Chapter 34

46 13 10
                                    


Sisca merasakan kejanggalan. Bukan hanya Sisca sebenarnya, Varrel pun merasakan hal itu. Sejak pagi Violan menutup diri dari segala bentuk hubungan sosial. Dia tidak menampakkan diri di meja makan, pun tidak ingin makanannya diantarkan. 

Setelah mengantar suaminya yang akan berangkat kerja, Sisca berinisiatif menemui Violan. Dia mengetuk pintu kamar itu. 

"Violan, ini gue Sisca. Gue boleh masuk?" Hening, cukup lama Sisca menunggu barulah pintu kamar itu terbuka menampilkan sosok Violan yang sangat berantakan.

Mata sembab, rambut yang berantakan, wajah yang memerah. Sisca merotasikan netranya untuk melihat sekitar dan menemukan banyak tisu yang berserakan. Dia tebak Violan menangis sepanjang hari.

"Gue masuk" ucapnya lalu melangkah masuk ke kamar Violan yang diikuti sang empunya.

"Lo kenapa? Ada masalah apa? Lo sejak habis ketemu Dicky gak pernah keluar kamar, kak Varrel khawatir sama lo" tutur Sisca.

"Gue bingung. Gue beneran gak tau harus apa" air matanya kembali luruh. 

Berakhirlah Violan menceritakan semua kejadian kemarin ketika dia bertemu Dicky. Secara mendetail tanpa dikurangi sedikitpun. 

Jelas cerita Violan membuat Sisca marah. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa Dicky bertindak impulsif seperti itu pada Violan. Harusnya Dicky tau kalau Violan masih takut pada dirinya. Tapi apa ini? Dicky semakin membuat Violan ketakutan. 

Masih menanti cerita selanjutnya, Sisca kembali heran ketika Violan menangis. Gadis itu terlihat menimang sesuatu. 

"Kalau masih ada yang pengen lo ceritain bilang aja" tutur Sisca.

Walau sedikit ragu, akhirnya Violan juga menceritakan mengenai perasaannya yang sering goyah akan sosok Dicky. Perasaan yang terus menginginkan dan ikut terluka ketika Dicky tersakiti. Dia jelas asing akan perasaan itu, sehingga dia meminta pencerahan pada Sisca.

"Gue bukannya sok pintar, tapi alam bawa sadar lo masih mencintai Dicky. Itulah kenapa lo sering dejavu dan nangis ketika sesuatu hal terjadi, karena tanpa lo sadari itu semua tentang Dicky" jelas Sisca.

"Termasuk perasaan gue ketika dia marah kemarin?"

Sisca mengangguk. "Iya. Lo yang denger Dicky histeris membuat lo sangat terluka, terlebih lo yang jadi penyebabnya" Sisca menunjuk bagian dada Violan, lalu perlahan menempelkan telunjuknya. "Hati lo gak kuat mendengar itu semua, itulah kenapa hati lo terasa sakit dan ngebuat lo nangis"

Violan bungkam, dia terus menunduk tanpa memberi reaksi. "Gue paham" ucapnya singkat.

"Kalau gak ada lagi yang mau lo tanyain gue keluar. Gue titip Arya" pamit Sisca.

"Urusan apa? Kenapa sampai lo harus nitip Arya? Biasanya lo bawa Arya"

"Gue mau ketemu Dicky"

"Jangan!" Teriak Violan.

"Lo jangan geer, gue ketemu Dicky karena bisnis bukan karena lo"

"Gue gak percaya, gue kenal lo gak sehari dua hari. Lo pasti mau ngelabrak Dicky"

"Apaan sih?! gaje banget kalau gue ngelabrak Dicky cuma karena lo. Mending juga gua ajak Arya main"

Biarkan Waktu BermainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang