Chapter 1

144K 6.4K 385
                                    

São Paulo — Brazil 🇧🇷

"Bagaimana? Kalian suka?"

"Ini sempurna. Aku tidak sabar untuk mengundang para tetangga baru kita makan malam bersama. Tapi, tunggu. Bukankah itu artinya aku dan Lily akan sangat sibuk? Pertama, kami harus pergi berbelanja. Kedua, kami harus mengundang para tetangga.

"Kuantar kau pergi belanja dan biar Lily yang mengundang para tetangga. Lily? Kau setuju, Sayang?"

"Tentang apa?" Aku tersadar setelah bermenit-menit lamanya berdiri terpaku di depan jendela kaca ruang tamu.

Aku menyahut panggilan Ayah, tetapi mataku masih melihat ke luar jendela, kepada kediaman yang sama mewahnya dengan rumah baru kami ini.

"Ayah bilang apa?" Aku menyahut lagi, mencoba mengabaikan penampakan sempurna yang baru saja kutangkap beberapa menit lalu.

"Ayah dan Ibu akan pergi berbelanja. Bisa kau mulai mengundang para tetangga untuk makan malam bersama nanti?" kata Ayahku. Dia sibuk menggeser-geser layar iPad dengan jari telunjuknya. Tetap bekerja di meski di hari minggu sekalipun.

"Aku?" Awalnya aku hendak menolak, namun seketika aku berubah pikiran. "Baiklah. Apa orang penghuni rumah di depan sana pun harus diundang?" Aku menunjuk ke luar jendela.

"Semuanya, Sayang. Undang semua penghuni kompleks ini. Kita harus saling mengenal satu sama lain." Ibuku menyambar. Dia asyik memotret seisi ruangan rumah baru kami, dan itu pasti untuk dijadikan konten estetika pada akun instagramnya.

Aku manggut-manggut. Mataku melirik kembali kepada rumah mewah di depan sana, berharap penampakan sempurna tadi muncul lagi.

Keluargaku baru saja pindah ke kompleks perumahan yang katanya hanya dihuni oleh orang-orang kaya, katanya. Ayahku membeli rumah mewah ini untuk kami tinggali, meninggalkan kediaman lama kami sebab kantor pusat Ayah telah berpindah ke bagian sisi selatan São Paulo.

Aku anak tunggal dari kedua orang tua yang gila kerja ini. Namaku Belmira Lily Harlow, usiaku baru saja genap 20 tahun bulan lalu, dan aku berkuliah di São Paulo University dengan mengambil jurusan Fashion Design. Tanpa paksaan, aku memang mencintai dunia fashion semenjak memasuki remaja.

"Kau bisa melihat-lihat kamar barumu, dan setelahnya pergilah mengundang para tetangga," kata Ayah. Bicara pun matanya tetap terpaku di layar iPad.

"Ayah dan Ibu pergi dulu. Panggil saja satpam di depan jika ada sesuatu," pesan Ibu sambil menebalkan lipsticknya.

Ada sesuatu? Sesuatu apa? Hantu? Mohon maaf, aku tak pernah takut dengan yang namanya hantu. Sepertinya mereka lupa, mereka sering meninggalkanku seorang diri di rumah hanya berteman pelayan sedari aku kecil.

Tak masalah, aku suka. Yang terpenting uang selalu mengalir dan saldo kartu kreditku terus penuh. Uang itu segalanya, asal ada uang, aku takkan merasa kesepian. Ke mana pun aku ingin pergi, aku akan pergi.

Uang, uang, uang. Aku benar-benar jatuh cinta pada uang. Uang orang tuaku, bukan uang hasil melacur. Meski aku centil dan berani menggoda lelaki, aku masih perawan dan tetap menjaga keperawananku untuk seseorang yang nanti benar-benar sanggup membuatku jatuh cinta lalu menikahiku.

Bayangkan, betapa indahnya melepas kemurnian di malam pertama bersama suami yang kita cintai. Ah... itu terlalu indah.

Lupakan itu, itu masih lama. Kuliahku belum selesai dan Ayah melarangku pacaran sebelum aku menyelesaikan pendidikan. Jika aku melanggarnya, semua fasilitasku akan ditarik, dan takkan ada uang-uang lagi yang mengalir padaku.

