Dicky memaksa masuk ke dalam ruangan Violan setelah dia mendapati penolakan sang empunya. Jelas Violan akan menolak bertemu Dicky. Dia takut kejadian-kejadian sebelumnya akan terulang.
Akhirnya Varrel membiarkan pemuda itu bertemu Violan. Tetapi dengan satu syarat, jikalau Dicky kembali membuat Violan ketakutan, ini akan menjadi terakhir kalinya dia bisa bertemu Violan. Akhirnya Dicky menyetujui hal tersebut. Varrel juga menyerah menghadapi bagaimana kegigihan pemuda itu.
Dicky yang berhasil masuk ke dalam ruangannya membuat Violan tertegun. Violan sedikit ketakutan namun semua itu berakhir dengan keterkejutan ketika secara tiba-tiba Dicky bertekuk lutut memohon pada Violan untuk membiarkannya bertemu kali ini. Banyak yang ingin diucapkan. Ada celengan rindu yang harus ia pecah dan itu hanya pada Violan.
Singkat cerita, Violan memberi akses pemuda itu untuk mengutarakan semua yang ada dipikirannya. Walau begitu, rasa takut dan waspada terus menghantui Violan.
"Hai"
"Hai" Violan sudah menghafal skema ini.
"Kamu beneran gak bisa ingat aku?"
"Kalau kamu datang hanya untuk memintaku mengingat kamu, maka keluarlah. Aku gak mau memaksakan diri dan harus kesakitan"
Dicky diam. Benar, dia tidak boleh memaksa Violan. Dia tidak boleh memulai kericuhan dan berakhir Varrel akan membatasi dirinya bertemu Violan.
Dicky memandangi Violan yang terlihat risih. Gadis itu enggan menatapnya. "Aku boleh pegang tangan kamu?"
Tidak ada jawaban. Violan masih terdiam. Dicky akhirnya hanya mampu menghembuskan nafas berat. Gadisnya sudah berubah, dia tidak boleh melewati batasan.
Dicky bergerak, mengambil posisi duduk dihadapan Violan. "Kamu tau titik terendah aku?" Tanya Dicky. Jelas pertanyaan ini tidak akan mendapat respon, dan Dicky tentu saja tahu hal itu. Dia pun menarik nafas dan melanjutkan ucapannya.
"Sekarang Vi, disaat kamu bangun dan melupakan semua kenangan kita. Kalau saja aku tau kamu bakal lupain semua kenangan yang udah kita buat, aku lebih milih bangun dalam keadaan melupakan kenangan itu juga" air mata itu akhirnya jatuh. Nyatanya hal ini mampu merebut atensi Violan.
"Kamu tau? Orang yang mengingat kenanganlah yang paling menderita, tersiksa secara perlahan ditelan kenangan. Parahnya lagi, kenangan yang menelan aku itu semuanya tentang kamu. Tapi apa? Kamu lupain semua itu dan ninggalin aku sendiri ditelan kenangan kita. Sakit Vi, sakit" hancur sudah pertahanan Dicky.
"Vi, kamu tau gak sekarang kamu itu mirip pisau? Semakin aku genggam, kamu semakin ngiris aku. Aku hanya akan ditelan kenangan seiring waktu Vi"
Violan yang mendengar itu ikut meluruhkan air matanya. Dia tidak tau mengapa dirinya ikut menangis, yang dia tau hatinya terasa sakit ketika mendengar ucapan pemuda itu. Terlalu menyedihkan hingga membuat air matanya ikut menampakkan diri.
"Jangan nangis" ujar Dicky lalu menghapus jejak air mata Violan. Namun air mata itu tidak hentinya turun.
"Kalau kita memang takdir yang diharuskan menyatu, semua ini tidak ada apa-apanya Vi. Aku akan tetap nunggu kamu. Kamu selalu bisa temui aku di apart aku. Sandinya masih sama Vi, hari yang seharusnya menjadi hari pertunangan kita" ucap Dicky lalu memeluk tubuh Violan erat. Gadis itu masih menangis tanpa ia tau apa yang membuatnya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Waktu Bermain
Romance"Aku mencintaimu" Kalimat yang aku ucapkan dengan harapan membuahkan hasil yang aku mau. Namun, semua ternyata hanya tipuan, nyatanya kau tak mencintai diriku. Hingga semuanya berubah. Seakan waktu merestui, memutar balikkan keadaan. Kini kau mendam...