarang hilang. Kulit putih cerah kini menjadi putih pucat. Bahkan tubuh yang dulu di idamkan banyak orang kini menjadi sangat kurus. Bahkan wajah cantik itu kian hari semakin tirus.
"Bangun lo brengsek!" Maki Sisca.
Nyatanya emosi dan air matanya tidak dapat bekerja sama. Tanpa izinnya, setetes air mata turun ketika dia memaki gadis yang masih betah dalam tidur panjangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Waktu Bermain
Любовные романы"Aku mencintaimu" Kalimat yang aku ucapkan dengan harapan membuahkan hasil yang aku mau. Namun, semua ternyata hanya tipuan, nyatanya kau tak mencintai diriku. Hingga semuanya berubah. Seakan waktu merestui, memutar balikkan keadaan. Kini kau mendam...