"Uhm? Tidak buruk, aku suka ini," monologku sendiri. Melihat-lihat kamar baruku dan aku menyukainya.

Kami tak perlu repot membawa barang-barang lagi. Kediaman mewah dua lantai dan seluas 1.800 meter persegi ini telah Ayahku beli dengan 100% kelengkapan perabotannya di dalam. Tak tahu pasti, tapi sempat kudengar harga kediaman baru kami ini sekitar US$36,5 juta.

Kamarku berada di lantai dua, posisinya paling depan yang dapat melihat langsung ke rumah seberang jalan sana. Kediaman mewah milik seseorang yang tadi sempat kutangkap ketika dia keluar dari mobil antik miliknya yang aku tahu, mobil itu merupakan incaran para old money dan Ayahku memiliki satu.

Di balkon kamar sekarang aku berdiri. Kompleks ini benar-benar sunyi, tak ada suara bising apa pun, sejuk dengan pohon-pohon hias terpangkas cantik di sepanjang jalan.

Setelah kulihat peta kompleks ini, ternyata di sini hanya ada sepuluh perumahan. Pernah ada seorang artis yang membeli rumah di sini, tapi katanya tahun lalu artis itu menjual rumahnya dan pindah. Entah siapa, aku juga tak pernah tertarik tentang dunia hiburan. Duniaku adalah fashion.

Tak ada yang menarik perhatianku di tempat baru ini, semuanya terasa biasa-biasa saja. Bukan aku sombong, tetapi aku lahir di keluarga berada sedari turun-temurun. Hal-hal mewah tak pernah lagi membuatku tercengang atau antusias.

Satu-satunya yang menarik perhatianku di tempat baru ini adalah, penampakan sempurna yang tadi kulihat. Pria yang tadi keluar dari mobil antiknya, penghuni rumah di depan sana, berjarak 100 meter dari rumah baru kami.

Siapa pria itu? Aku lahir dan tumbuh dewasa di São Paulo, tapi aku tak pernah melihatnya jika memang dia seorang pengusaha atau pebisnis seperti Ayah dan Ibuku.

Saat aku hendak meninggalkan balkon, secara cepat aku berbalik lagi melihat ke depan sana. Mataku menyipit kini.

Pria tadi muncul lagi. Dia berbicara di telepon, berdiri dekat mobil antiknya dan menyesap cerutu. Setelan jas putih dan celana hitamnya sangat licin, dia memakai kaca mata hitam juga dasi kupu-kupu. Setelah berbicara di telepon, kulihat dia masuk ke dalam mobil kemudian meninggalkan halaman rumahnya.

Mataku berbinar serta melebar. Kutangkap pria itu mengemudikan mobilnya hendak keluar kompleks. Meski singkat, dapat kulihat rahangnya yang dipenuhi oleh bulu-bulu halus.

"Apa dia sudah tua?" celetukku sendiri. Mengamati plat mobil Mercedes Benz 190 SL antiknya yang menjauh, di ujung sana para satpam penjaga kompleks membukakannya gerbang raksasa yang melindungi kompleks ini.

"Lily, dia karismatik sekali, Lily. Itu bukan tua, itu matang."

Sial. Maskulin sekali orang itu. Aroma uangnya seperti menusuk hidungku.

Tak boleh dilewatkan. Aku harus mengundangnya hadir dalam makan malam nanti. Aku harus berkenalan dengannya, aku suka pria-pria matang menuju tua seperti itu. Aku suka sekali, aroma uang dan aura old moneynya adalah idamanku.

Lily, ini potensi bagus. Ayah pernah bilang, kau tak boleh berpacaran sebelum pendidikanmu selesai, tapi tak masalah bila pria itu kaya raya dan lebih kaya dari Ayah.

Penuh semangat aku bertepuk tangan satu kali. "Ayah, tolong konsisten. Karena sepertinya aku telah menemukan pria yang lebih kaya darimu. Sedikit tua, tapi aura old moneynya akan membuat matamu menyala seperti mataku barusan."

****

POV : 1Subgenre : Adult RomanceTema : Cinta Beda UsiaVibes : Old MoneyPengarang :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


POV : 1
Subgenre : Adult Romance
Tema : Cinta Beda Usia
Vibes : Old Money
Pengarang :

Morana Macaria

🌹

25 November 2023

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang